JAKARTA, GRESNEWS.COM - Peristiwa kekerasan di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, pada Jumat, 17 Juli 2015, telah berkembang menjadi isu nasional. Peristiwa itu menjadi sebuah isu yang sensitif karena terjadi tepat pada hari pertama Idul Fitri 1436 Hijriyah.

Dengan kehendak untuk menyajikan kebenaran faktual dan bukan opini maupun rekaan semata, redaksi gresnews.com melakukan cek dan ricek serta verifikasi terhadap fakta-fakta yang bertebaran di publik saat ini. Kami melakukan penelusuran informasi di dunia maya dan melakukan wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait.

Namun tak ada gading yang tak retak. Redaksi gresnews.com membuka diri untuk masukan dan informasi dari siapa pun untuk mendekati kebenaran peristiwa dimaksud. Kami juga membuka kritik dan saran atas penyajian laporan ini.


TEMBAKAN DATANG DARI POLISI - Pada Minggu (19/7), reporter gresnews.com Ainur Rahman mewawancarai Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Papua Komisaris Besar Patrige Renwarin, S.H., M.Si (Foto: polri.go.id) melalui sambungan telepon.

Berikut kutipan utuhnya:

Apa tindakan yang telah dilakukan polisi terhadap peristiwa ini terutama berkaitan dengan adanya surat edaran pemberitahuan dari pihak Gereja Injili di Indonesia (GIDI)?

""Pertama, kami klarifikasi, tidak ada penyerangan musala.  Yang ada, sekelompok massa yang datang untuk mengkomunikasikan salat Ied untuk dilaksanakan sesuai surat edaran yang dikirimkan pada 11 Juli lalu. Saat itu massa memang makin banyak.

Bersamaan dengan itu, kios yang terbakar atau dibakar. Saat ini semua masih penyelidikan Puslabfor (Pusat Laboratorium dan Forensik) untuk diketahui penyebabnya.

Telah 15 saksi yang diperiksa.

Catatan: Surat pemberitahuan tertanggal 11 Juli 2015 yang ditandatangani oleh Ketua GIDI Wilayah Toli Pdt. Nayus Wenda, S.Th dan Sekretaris Pdt. Marthen Jingga, S.Th., MA, isinya:

Badan Pekerja Wilayah Toli (BPWT) Gereja Injili di Indonesia (GIDI) memberitahukan bahwa pada tanggal 13-19 Juli 2015 ada kegiatan seminar dan KKR pemuda GIDI tingkat internasional.

Sehubungan dengan kegiatan tersebut, kami dari pimpinan GIDI Wilayah Toli membatalkan dan menunda semua kegiatan yang bersifat mengundang umat besar, dari tingkat jemaat lokal, Klasis, dan dari yayasan atau lembaga-lembaga lain.

Oleh karena itu kami memberitahukan bahwa:
1. Acara membuka Lebaran tanggal 17 Juli 2015, kami tidak mengizinkan dilakukan di wilayah Kabupaten Tolikara (Karubaga);
2. Boleh merayakan hari raya di luar Kabupaten Tolikara (Wamena) atau Jayapura;
3. Dilarang kaum Muslimat memakai pakaian Jilbab.

GIDI Wilayah Toli selalu melarang agama lain dan gereja denominasi lain tidak boleh mendirikan tempat-tempat ibadah di Wilayah Kabupaten Tolikara. Dan Gereja Adven di Distrik Paido kami sudah tutup dan umat Gereja Adven bergabung dengan GIDI). 

Apakah polisi sudah tahu, apa dasar keluarnya surat edaran GIDI itu? Apakah betul ada dasar Peraturan Daerah (Perda)?
Itu juga masih kami dalami, apakah benar berdasar Perda atau tidak. Sebab ditanyakan ke bupati sekarang, mengatakan tidak ada. Itu mungkin bupati sebelumnya.

Dan itu ditandai bahwa selama bertahun-tahun masyarakat di Kabupaten Tolikara, antara umat Muslim dan Kristen, termasuk GIDI hidup berdampingan. Terjalin toleransi antarumat di sana.

Catatan: Saat ini Kabupaten Tolikara dipimpin oleh pasangan Bupati Usman G. Wanimbo dan wakil Amos Yikwa. Mereka menjabat untuk periode 2012-2017.

Ada jatuh korban 12 jiwa, satu meninggal dalam peristiwa itu. Siapa yang menembak mereka? Pihak GIDI kemarin menyatakan itu dari pihak polisi?

Memang tembakan datang dari polisi yang tengah bertugas menjaga salat Ied. Sebab saat itu polisi yang bertugas melihat massa makin banyak.

Saat ini tim Propam (Profesi dan Pengamanan) Polda Papua masih terus memintai keterangan dan mengklarifikasi terhadap polisi yang bertugas saat itu.

Dalam kasus penembakan ini Tim Propam Polda Papua telah memeriksa lima anggota untuk mengetahui terjadinya penembakan. Propam mengklarifikasi apakah yang mereka lakukan sudah sesuai Protap (Prosedur dan Ketetapan) dan petunjuk Kapolri atau tidak.

Kami juga klarifikasi, korban bukan 12 tapi hanya 11.

SURAT DIAKUI GIDI - Masih berkaitan dengan keluarnya surat edaran dari Badan Pekerja GIDI Wilayah Toli, gresnews.com menghubungi Presiden GIDI Pdt. Dorman Wandikmbo dan Ketua Pemuda GIDI. Nomor telepon keduanya dicantumkan dalam pernyataan sikap resmi GIDI (nama lengkap tidak tercantum) yang diterima melalui email oleh redaksi pada Sabtu, 18 Juli 2015.

"Iya, ada," kata Ketua Pemuda GIDI yang nomornya kami hubungi, Minggu (19/7).

""

Mengenai acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) dan seminar internasional GIDI yang diadakan di Karubaga, yang waktunya bersamaan dengan Idul Fitri, dia berkata, "Kami sudah ada izin."

Lebih lanjut dia berkomentar tentang toleransi dengan umat Muslim di sana. "(Masjid) 30 tahun sudah ada," katanya.

Lalu pembicaraan terputus dan hingga berita ini diturunkan nomor ponselnya tidak aktif. Begitu pula nomor Pdt. Dorman tidak aktif. Sementara nomor telepon kantor pusat GIDI yang beralamat di Jl. PLN. No. 7 Sentani, Jayapura, Provinsi Papua, Indonesia, telah berkali-kali dihubungi namun tidak diangkat.

Pada perkembangan lain, Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti Minggu pagi mengunjungi langsung lokasi penyerangan terhadap warga yang tengah Salat Ied di Karubaga, Tolikara, Papua Jumat (17/7) lalu. Kapolri juga sempat menggelar pertemuan dengan pengurus Gereja Injili Di Indonesia (GIDI), tokoh Muslim dan jajaran Pemda Tolikara.

Secara khusus Kapolri mempertanyakan keluarnya surat edaran GIDI yang disebut melarang digelarnya Salat Ied oleh warga muslim pada Jumat lalu. Surat inilah yang disebut menjadi pemicu insiden penyerangan terhadap warga yang tengah Salat Ied.

Badrodin menyebut bahwa surat edaran larangan Salat Ied tersebut memang benar adanya. "Surat itu benar adanya, ini kami sedang dalami mengapa sampai surat itu keluar," kata Badrodin kepada wartawan di Karubaga, Tolikara, Papua, Minggu (19/7)

Namun hingga kini polisi belum mendapat penjelasan terkait alasan diterbitkannya surat tersebut. Informasi yang diterima kepolisian saat ini menyebut bahwa ada dua surat dari GIDI.

Surat pertama dikirim ke Pemda dan Polres Tolikara pada 11 Juli 2015. Isi surat itu adalah larangan digelarnya Salat Ied. Setelah dilakukan koordinasi dengan Pemda dan Polres, surat kemudian direvisi pada tanggal 15 Juli 2015.

Dalam surat yang kedua ada perbaikan. GIDI tidak melarang digelarnya salat Ied oleh umat Muslim. Namun diminta agar salat Id tidak dilakukan di halaman atau ruang terbuka melainkan di Musala.

GIDI juga meminta agar ibadah salat Ied tidak menggunakan pengeras suara dengan volume yang kencang. Alasannya karena hari itu bertepatan dengan digelarnya seminar internnasional GIDI yang dihadiri perwakilan dari seluruh Indonesia.

Namun tokoh muslim di Tolikara, Haji Ali Muhtar, mengaku tidak menerima surat edaran tersebut. "Seandainya surat itu kami terima, tentu akan kami laksanakan sesuai petunjuk dalam surat tersebut," kata Ali.

KLARIFIKASI GIDI - Pihak GIDI secara rinci telah memberikan delapan poin pernyataan dan klarifikasi pada Sabtu, 18 Juli 2015. Berikut selengkapnya:

1. Tidak benar pemuda gereja GIDI, masyarakat Tolikara, dan Umat Kristiani melarang umat Islam untuk merayakan hari raya Idul Fitri (Salat Ied), namun harus mematuhi surat pemberitahuan yang telah dilayangkan pemuda/gereja dua minggu sebelum kegiatan dilangsungkan; yakni tidak menggunakan pengeras suara (toa), apalagi jarak antar pengeras suara dengan tempat dilangsungkannya seminar nasional/internasional hanya berjarak sekitar 250 meter.

2. Pimpinan gereja wilayah Kabupaten Tolikara, Presiden GIDI, Bupati Kabupaten Tolikara, Usman Wanimbo, dan tokoh masyarakat setempat telah menyampaikan maksud pemuda GIDI (Ibadah tidak menggunakan penggeras suara) sejak dua minggu sebelum hari H kegiatan seminar, dan hari raya idul fitri; Kami menilai, aparat Kepolisian dan aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Kabupaten Tolikara tidak punya itikad baik untuk menjaga keamanan dan ketertibatan masyarakat Tolikara, termasuk umat Muslim sendiri. Kami sangat menyayangkan lambannya sosialisasi yang dilakukan aparat keamanan kepada warga muslim, sehingga terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, apalagi toleransi umat beragama sejak puluhan tahun lalu di Tolikara, dan secara umum di seluruh tanah Papua sangat baik, dan paling baik di Indonesia.   

3. Yang sangat disayangkan, para pemuda (11 orang tertembak timah panas aparat TNI/Polri saat dalam perjalanan ke musala untuk berdiskusi dengan warga setempat, 1 anak usia 15 tahun meninggal dunia, Endi Wanimbo, usia 15 tahun), belum sempat diskusi atau negosiasi dilangsungkan, aparat TNI/Polri sudah mengeluarkan tembakan secara brutal dan membabi buta, sehingga 12 orang tertembak. Jadi amukan dan kemarahan masyarakat bukan disebabkan oleh aktivitas ibadah umat muslim, tapi lebih karena tindakan dan perlakuan biadab aparat TNI/Polri, yang tidak membukan ruang demokrasi atau untuk mendiskusikan hal-hal yang baik bagi keberlangsungan ibadah kedua belah pihak.

4.  Tidak benar masyarakat Tolikara, atau warga gereja GIDI melakukan pembakaran terhadap musala (seperti pemberitaan berbagai media massa di tingkat nasional), namun hanya beberapa kios yang dibakar pemuda, dan merembet hingga membakar musala karena dibangun menggunakan kayu, dan berhimpit-himpit dengan kios/rumah milik warga Papua maupun non-Papua, sehingga dengan cepat melebar dan terbakar; Tindakan spontan yang dilakukan beberapa pemuda membakar beberapa kios ini muncul karena ulah aparat keamanan yang tak bisa menggunakan pendekatan persuasif, tapi menggunakan alat-alat Negara (senjata dan peluru) untuk melumpuhkan para pemuda tersebut. Kami minta Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), dan Panglima TNI untuk juga mengusut tuntas penembakan warga sipil oleh aparat keamanan yang menyebabkan 1 orang meninggal dunia (Endi Wanimbo, usia 15 tahun), dan 11 orang terluka.   

5. Saya sebagai pimpinan tertinggi gereja GIDI di seluruh Indonesia, telah menasehati umat saya agar tidak melarang umat apapun, termasuk saudara Muslim untuk melangsungkan ibadah, namun ibadah harus dilangsungkan di dalam koridor hukum wilayah tersebut, dan juga mematuhi surat atau imbauan yang dikeluarkan, demi keamanan, ketertiban, dan ketenteraman masyarakat setempat.   

6. Yang datang mengikuti ibadah/seminar internasional di Kabupaten Tolikara bukan hanya warga GIDI di wilayah tanah Papua, tapi dari berbagai provinsi di seluruh Indonesia, antara lain pemuda dari Nias, Sumatera Utara, Papua Barat, Kalimantan (Dayak), Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan diperkikran mencapai 2.000 orang pemuda GIDI.

7. Sebagai presiden GIDI, kami menyampaikan permohonan maaf kepada warga muslim di Indonesia, secara khusus di Kabupaten Tolikara atas pembakaran kios-kios yang menyebabkan musala (rumah ibadah warga muslim) ikut terbakar; Aksi ini merupakan spontanitas masyarakat Tolikara karena ulah aparat keamanan di Tolikara yang melakukan penembakan secara brutal.

8. Kapolri dan Panglima TNI juga harus mengusut tuntas insiden penembakan terhadap 12 warga gereja, yang menyebabkan satu anak usia sekolah meninggal dunia; Ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, karena menggunakan alat Negara untuk menghadapi pemuda-pemuda usia sekolah yang tak datang untuk melakukan perlawanan atau peperangan.  

SIAPA BENJAMIN BERGER? - Terkait penyelenggaraan Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Internasional Pemuda GIDI, dalam persiapannya, sempat diusulkan oleh berbagai pihak untuk ditunda. Namun, Pdt. Dorman menolak. Seminar dan KKR itu akan tetap dilaksanakan pada 13-19 Juli 2015 di Klasis Konda Distrik Karubaga, Tolikara.

Salah satu pihak yang meminta penundaan adalah Wakil Bupati Tolikara Amos Yikwa. Acara itu sebaiknya ditunda sambil mempersiapkan kesiapan di lapangan.

"Kalau kegiatan biasa intern kita sendiri mundur tidak apa-apa, tetapi ini bukan seminar biasa, tetapi ini melibatkan hampir seluruh Indonesia dan tamu-tamu dari luar negeri seperti pemuda dari Aborigin, Negara Palau, PNG, Israel dan pemuda dari Belanda. Bahkan akan datang pembicara dari Jerusalem yaitu Pdt. Benjamin Berger dan mereka itu telah blokir kalender, sehingga tidak mungkin ditunda lagi," ujar Pdt. Dorman seperti dikutip bintangpapua.com, Selasa 30 Juni 2015.

Berdasarkan penelusuran di situs tjcii.org, Benjamin Berger adalah berasal dari kalangan Yahudi Ortodoks yang bermigrasi dari Eropa ke New York. Benjamin dan Reuven saat ini memimpin Kehilat ha’she al Har Zion (Kongregasi Zion) dan Gereja Kristus Yerusalem. Benjamin dan Reuven adalah orang Yahudi pengikut Yesus yang juga tergabung dalam Mount Zion.

"Jika ditunda maka akan susah untuk mengurus visa tamu akan datang jadi kurang atau lengkap kami tetap akan lakukan. Tetapi satu hal yang saya lihat wilayah Toli semua sudah siap ketua-ketua klasis selama tiga bulan semua di tempat kegiatan sedang siapkan persiapan pasti akan baik juga, sehingga akan dilaksanakan pada tanggal 13-19 Juli tadi. Pak Gubernur telah sampaikan pembukaan akan dibuka oleh bapak Gubernur sendiri," katanya lagi.

Mengenai materi seminar dan KKR itu sendiri, kata Pdt. Dorman, adalah bertema GIDI milik siapa? GIDI milik siapa itu ada tiga hal yaitu GIDI masa lalu, GIDI sekarang dan GIDI 25 tahun.

Pdt. Dorman mengatakan pemuda adalah yang bisa melakukan perubahan, baik dalam keluarga, gereja dan pemerintah. "Tetapi yang merusak juga mereka lagi, jadi jika mereka tidak dibina dengan baik maka sangat berbahaya, banyak orang memprediksikan bahwa Papua ke depan ini jika tidak dibina baik, maka orang Papua akan jadi perampok, akan jadi peminum, perusak, pencuri dan tidak berdiri di negerinya sendiri, maka tidak ada cara lain kita arahkan dan bina mereka dalam firman Tuhan," katanya.

Pada peringatan HUT ke-13 Kabupaten Tolikara, Pdt. Dorman juga menekankan pentingnya kegiatan seminar dan KKR itu.

"Tolikara hingga sampai saat ini banyak sekali masalah yang muncul baik muncul dari pemerintah maupun dari masyarakat Tolikara karenanya daerah Tolikara ini harus dipulihkan total. Kami mengagendakan pelaksanaan KKR dan Seminar Pemuda GIDI Internasional di Karubaga dengan satu misi yakni memulihkan daerah Tolikara. karena itu semua pihak termasuk Pemerintah Tolikara harus mendukung sepenuhnya," katanya seperti dikutip situs resmi pemerintah Kabupaten Tolikara.

Sebagai informasi, GIDI adalah anggota Gereja Penuh dari Perhimpunan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia (PGLII). Terdaftar sebagai Gereja berdasarkan Surat Depag RI No. E/Ket/385/1745/76. Terdaftar Ulang: No. F/Kep/43/642/89 Akte: No. 15 Tanggal 06 1989.

Visi GIDI adalah: Umat GIDI Masuk Sorga.
Misi GIDI:
1. Penginjilan: Memberitakan Injil Yesus Kristus kepada segala suku bangsa, menjangkau jiwa-jiwa yang terhilang dan yang berdosa diselamatkan.
2. Pemuridan: Mengajar, mendidik dan melatih jemaat-jemaat dengan Firman Tuhan, tentang kepastian keselamatan, pengakuan iman dan doktrin gereja GIDI secara berkesinambungan untuk membentuk karakter jemaat menjadi Jemaat yang Injili, Jemaat yang Alkitabiah, dan Jemaat yang Mengutus.
3. Pembaptisan: Pengakuan dihadapan Allah dan manusia sebagai tanda pernyataan iman seseorang yang telah dibebaskan dari kuasa dosa dan diangkat menjadi anak-anak Allah yang ditandai dengan baptisan selam sebagai tanda babhwa ia telah mati dan bangkit bersama Kristus dan bersedia menjadi saksi-Nya.
4. Pengutusan: Mengutus misionaris lokal, nasional dan internasional untuk memberitakan Injil Kristus serta mendirikan jemaat-jemaat lokal diantara segala suku bangsa.

Di Papua, GIDI menjalin kemitraan strategis dengan World Team yang berbasis di Amerika Serikat, Kanada, Australia. Tujuan dari World Team yang bersemboyan for The Glory of God ini adalah "to glorify God by working together to establish reproducing churches focusing on the unreached peoples of the world."

BUKAN KONFLIK AGAMA - Berkaitan dengan berkembangnya isu Tolikara ini, kalangan akademisi Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Minggu (19/7) melansir tulisan berjudul: Tolikara, Idul Fitri 2015: Tentang Konflik Agama, Mayoritas-Minoritas dan Perjuangan Tanah Damai.

Berikut kutipannya:

Di Papua, sesungguhnya sumber polarisasi yang lebih penting bukanlah agama, namun antara pendatang dan orang asli Papua. Polarisasi yang tak sehat ini mewarnai kehidupan sosial dan ekonomi, dan sebagiannya muncul dalam UU Otonomi Khusus Papua. Politik identitas yang memberikan keistimewaan pada orang asli Papua dapat bermakna baik jika dipahami sebagai affirmative action, namun dapat pula menjadi penegasan polarisasi yang terlalu jauh. Yang menarik, polarisasi itu bahkan muncul dalam kelompok-kelompok dalam suatu agama tertentu. Ada ketegangan dan klaim-klaim identitas yang dibuat untuk membedakan Kristen pendatang dan Kristen asli Papua; juga antara Muslim Papua dan Muslim pendatang.

Satu hal lain yang perlu dicermati, yang telah sempat muncul dalam respon terhadap peristiwa di Tolikara, adalah menyangkut “mayoritas Kristen” yang menindas “minoritas Muslim” di Papua. Ini adalah penyederhanaan yang berbahaya dan amat keliru. Berbahaya, karena tampaknya dalam retorika seperti itu terkandung keinginan untuk menjadikan konflik multi sebab menjadi konflik berdimensi-tunggal, bahwa seakan-akan ini semuanya adalah persoalan agama. Amat keliru karena dua hal. Pertama, seperti disebut di atas, tak ada konflik yang “murni konflik agama”. Kedua, yang lebih penting, ada imajinasi yang keliru bahwa setiap kelompok agama adalah suatu entitas tunggal yang terintegrasi sepenuhnya. Ini mengingkari kenyataan adanya beragam kelompok dalam satu agama, dan bahwa kelompok-kelompok tertentu dalam suatu agama dapat lebih mudah bekerjasama (atau berkonflik) dengan kelompok-kelompok tertentu dari agama lain. GIDI atau PGI tak mewakili semua Kristen; NU, Muhammadiyah, MUI, atau FPI tak mewakili semua Muslim. Kalaupun identifikasi keagamaan mesti dibuat, maka ia tak bisa mengacu pada identifikasi besar Kristen atau Muslim, tapi mesti lebih akurat: Kristen yang mana, Muslim yang mana?

Kembali ke kasus Tolikara, sumbangan terkecil  adalah tidak memperburuk situasi dengan menjadikan kasus ini sebagai bahan provokasi. Yang diperlukan adalah arus informasi yang positif, bukan yang membakar. Khususnya untuk kita yang berada di luar Papua, baik Muslim ataupun Kristen, klaim-klaim keagamaan yang dibangkitkan dengan menjadikan kasus Tolikara sebagai pembenaran mungkin hanya bermanfaat untuk kepentingan kelompok sendiri, bukan untuk kepentingan saudara-saudara kita di Papua.

Setelah itu, kita dapat membantu mendesak pemerintah untuk lebih serius berpikir—dan bertindak—mengenai Papua, dengan satu catatan penting: Papua telah kerap menjadi arena tindakan kekerasan, maka pendekatan dialogis harus diprioritaskan. Tanpa itu, sulit bagi kita untuk berbicara mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (dtc)

BACA JUGA: