JAKARTA, GRESNEWS.COM - Anjloknya harga batubara beberapa tahun belakangan ternyata tidak selalu menghadirkan cerita yang mengenaskan. Di satu sisi terpuruknya bisnis batubara ini memang membuat banyak perusahaan tambang batubara Indonesia gulung tikar. Namun, di sisi lain, momen ini dirasa tepat untuk melakukan pembenahan yang komprehensif agar tambang batubara di Indonesia lebih baik dan tertata.

Seperti diketahui, harga komoditas batubara melemah dan berangsur turun sejak akhir 2011 sampai saat ini. Mengutip situs Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), di bulan Juli ini pemerintah menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) pada angka US$59,19 per ton. Jauh, sekali jika dibandingkan dengan HBA Februari 2011 yang sebesar US$127,05 per ton. Atau HBA rata-rata di tahun 2011 yang menyentuh US$122 per ton.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, saat ini tambang batubara memang tengah berada di masa-masa sulit. Ini diakibatkan oleh ekonomi dunia saat ini sedang melambat.

Salah satu penandanya, baik itu menjadi sebab maupun akibat, adalah menurunnya harga komoditi, termasuk komoditi energi. Pengusaha minyak dan gas bumi tidak pernah menyangka bahwa harga minyak seperti ini. Tak jauh beda dengan pengusaha batubara.

"Saya sering guyon kepada teman-teman di batubara. Saya juga pernah di batubara dulu, we are entering new normal. Saat ini adalah normal baru sebenarnya. Yang dulu, saat harga barubara di atas US$100 ke atas itu tidak normal. Situasi tidak normal, kita juga mendapat margin yang tidak normal, dan karena itu ada perilaku-perilaku tidak normal pula pada waktu itu. Inilah waktunya kita menunjukkan bahwa kita tangguh. Kita bisa menempuh masa sulit," kata Sudirman Said, di kantor Direktrorat Jenderal Mineral dan Batubara, Jakarta Selatan, Rabu (5/8).

Menurut Sudirman, saat ini adalah waktu yang tepat untuk menata ulang tambang batubara di Indonesia. Waktu yang tepat untuk melakukan konsolidasi di dua sisi. Pertama, konsolidasi di sisi bisnisnya. Secara bisnis, Menteri ESDM, berharap anjloknya harga batubara ini bisa menjadi seleksi alam.

Hanya penambang yang seriuslah yang memenuhi atau menghuni tambang batubara ini, yaitu penambang yang punya niatan dan kepentingan dalam jangka panjang. Bukan pengusaha yang berkarakter hit and run alias pengusaha yang tidak serius, hanya mau untungnya saja.

"Dulu, saat harga tinggi mereka bisa untung meskipun hanya ikut-ikutan, dengan tambang berskala kecil. namun, saat ini, tambang berskala kecil tidak cukup ekonomis lagi. Sehingga satu persatu mereka akan berhenti, dengan sendirinya. Hit and run itu selain merusak pasar juga merusak lingkungan. Dan saya kira lingkungan menjadi konsen kita kalau kita mau sustainable," kata Sudirman Said.

Sisi kedua, adalah konsolidasi dari sisi cadangan batubaranya. Menteri ESDM mengatakan, cadangan batubara sebenarnya tidak terlalu besar, namun selama ini kita menjadi eskportir terbesar batubara di dunia. Hal itu harus diluruskan dan ditata ulang.

"Apalagi nanti setelah dicapainya pembangunan program kelistrikan, maka mungkin akan lebih banyak yang kita konsumsi untuk dalam negeri. Dan itu memperkuat basis pasar kita, sehingga tidak terlalu terombang-ambing oleh pasar dunia," katanya.

KESEMPATAN MENATA ULANG - Sudirman Said mengatakan, ke depan pemerintah akan berusaha untuk selalu membuat kebijakan yang mempermudah aktivitas masyarakat. Semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah didasari semata-mata karena pertimbangan untuk kepentingan masyarakat banyak.

Selain itu, pemerintah juga akan meluruskan aturan-aturan pertambangan yang selama ini dianggap membelenggu. "Saat ini adalah waktu yang tepat untuk meninjau dan menata ulang seluruh aturan terkait tambang, agar investasi di sektor ini ke depannya bisa lebih bergairah," ujarnya.

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Adi Wibowo menambahkan, pengusaha tambang batubara yang punya karakter hit and run adalah mereka yang ber-mind set pedagang alias hanya mau untungnya saja.

"Saat melihat ada kesempatan untuk mengeruk pundi-pundi uang, mereka terjun, ikut menambang. Setelah mendapat banyak uang, mereka akan lari. Apalagi saat ini harga batubara sedang anjlok," kata Adi kepada gresnews.com, Minggu (9/8).

Para pengusaha model ini, kata Adi, bukan pengusaha yang serius menggarap batubara. "Yang namanya pedagang, begitu lihat kesempatan untung besar (dia ikut). Begitu untung gede, ya sudah, run. Lari. Apalagi kayak sekarang, begitu agak loyo (harganya) lari dia. Tidak serius dia," tambahnya.

Menurut Adi, para penambang yang berkarakter hit and run ini biasanya secara administrasi juga lengkap. Sehingga, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk melarang mereka menambang. Namun, karena dasarnya tidak serius, saat harga batubara turun mereka akan lari.

Namun, lanjut Adi, larinya penambang yang tidak serius karena ada anjloknya harga ini sekaligus juga merupakan kesempatan yang baik untuk menata ulang segala hal terkait penambangan batubara. Terutama terkait dengan peraturan-peraturannya.

Ke depan, kata Adi, pemerintah akan meninjau dan merevisi aturan-aturan penambangan batubara. Hal itu sudah dimulai saat ini. Pemerintah misalnya saat ini sudah memutuskan untuk menunda kenaikan royalti batubara.

Selain itu, pemerintah juga akan meninjau dan memperbaiki lagi aturan terkait Hak Pengusahaan Hutan (HPH), aturan terkait domestik market obligation (DMO) dan lainnya. "Istilahnya ini kondisi (batubara) sedang terpuruk, di mana perusahaan yang sudah survive mungkin nanti bisa start lagi dengan baik, karena kita akan menata ulang peraturan-peraturan segala macam," katanya.

Adi juga mengatakan, saat ini pemerintah melihat batubara bukan lagi sebagai barang dagangan, tetapi sebagai sebuah sumber energi. Sebagai sumber energi, batubara akan lebih diprioritaskan penggunaannya untuk mendukung terciptanya ketahanan energi di dalam negeri.

Dengan demikian, jika ekspor batubara berkurang misalnya, tidak jadi masalah. "Jadi tentu ada pengurangan pendapatan di satu sisi, namun di sisi lain kita meningkatkan ketahanan energi. Ya kalau sekarang jor-joran kita ekspor, maka akan cepat habis kan," ujar Adi.

AKIBAT OBRAL IZIN TAMBANG - Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia membenarkan bahwa anjloknya harga batubara ini menjadi seleksi alam bagi penambang batubara. "Hanya pemain seriuslah yang akan bertahan," ujarnya kepada gresnews.com, Minggu (9/8).

Hendra menjelaskan, pada dasarnya investasi pertambangan itu bersifat jangka panjang. Selain itu, dunia pertambangan juga rentan karena risikonya tinggi. Naik turunnya harga lumrah terjadi. "Kadang rugi, kadang krisis," jelasnya.

Hendra mengatakan, pengusaha yang serius dan mengerti investasi relatif bisa bertahan. Sebab, mereka sudah tahu dan bisa membuat prediksi, bisa membuat rencana mereka jangka panjang, paham mengenai cadangan tambang dan lainnya.

Pengusaha yang hanya coba-coba, misalnya dengan ikut-ikut menambang saat harga batubara tinggi, biasanya belum paham karakter pertambangan, serta belum mengerti benar bagaimana tambang itu dikelola. "(Yang coba-coba) itulah yang akan mundur. Jadi itu memang ada benarnya. Akan jadi seleksi alam. Yang bukan penambang serius ya akan tumbang," katanya melalui sambungan telepon.

Terkait dengan keberadaan pengusaha yang berkarakter hit and run di tambang batubara, Hendra mengatakan bahwa itu adalah buah dari peraturan mengenai pertambangan di Indonesia yang terlalu liberal. Sangat mudah untuk mendapatkan izin tambang.

Apalagi setelah perizinan tambang dilimpahkan ke pemerintah daerah. Tidak ada seleksi yang ketat mengenai kredebilitas, track record, kemampuan finansial, pengalaman dan lainnya, kepada para peminta izin tambang. "Hasilnya, banyak izin tambang diterbitkan oleh pemerintah daerah. Akarnya ada di situ sih," kata Hendra.

Mereka banyak masuk ke pertambangan saat harga tinggi. Dapat izin, lalu mengeruk batubara. Saat harga turun, mereka lari. Karena mereka tidak paham batubara dan tidak bisa melakukan prediksi bisnis dalam jangka panjang.

Akhirnya mereka pergi sambil meninggalkan lubang-lubang bekas tambang. "Tidak direklamasi. Itu (penambang) yang nggak benar. Tidak bertanggung jawab. Penambang yang benar, pasti mereka akan mereklamasi dan sebagainya," katanya.

Menurut Hendra, penambang yang benar tentu saja akan bertanggung jawab. Mereka akan melaksanakan kewajibannya untuk membayar royalti, membayar pajak, melakukan reklamasi, menjaga lingkungan, menyalurkan dana tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR) dan lainnya.

"Tapi yang kebanyakan ini (yang tidak bertanggung jawab) kan tidak begitu. Terutama (penambang) yang kecil-kecil, yang izinnya dikeluarkan daerah, bayar pajak saja nggak," katanya.

Penambang yang tidak bertanggung jawab ini, menurut Hendra, ada yang berizin namun ada juga yang ilegal dan liar. Selain yang sengaja tidak mau bertanggung jawab, ada juga penambang yang serius namun tidak memahami bagaimana mengelola tambang yang baik.

Mereka-mereka inilah yang akhirnya banyak gulung tikar, berhenti beroperasi saat harga batubara anjlok. "Iya dong, karena harga kan rendah terus, jadi margin perusahaan kan makin menurun. Kalau bertahan susah juga, daripada bangkrut mendingan mereka tutup," ujar Hendra.

POTONG PAJAK BATUBARA - Hendra mengatakan, perusahaan-perusahaan batubara yang akan bertahan adalah perusahaan besar yang dapat mengatur keuangannya dengan baik dan ketat. Perusahaan yang mengerti dan serius dalam mempersiapkan rencana tambang dengan baik.

Namun, lanjut Hendra, perusahaan-perusahaan yang serius pun sebenarnya saat ini sedang kesulitan. Mereka, ada sebagian yang sudah tutup, ada yang bertahan sambil melakukan penghematan.

"Karena makin hari makin  turun harganya. Ini artinya marginnya mereka makin turun kan. Sebagian kan malah sudah negatif keuangannya," katanya.

Menurut Hendra, yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah secepatnya membantu pengusaha batubara. "Tidak perlu lagi menunggu lebih lama, saat sebagian perusahaan sudah tutup," tegas Hendra.

Saat ini, menurutnya, pemerintah dapat membantu pengusaha untuk bertahan dengan melakukan revisi-revisi kebijakan yang memberatkan. Misalnya besaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), terutama dari yang terkait kehutanan dan perhubungan ditinjau ulang.

Royalti batubara, kata Hendra, sebaiknya jangan dinaikkan dulu, pajak-pajak baru yang memberatkan juga harus ditinjau lagi dan lainnya. "Sehingga perusahaan yang cash-nya makin tergerus, masih bisa bertahan," katanya.

Pemerintah juga bisa melakukan sharing the pain, berbagi beban, terkait dengan anjloknya harga batubara ini. Karena perusahan margin-nya menipis, pemerintah seharusnya juga merelakan penerimaannya dari sektor batubara menurun.

Pemerintah bisa merivisi kebijakan-kebijakan yang membebani pengusaha, bukan sebaliknya. "Setelah harga turun, pemerintah justru menaikkan tarif-tarif untuk mengenjot setoran penerimaan negara. Itu kan makin lama makin mati dong (pengusaha). Sama-sama lah ngerasain beban," pungkas Hendra. (Gresnews.com/Agus Hariyanto).

BACA JUGA: