JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masyarakat sipil yang terdiri dari Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSAM), Fransiscans International, Sitas Desa, Paguyuban Petani Aryo Blitar, TuK Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan AURIGA mengadukan perusahan semen PT Holcim Indonesia ke Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) National Contact Point Switzerland. Holcim dinilai telah merugikan masyarakat setempat.
 
"Pengaduan kami sampaikan merupakan jalur yang disediakan OECD Guidelines for Multinational Enterprises (OECD Guidelines for MNE’s). Di mana, ini merupakan panduan wajib yang berasal dari negara anggota OECD untuk diterapkan di manapun mereka beroperasi," tulis mereka dalam rilis yang diterima Gresnews.com, Minggu (19/4)

Menurut staf di Divisi Advokasi Hukum ELSAM Andi Muttaqien, sekitar 826 Kepala Keluarga warga Blitar terancam digusur dan kehilangan lahannya. Pasalnya lahan seluas 724 hektare di Desa Ringinrejo, Blitar, Jawa Timur, yang mereka miliki dan menjadi gantungan hidup dengan ditanami jagung, ketela dan semangka, kini akan dijadilan lahan hutan oleh Kementerian Kehutanan. Lahan tersebut menjadi lahan pengganti atas penggunaan lahan di Tuban oleh PT Holcim.

Sebelumnya lahan yang dikelola warga tersebut tanpa diketahui warga, telah dibeli PT Holcim Indonesia dan dijadikan sebagai lahan pengganti (dijadikan hutan), karena Holcim menggunakan kawasan hutan di Tuban untuk penambangan dan pabrik semen.

Penunjukan areal kelola warga Ringinrejo sebagai kawasan hutan, telah dilakukan dengan proses yang tidak transparan. Karena Holcim tidak mempertimbangkan riwayat kelola warga selama 17 tahun lamanya. Bahkan proses ganti rugi atau kompensasi dilakukan Holcim justru kepada warga pendatang, bukan warga asli Desa Ringinrejo, yang notabene mengalami dampak langsung dari penunjukan kawasan hutan tersebut.

Selain itu, dalam hukum Indonesia, penunjukan kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi sebagaimana Holcim lakukan di Blitar, melanggar peraturan Menteri Kehutanan, karena syarat lahan kompensasi (lahan yang diberikan Holcim untuk dijadikan kawasan hutan) wajib clear and clean secara de facto dan de jure.
 
Andi menilai ada sejumlah pelanggaran dalam pengambilalihan lahan oleh PT. Holcim Indonesia Tbk. (Holcim Ltd. Group), antara lain;

 1. Lahan kompensasi atas usaha perusahaan menyalahi peraturan perundang-undangan. Yakni, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Permenhut–II/2011 dan Nomor P.14/Menhut-II/2013 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Karena Pasal 16 ayat (3) huruf a P.14/Menhut-II/2013, pemegang persetujuan prinsip wajib menyediakan lahan kompensasi yang tidak bermasalah di lapangan (de facto) dan hukum (de jure). Sementara fakta di lapangan masih terdapat ±826 Kepala Keluarga yang menggarap lahan tersebut dan menggantungkan hidupnya selama 19 tahun.

2. Holcim telah melakukan musyawarah dengan warga yang tidak representatif.

3. Persetujuan Atau Kesepakatan Bersama Dibuat Secara Tidak Transparan.
 
Tindakan Holcim di Blitar ini dinilai  bertentangan dengan semua kewajiban dari panduan OECD pada bab tentang Hak Asasi Manusia; bertentangan dengan konsep dan asas-asas yang harus diterapkan perusahaan di mana mereka beraktivitas, yakni pada Bab I dari Panduan OECD angka 2, yang mewajibkan perusahaan untuk mematuhi undang-undang domestik.

Serta bentuk pelanggaran terhadap ketentuan nomor 14 dari Bab II Kebijakan Umum. Bahwa perusahaan harus melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan untuk memberikan peluang yang memadai untuk mempertimbangkan pandangan-pandangan mereka yang terkait dengan perencanaan dan pengambilan keputusan bagi proyek-proyek atau kegiatan-kegiatan yang dapat berdampak besar bagi masyarakat lokal.

Dengan pengaduan melalui mekanisme OECD mereka berharap National Contact Point di Switzerland dapat memperhatikan masalah antara masyarakat Ringinrejo dengan Holcim. Setidaknya  Holcim bersedia mencari lahan pengganti yang tidak mengganggu hak-hak masyarakat Desa Ringinrejo; atau setidak-tidaknya terjadi kesepakatan final antara Holcim dengan warga Desa Ringinrejo melalui musyawarah yang efektif dan partisipatif. 

BACA JUGA: