JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) meminta Presiden Joko Widodo tidak memasukkan proyek besar berisiko kerusakan lingkungan hidup ke dalam pengesahan Rencana Pembangungan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, terutama rencana pembangunan rel kereta api batubara di Kalimantan Tengah. Sebab proyek besar ini akan digarap di atas hutan Kalimantan Tengah di bagian utara.

Untuk itu Walhi mengirimkan surat permintaan pembatalan proyek rel kereta api batubara Kalimantan Tengah tertanggal 15 Desember 2015 lalu. "Kami menagih visi kampanye yang menetapkan kebijakan secara permanen, bahwa negara berada pada titik kritis bahaya kemanusiaan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan hidup," ujar Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi dalam surat tersebut.

Hutan Kalimantan Tengah di bagian utara, seperti Kabupaten Murung Raya selama ini terlindungi dari aktivitas penambangan batubara skala besar, sebab lokasinya terlalu jauh di hulu Sungai Barito. Hingga kini, Murung Raya berfungsi secara baik sebagai paru-paru dunia karena memiliki hutan hampir dua juta hektare atau sekitar 75,95 persen wilayah kabupaten.

Dalam perjalanan pelestariannya pun komunitas internasional dan pemerintah daerah telah melakukan program kerjasama melindungi hutan Kabupaten Murung Raya. Namun fungsi hutan ini kini berada dibawah ancaman akibat rencana pembangunan rel kereta api. "Rel kereta api ini pada dasarnya akan digunakan untuk kepentingan transportasi batubara," ujar Edo Rakhman, Manajer Kampanye WALHI kepada Gresnews.com, Minggu (21/12).

Ia menyimpulkan, hal ini didasarkan pada kepadatan penduduk yang rendah di bagian utara Kalimantan Tengah. Contohnya, pada Kab. Murung Raya saja hanya terdapat 4 jiwa/km2. "Selama ini mereka sudah tercukupi dengan transportasi darat, sungai, udara yang tersedia," katanya.

Jika Presiden Jokowi memang ingin menjalankan visi dan misi kampanye lingkungannya, maka Walhi mengharapkan sikap pemerintahan untuk tidak memasukkan proyek rel kereta api Kalimantan Tengah ke dalam RPJMN 2015-2019. Sebab hal itu akan menambah titik kritis kritis bahaya kemanusiaan akibat kerusakan lingkungan hidup di Kalimantan Tengah saat ini.

Pada bagian selatan saja, kata Edo, lahan gambut di musim kemarau pasti terbakar luas dan menyebabkan tutupan asap skala provinsi dan menimbulkan biaya serta persoalan kesehatan besar. "Banyak konflik alih fungsi kawasan menjadi perkebunan dengan warga yang hingga kini belum terselesaikan," ujarnya.

Saat ini, tercatat 41 orang warga Kabupaten Kapuas harus mengalami penahanan kepolisian dalam upaya mereka mempertahankan tanah dari perusahaan kebun sawit. Sementara itu, di Murung Raya, warga Desa Maruwei terlibat persoalan konflik lahan hutan berkepanjangan dengan perusahaan tambang terbesar di dunia, yakni BHP Biliton, yang hendak melakukan penambangan batubara tahun tahun depan.

"Persoalan sosial dan lingkungan ini akan kian parah dengan kehadiran rel kereta api batubara ini," tegas Edo.

Harun Al Rasyid Lubis, pakar transporasi dari ITB juga menyatakan sebuah rel kereta api layak dibangun bila terdapat penumpang setidaknya sebanyak 10 juta orang per tahun. Hal ini berkebalikan dengan jumlah penduduk Kalimantan Tengah yang hanya berkisar 2 juta orang.

"Sehingga rel kereta api ini pada dasarnya hanya memfasilitasi kegiatan penambangan batubara di daerah pedalaman," ujarnya.

Jika rel kereta api bertujuan transportasi publik tetap ingin dibangun di Kalimantan Tengah maka wilayah selatan Kalimantan Tengah lah yang tepat. "Pembangunan di utara bertentangan dengan agenda penyelamatan hutan dan pengurangan emisi gas rumah kaca," tutupnya.

BACA JUGA: