JAKARTA, GRESNEWS.COM - Harga minyak dunia saat ini tengah dalam tren menurun dan saat ini berada di level US$50 per barel. Pemerintah pun didesak oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera mengoreksi harga bahan bakar minyak.

Anggota Komisi VII DPR yang juga pengamat perminyakan Kurtubi mengatakan, pemerintah harus menurunkan harga bahan bakar minyak untuk bisa memperbaiki kondisi ekonomi yang yang saat ini tengah terpuruk. Kurtubi menegaskan, turunnya harga minyak dunia bisa dimanfaatkan pemerintah mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang tengah lesu hanya mencapai kisaran 4,7 persen.

Dengan menurunkan harga BBM, kata dia, pemerintah punya kesempatan mempercepat pertumbuhan ekonomi. "Kalau harga BBM turun, inflasi akan turun, daya beli rakyat akan meningkat maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat," kata Kurtubi menyampaikan argumennya, ketika dihubungi gresnews.com, di Jakarta, Minggu (26/7).

Tren menurun harga minyak dunia ini, kata Kurtubi, masih dipicu persaingan antara negara OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries--Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak) dengan Amerika Serikat yang mengembangkan energi baru berupa shale gas atau gas alam yang ditambang dari serpihan batuan shale (tempat terbentuknya gas bumi).

Temuan shale gas ini membuat AS menjadi negara pengekspor energi baru yang menjadi saingan negara-negara OPEC. Karenanya, negara-negara OPEC pada pertemuan bulan November 2014 lalu, sepakat tetap mempertahankan produksi minyak sebesar 30,5 juta barel per hari sehingga stok minyak dunia melimpah. Hal ini, kata Kurtubi, disengaja demi membuat harga shale gas menjadi tidak ekonomis.

"Banjir minyak ini bukan karena kebutuhan ekonomi, akan tetapi untuk menurunkan harga dengan tujuan mempengaruhi politik negara-negara pesaing, khususnya negara yang neraca APBN-nya bergantung pada harga minyak dunia," kata Kurtubi.

Ditambah lagi, saat ini, Rusia yang memiliki cadangan minyak terbukti sebesar 80 miliar barel, meningkatkan produksi hariannya menjadi 10,6 juta barel per hari. Sementara di tengah melonjaknya pasokan minyak ini, kondisi ekonomi dunia yang tengah dilanda resesi membuat permintaan atas minyak juga lesu, sehingga pasar kelebihan pasokan minyak.

Kurtubi menegaskan, momen turunnya harga minyak dunia ini harus dimanfaatkan betul oleh pemerintah mengingat situasi politik global saat ini memungkinkan harga minyak untuk bisa lebih rendah lagi. "Pemerintah harus tetap mengevaluasi dan menganggap hal ini sebuah peluang, maka sesegera mungkin membuat kebijakan harga baru bahan bakar minyak dapat disesuaikan dengan taraf hidup rakyat saat ini, sehingga kesejahteraan rakyat dapat terpenuhi," ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi VI DPR Achmad Hafisz Tohir juga menegaskan hal serupa. Dia mengatakan, berdasarkan data yang dilansir AFP, saat ini minyak mentah light sweet atau west texas intermediate anjlok hingga US$1,63 untuk penyerahan Agustus dan ditutup pada US$ 51,41 per barel di New York Mercantile Exchange. Sementara minyak mentah brent north sea juga turun US$1,65 dan menetap di harga US$56,86 per barel.

"Sepanjang pengalaman saya yang telah menggeluti industri hulu migas dengan menjadi managing director di beberapa perusahaan migas nasional sejak 1998 ini, kebijakan pemerintahan Jokowi yang telah mencabut subsidi BBM dan menyerahkan pada mekanisme pasar, maka pemerintah wajib mengevaluasi kembali harga BBM dari harga yang ditetapkan saat ini," katanya seperti dikuti dpr.go.id, Rabu (22/7) lalu.

PEMERINTAH ENGGAN TURUNKAN HARGA BBM - Menyikapi imbauan DPR itu, pemerintah sendiri mengakui harga minyak dunia memang tengah mengalami tren menurun. Hanya saja, seperti diutarakan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja, pemerintah dipastikan tidak akan menurunkan harga BBM terutama jenis Premium dan Solar.

"Pemerintah mengevaluasi harga BBM itu tiap 3-6 bulan sekali. Nah, dalam 3 bulan terakhir ini kan negatif (rugi)," kata Wiratmaja ditemui di sela peluncuran Pertalite, di SPBU Abdul Muis, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (24/7) kemarin.

Wirat mengakui, harga minyak dalam beberapa hari terakhir mengalami tren penurunan, namun bukan berarti pada 1 Agustus nanti harga BBM juga harus turun. Karena evaluasi harga BBM dihitung selama 3-6 bulan sekali.

"Dua hari terakhir ini kan harga MOPS (Mean of Platts Singapore) atau harga patokan minyak Singapura turun, harga minyak dunia juga kan turun. Tapi kita akan tetap evaluasi, dan akan dikeluarkan pada 1 Agustus nanti," ungkapnya.

Ia menambahkan, karena dalam 3 bulan terakhir ini PT Pertamina (Persero) merugi menjual Premium dan Solar, akibat harga keekonomian lebih tinggi dari pada yang ditetapkan pemerintah, seperti Premium Rp7.300/liter dan Solar Rp6.900/liter, maka pemerintah memutuskan untuk tidak menurunkan harga BBM.

"Karena kan kita sudah 3 bulan ini kan negatif kan, jadi kayaknya tidak akan diturunkan. Karena harus meng-cover yang negatif dulu," pungkas Wiratmaja.

Menteri ESDM Sudirman Said sendiri menegaskan, PT Pertamina (Persero) mengalami kerugian yang cukup besar yaitu mencapai Rp12 triliun. "Kemarin saya mendapat laporan bahwa, dulu sempat harga BBM harusnya naik, tapi ditahan karena pemerintah ingin ada stabilitas dulu. Sehingga Pertamina mengalami defisit sampai Rp12 triliun," ungkap Sudirman Said di Kantornya, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jumat (24/7).

Karena itu, kata dia, meski dalam beberapa hari terakhir ini, harga minyak dunia mengalami tren penurunan, bahkan di bawah US$ 50 per barel, tidak akan membuat pemerintah menurunkan harga BBM duni. Pertamina dibiarkan mendapatkan keuntungan terlebih dahulu sebagai bentuk kompensasi dari pemerintah akibat berberapa bulan terakhir tahun defisit Rp12 triliun.

"Saya tidak akan serta merta menurunkan harga, tapi menjaga harga supaya ada margin yang bisa mengkompendasi kerugian Pertamina. Ini sejalan dengan ide dana stabilitas BBM," katanya.

Sudirman Said menjelaskan, ketika subsidi Premium dicabut dan solar hanya diberi subsidi tetap Rp1.000/liter, dua bulan kebijakan ini jalan, Pertamina sempat mengantongi keuntungan Rp 600 miliar, tapi bulan selanjutnya Pertamina justru defisit cukup besar mencapai Rp12 triliun.

"Ternyata hitung-hitungannya dua bulan pertama ketika kebijakan ini jalan, ada positif Rp 600 miliar. Tapi bulan berikutnya harganya terus naik, jadi membuat Pertamina menderita kerugian. Kalau pun hitung-hitungannya harga keekonomian lebih tinggi atau rendah, kami akan jaga untuk mengkompensasi kerugian Pertamina," tutup Sudirman.

PENGUSAHA SPBU KHAWATIR - Kerugian PT Pertamina (Persero) dalam penjualan bensin Premium dan Solar yang mencapai Rp12 triliun ini, membuat para pengusaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) ikut khawatir. Mereka meminta agar pemerintah tidak menurunkan harga BBM, walaupun dalam beberapa hari terakhir harga minyak mengalami tren penurunan.

"Kerugian Rp 12 triliun itu gede banget, ini belum setahun," kata Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Eri Purnomohadi, Sabtu (25/7).

Eri meminta kepada pemerintah, untuk tidak menurunkan harga BBM terlebih dahulu, sebagai bentuk kompensasi kepada Pertamina, agar kerugian Rp12 triliun tersebut bisa tertutupi. "Janji pemerintahkan akan memberikan kompensasi, sekarang harga minyak sedang turun, jangan dulu buru-buru menurunkan harga BBM terutama Premium dan Solar," kata Eri.

Walau kerugian yang dialami Pertamina tidak berdampak langsung pada pengusaha SPBU, namun kata Eri, besarnya kerugian tersebut tentu mengkhawatiran para pengusaha SPBU.

"Pengusaha kan sederhana saja. Kelangsungan bisnis dengan profit yang wajar dan bisa berkembang lebih baik. Jika Pertamina dikerdilkan karena menanggung kerugian yang besar, dampaknya ya ke mitra Pertamina seperti pengusaha SPBU, yang tidak mendapat marjin yang seharusnya. Apalagi di tengah kenaikan biaya-biaya yang ditanggung pengusaha, misal tarif listrik naik, upah naik, tapi kalau marjin jualan BBM tak naik karena Pertaminanya rugi, kita juga yang susah," ungkapnya.

"Sebaiknya pemerintah memberikan dukungan kepada Pertamina untuk mendapatkan hak-nya sesuai Undang-Undang BUMN, yaitu menghasilkan laba untuk pengembangan usahanya," pungkasnya.

Terkait keenganan pemerintah dan penguasaha menurunkan harga BBM ini, Ketua Komisi VI Achmad Hafisz Tohir mengingatkan, desakan untuk menurunkan harga BBM ini justru muncul karena kebijakan pemerintah sendiri yang telah mencabut subsidi BBM dan menyerahkan pada mekanisme pasar.

"Kalau mau adil, kebijakan pemerintah yang menyerahkan mekanisme pasar ini sebenarnya bertentangan dengan konstitusi sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah harus hadir untuk rakyat," katanya.

Toh, sama dengan pendapat Kurtubi, Hafisz mengatakan, penurunan harga BBM penting untuk membangkitkan perekonomian nasional yang sedang lesu. "Dengan menurunkan harga BBM, daya beli masyarakat juga diharapkan meningkat setelah sekian lama terpuruk dan tak mampu menekan laju inflasi," ujarnya. (Gresnews.com/Agung Nugraha/dtc)

BACA JUGA: