JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya lobi yang dilakukan Chairman of Freeport-McMoran Copper & Gold Inc, James Robert (Jim Bob) Moffett kepada pemerintah RI boleh jadi membuat perusahaan tambang emas asal Amerika Serikat itu merasa berada di atas angin. Dengan sedikit janji memenuhi 15 tuntutan pemerintah, diantaranya menyerap produk-produk BUMN dalam penambangan tembaga dan emas di Papua, pemerintah sepertinya sudah tergoda memperpanjang kontrak Freeport yang sejatinya akan berakhir pada tahun 2021 mendatang.

Jika pemerintah benar-benar menyetujui klausul perpanjangan kontrak Freeport, maka tambang emas terbesar di Indonesia itu masih akan terus dikelola Freeport hingga tahun 2041. Selain janji memenuhi tuntutan pemerintah, Freeport memang juga menjanjikan investasi sebesar US$18 miliar atau setara Rp234 triliun (dengan kurs Rp13.000 per dolar AS).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, dari investasi yang dijanjikan itu, Freeport menyediakan dana sebesar US$2,5 miliar diantaranya untuk pembangunan smelter atau pabrik pemurnian mineral di Gresik, Jawa Timur. Sisanya, sekitar US$15,5 miliar akan digunakan untuk pembangunan underground mining atau tambang bawah tanah di Papua.

Bila tak ada hambatan, pengembangan proyek tambang bawah tanah di Grasberg, Papua akan dimulai September tahun ini. "Tambang bawah tanah di Papua akan menjadi tambang bawah tanah terbesar di dunia," kata Sudirman Said, Kamis (2/7) kemarin.

Dalam pertemuan tersebut, Presiden Jokowi juga meminta Freeport segera merealisasiakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Uru Muka di Kabupaten Mimika dengan kapasitas 1.000 megawatt (MW). "400 MW di antaranya akan dimanfaatkan Freeport untuk tambang bawah tanah, sisanya bisa dipakai masyarakat setempat," ungkap Sudirman.

Terpisah, Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin mengatakan, dalam pembangunan PLTA tersebut, pihaknya akan menggandeng BUMN batu bara. "Sementara untuk power plant Kami juga penjajakan dengan BUMN batubara untuk power plant," kata Maroef di Kantor Kementerian ESDM.

Dengan berbagai kesediaan Freeport untuk memenuhi berbagai tuntutan itu, wajar bila Freeport merasa di atas angin bahwa mereka bakal mendapatkan persetujuan perpanjangan kontrak dari pemerintah untuk 20 tahun ke depan. Hanya saja, kesepakatan lisan antara pemerintah dengan Freeport ini belum tentu bisa direalisasikan dalam bentuk kontrak sebenarnya. Pasalnya, pemerintah juga masih harus membahas masalah ini dengan Dewan Perwakilan Rakyat.


BELUM MENGIKAT - Saat dimintai tanggapan terkait hasil lobi Freeport kepada pemerintah ini, anggota Komisi VII dari Fraksi Gerindra Ramson Siagian menilai bahwa hasil pertemuan keduanya belum mengikat. "Mereka baru bertemu dan berbicara, hasilnya belum final dan masih bisa berubah. Semua itu belum ada keputusan yang konkret dari pemerintah. Memang, mereka ketemu, tapi baru bersifat retorika," katanya kepada gresnews.com, Jumat (3/7).

Ramson mengatakan, dalam waktu dekat akan ada rapat kerja antara Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM untuk membahas tentang kontrak-kontrak kerja pertambangan yang akan habis masanya. "Jadi nanti akan kita lihat, kita akan ada raker khusus soal itu. Maksud saya bukan hanya soal Freeport, tapi soal kontrak-kontrak yang akan diperpanjang atau distop," lanjutnya.

Rapat kerja khusus itu sebenarnya akan dilakukan minggu lalu, namun karena waktunya terlalu mepet, maka rapat pun ditunda. "Kita akan selesai reses nanti kesempatan pertama nanti, yang harus kita laksanakan," tegasnya.

Ramson berjanji, Komisi VII akan bersikap tegas, dengan mengacu pada kontrak yang ada. "Kita akan tegas sesuai dengan kontrak sebelumnya saja, ada sisi komitmen, misalnya soal apa. Kita nanti akan komit sesuai dengan komitmen sebelumnya," katanya.

Selain itu, Ramson juga juga berjanji akan mempertanyakan mengenai hal-hal yang menjadi bagian dari negosiasi antara Freeport dan Pemerintah Indonesia. Termasuk soal kemauan Freeport mengembalikan wilayah kerjanya. "Nah, itu yang nanti akan kita pertanyakan," ujarnya.

Ramson juga mengatakan, kemungkinan Senin minggu depan (6 Juli 2015-red), Panja Minerba dari Komisi VII akan mengadakan rapat khusus tentang masalah Freeport ini. "Panja mineral dan batubara akan ada rapat hari senin. Nanti kita lihat hasil rapat tersebut, mudah-mudahan tidak ditunda," ujarnya.

PEMERINTAH JANGAN TERTIPU JANJI FREEPORT - Menanggapi upaya lobi Freeport untuk perpanjangan kontrak ini, pengamat dan konsultan pertambangan Budi Santoso menilai pemerintah sebaiknya tidak tertipu janji-janji muluk Freeport. Dia bilang, ke-17 poin tuntutan pemerintah kepada Freeport sebenarnya bukan sesuatu yang signifikan sehingga mudah saja Freeport berjanji akan memenuhinya.

Misalnya, kata Budi, terkait permintaan pemerintah pusat menciutkan wilayah pertambangan Freeport menjadi 90.360 hektare, dari semula 212.950 ha atau mengembalikan 58 persen Wilayah Kerja/WK kepada Pemerintah, hal itu menjadi tidak signifikan karena bisa jadi wilayah yang dikembalikan sudah tidak memiliki potensi atau sudah tidak ada lagi kandungan emas dan mineralnya.

"Untuk apa kalau sudah tidak memiliki potensi?" kata Budi kepada gresnews.com, Jumat (3/7).

Sementara terkait divestasi juga menjadi tidak penting kalau pemerintah harus membayar saham kepada Freeport yang nilainya tidak relevan. Kenapa? "Masak saham Freeport Indonesia dihitung saham induknya. Kan nggak lucu," terangnya.

Divestasi itu, kata dia, harus menghitung umur Freeport yang tinggal lima tahun lagi, bukan menghitung sahamnya dalam 25 tahun kedepan. Sementara penghitungan royalti, lanjutnya, pemerintah harus tegas karena keuntungan Freeport terakhir ada di gross 50 persen.

Artinya tidak ada alasan bagi Freeport untuk tidak menaikkan royalti karena profit gross-nya saja lebih dari 50 persen. "Pemerintah harus memaksa Freeport," tegas Budi

Kemudian 12 poin lain, menurutnya, juga sebenarnya tidak perlu dimintakan lagi karena hal itu sudah ada dalam aturan regulasi. Ke-12 poin itu diantaranya adalah memperbaiki hubungan Freeport dengan Pemda Papua dan Kabupaten sekitar, meningkatkan peran serta Pemda (BUMD) dan pengusaha-pengusaha Papua dalam kegiatan sub-kontrak, mewajibkan Freeport untuk menggunakan jasa perbankan nasional (Bank Papua), memperbaiki pengaturan pertambangan rakyat, serta peningkatan dan pengalihkelolaan Bandara Moses Kilangin, Timika.

Poin-poin itu kata Budi bukan poin yang krusial. Termasuk poin soal pengelolaan dampak lingkungan hidup dan program corporate social responsibility (CSR). "Ini tidak penting dimintakan dalam konteks negosiasi. Tetapi masih masih banyak pekerjaan lain yang harus dilakukan misalnya, transfer pricing atau pengalihan teknologi harus bisa dilaksanakan di Indonesia," ujar Budi.

Menurutnya, jangan sampai ke-15 poin itu malah digunakan Freeport sebagai alat untuk memaksa pemerintah Indonesia mengikuti keinginan dan tujuan Freeport. Tujuan Freeport adalah memaksa Pemerintah Indonesia memperpanjang kontrak Freeport selama 20 tahun hingga tahun 2041 mendatang dan melaksanakan IUPK.

"Jangan sampai poin-poin itu menjadi bahan posisi tawar untuk membuat Pemerintah mengikuti keinginan Freeport," tegasnya.


PEMERINTAH HARUS TEGAS - Budi mengatakan, poin-poin yang disampaikan pemerintah yang harus dipenuhi Freeport itu bukan hal prinsip. Dia bilang hal itu akan sangat mudah dipenuhi Freeport dengan keuntungan yang diperoleh secara umum.

Seharusnya, kata Budi, ketika Freeport tidak menuruti 15 poin tadi, termasuk membangun smelter, pemerintah harus menyatakan sebagai "precendence of event" atau kejadian yang menyebabkan tindakan hukum lain berlaku. Pertimbangan "precedence of event" yang dipakai oleh pemerintah, kata Budi, seharusnya adalah ketika Freeport tidak menuruti kepentingan Indonesia maka Pemerintah harus tidak memperpanjang kontrak Freeport. "Posisi pemerintah harus dikuatkan begitu," terangnya.

Di sisi lain, dalam konteks kontrak Freeport diperpanjang, maka pemerintah hanya memberi perpanjangan 10 tahun pertama dan diperpanjang lagi 10 tahun. Jadi tidak bisa sekaligus 20 tahun. "Itu kalau konteksnya perpanjangan," jelasnya.

Kemudian ketika Kontrak Karya berhenti dan diubah menjadi IUPK maka, kata dia, harusnya persyaratan IUPK harus dipenuhi dulu. Seperti tekait konsesi Freeport harus ditarik menjadi pencadangan nasional dan ketika pemerintah akan mengelola dan akan diberikan kepada pihak lain maka pemerintah harus menyatakan tidak sanggup.

Tidak sanggupnya itu salah satunya adalah karena alasan modal dan teknologi. Namun, menurut Budi, modal dan teknologi sudah bukan alasan yang tepat bagi pemerintah untuk menyatakan tidak sanggup mengelola konsesi tambang itu. Sebab, kata dia, pemerintah sudah bisa mengelola aluminium di Inalum Asahan.

"Indonesia bisa mengelola emas melalui Aneka Tambang dan PT Timah. Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah menyatakan tidak bisa mengelola Freeport," ujarnya.

Kalaupun itu terjadi, Pemerintah harus terlebih dulu menawarkannya kepada Badan Usaha Mlik Negara (BUMN). "Pemerintah jangan sampai memanipulasi UU. Perpanjangan hanya bisa dilakukan dua tahun sebelum berakhir masa kontrak karya, jadi kalau perpanjangan dilakukan hari ini, maka pemerintah melanggar peraturannya sendiri," tegas Budi.

Mengenai kontribusi Freeport, menurut Budi, hal itu sangat sederhana. Kalau pemerintah mengambil alih Freeport, maka hak pemerintah menjadi 100 persen, jadi menurut dia, sangat aneh punya hak 100 persen tetapi akan dikasih 30 persen. "Itu pun harus membeli Freeport," ujarnya.

Kesimpulan Budi, banyak pelanggaran yang dilakukan pemerintah jika pemerintah memperpanjang Freeport. Kata Budi, peralihan Kontak Kerja menjadi IUPK bisa batal demi hukum kalau melanggar UU dan Peraturan Pemerintah. "Itulah kesalahan fatal Pemerintah, membuat kesepakatan dengan menyalahi undang-undang," ujarnya.

Kondisi ini menurutnya bisa terjadi karena ada pihak-pihak yang memberikan masukan kepada Presiden tapi tidak berpihak kepada kepentingan nasional dan cenderung menyalahi regulasi. "Kalau ESDM ada yang menekan, kan kelihatan siapa yang berkepentingan tapi saya tidak bisa menyebut orang," terangnya. (Gresnews.com/Agus Haryanto/dtc)

BACA JUGA: