JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menuai gugatan ke Mahkamah Agung (MA) terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sejumlah lembaga yang bergabung dalam Koalisi masyarakat sipil mengajukan gugatan hak uji materiil atas Pasal 52 huruf i dan huruf j Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Koalisi masyarakat sipil akan mengajukan permohonan hak uji materiil bersama ICJR selaku kuasa hukumnya pada Senin (10/8). Koalisi masyarakat sipil ini terdiri dari Rumah Cemara, Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), dan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI).

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mengecualikan gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol serta gangguan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri.

"Pengecualian itu adalah tindakan yang diskriminatif," kata Ketua Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Baby Rivona Nasution, dalam keterangannya yang diterima Gresnews.com, Senin (10/8/2020).

Menurutnya Pasal huruf i dan j Perpres Nomor 64 Tahun 2020 bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan di atasanya. Misalnya, Undang-Undang (UU) Jaminan Sosial Nasional, UU Kesehatan, dan UU Kesehatan Jiwa.

"Seharusnya, pelayanan dalam bentuk tindakan medis yang dikecualikan. Ketika, kami lihat huruf i dan j ada kejanggalan gitu. Bahwa huruf i dan j, bukan pelayanan yang dikecualikan, malah gangguan penyakit, bukan pelayanan terhadap penyakitnya, tetapi keseluruhan bentuk penyakitnya," kata Baby.

Ia menjelaskan keberadaan ketentuan tersebut memuat stigma dan diskriminatif terhadap orang dengan HIV-AIDS dan pengguna narkotika karena mengecualikan seluruh layanan kesehatan bagi orang dengan HIV-AIDS dan pecandu narkotika dalam jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Seperti diketahui, hak atas jaminan sosial yang dijamin UUD 1945, diwujudkan dalam kerangka Jaminan Sosial Nasional yang melingkupi salah satunya Jaminan Kesehatan. Dalam pelaksanaannya, hal ini dilakukan oleh BPJS sebagai penyelenggara program jaminan sosial.

Melalui program BPJS, masyarakat yang terdaftar di dalam program JKN dapat menikmati fasilitas berupa bantuan untuk pengobatan baik secara penuh maupun dengan subsidi.

Sayangnya, program JKN yang diselenggarakan BPJS tidak serta merta dapat menjamin pembiayaan pengobatan seluruh jenis penyakit.

Pengecualian JKN terhadap beberapa layanan kesehatan dinyatakan di dalam Pasal 26 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 52 Perpres 75 Tahun 2019 jo. Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Sementara Manager Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menilai bahwa ketentuan Pasal 52 huruf (i) dan (j) Perpres No. 64/2020 bertentangan dengan sejumlah undang-undang pada aspek berikut. Pertama, bertentangan dengan definisi Pelayanan Kesehatan dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU Kesehatan.

Pasal 26 UU SJSN mengamanatkan pembentukan peraturan presiden yang menjelaskan Jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Yang diartikan sebagai pelayanan merujuk pada Pasal 22 UU SJSN adalah tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis.

Menurutnya dalam UU Kesehatan dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan dengan tujuannya masing-masing yang terdiri dari pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Sehingga mandat Pasal 26 ini adalah pembuatan Perpres yang mengatur jenis-jenis kegiatan atau tindakan medis apa saja yang tidak dijamin BPJS, namun Pasal 52 huruf i dan j Perpres No. 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan justru memuat pengecualian penjaminan berdasarkan gangguan kesehatan/penyakit bukan jenis pelayanan seperti yang dimandatkan UU SJSN dan UU Kesehatan. 

Kedua, bertentangan dengan Sistem Urun Biaya dalam UU SJSN. Dalam Pasal 22 ayat (2) UU SJSN dan penjelasannya menyatakan untuk pelayanan kesehatan yang sangat dipengaruhi selera dan perilaku peserta dapat dikenakan sistem urun biaya.

Ketentuan Pasal 52 huruf i dan j Perpres No. 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan apabila merujuk kepada UU SJSN dapat dikatakan berkaitan dengan pelayanan yang sangat dipengaruhi selera dan perilaku peserta.

Ia menjelaskan terhadap jenis pelayanan kesehatan yang seperti ini, menurut UU SJSN berlaku ketentuan urun biaya, yang artinya jaminan dari BPJS hanya diberikan sejumlah persentase tertentu dari total biaya pelayanan, dan bukan sama sekali dikecualikan sebagaimana diatur di dalam Perpres No. 64/2020.

Ketiga, bertentangan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR, UU Kesehatan, dan UU SJSN mengenai hak kesehatan tanpa diskriminasi.

Keempat undang-undang ini mengatur jaminan atas hak kesehatan melalui penyelenggaraan pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi.

"Ketentuan Pasal 52 huruf i dan j Perpres No. 64/2020 menyalahi ketentuan ini dengan mengecualikan gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol untuk memperoleh layanan kesehatan," katanya.

Terlebih lagi, dalam tataran kebijakan yang sudah menjadi komitmen negara dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dijelaskan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Ketentuan Pasal 52 huruf i dan j Perpres No. 64/2020 mendiskriminasi para pengguna dan pecandu obat yang berdasarkan UU Narkotika memiliki hak untuk direhabilitasi.

Poin keempat, bertentangan dengan pengaturan hak atas kesehatan orang dengan adiksi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif dalam UU Kesehatan Jiwa. Dalam UU Kesehatan Jiwa Pasal 62 ayat (2) dijelaskan bahwa tindakan medis atau pemberian obat psikofarmaka terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ditanggung oleh program Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Dalam ketentuan dalam UU Kesehatan Jiwa juga dijelaskan masalah gangguan jiwa dapat timbul akibat adanya adiksi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Sehingga adanya pembatasan dalam ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf i dan huruf j Perpres 64/2020 terhadap orang dengan gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol dapat membatasi akses ODGJ untuk mendapatkan obat psikofarmaka yang dijamin dalam program Sistem Jaminan Sosial Nasional. (G-2)

 

BACA JUGA: