JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia telah lama dikenal sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Beragam kekayaan hayati tersebut digunakan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Sejak jaman dahulu, jamu sudah terkenal manfaatnya bagi kesehatan, industri jamu ini mulai meroket sejak tahun 2008 melalui kegiatan "Jamu Brand Indonesia" yang dicanangkan Presiden SBY. Ditambah baru-baru ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencanangkan "Gerakan Bugar dengan Bude Jamu".

Dalam gerakan ini, jamu disosialisasikan pemerintah dengan cara disediakan pada rapat-rapat di kantor, membuka pojok jamu di tempat-tempat umum hingga penyediaan minuman jamu di hotel-hotel."Ini bentuk komitmen politik pemerintah bagi jamu, baik sebagai produk kesehatan maupun sebagai bagian dari budaya bangsa kita," ujar Tjandra Yoga Aditama, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) kepada Gresnews.com, Minggu (1/2).

Dukungan terhadap pengembangan jamu juga dilakukan lewat Program Saintifikasi Jamu yang dilaksanakan oleh Balitbangkes melalui Balai Besar Litbang Kesehatan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu. Balai Besar Litbang ini memiliki sarana dan prasarana penelitian dari hulu ke hilir, mulai kebun tanaman obat sampai dengan Kilinik Saintifikasi Jamu.

"Untuk membentuk jejaring dokter pelaksana Saintifikasi Jamu, Balitbangkes juga  telah melatih 382 dokter dan 74 orang apoteker Saintifikasi Jamu," ungkapnya.

Pelatihan ini guna menunjang pelayanan kesehatan di masa depan yang akan mencakup pelayanan kesehatan tradisional seperti tertuang pada Peraturan Pemerintah No 103/2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional. Di samping itu juga diadakan program Health Tourism, dengan kegiatan Wisata Kesehatan Jamu di area Tawangmangu. Kegiatan ini merupakan pembelajaran manfaat tanaman obat dan jamu bagi masyarakat luas, yang dikemas dalam paduan cantik antara edukasi dan rekreasi.

Hasil riset Tanaman Obat dan Jamu (Ristoja), yang dikerjakan tahun 2012 dan 2014 pada berbagai suku di Indonesia, telah berhasil mengidentifikasi tumbuhan obat dan manfaatnya secara etnofarmakologis. Ristoja 2012 berhasil mengiventarisasi sebanyak 15 ribu lebih ramuan dari 209 suku bangsa, dan berhasil mengidentifikasi 1.740 spesies tanaman obat dari 13.576 nama daerah tanaman obat atau sebanyak 60 persen dari total data. Sedang, jumlah herbarium yang berhasil dikumpulkan sebanyak 13.398 herbarium.

Pada tahun 2013 didapat dua Jamu Saintifik, yakni Formula Jamu Asam Urat dan Formula Jamu Penurun Hipertensi. Sebelum tahun 2014 juga telah dilakukan penelitian untuk formula obesitas, pelancar ASI, aprodisiak, urolitiasis, anemia, FAM, insomnia, anemia defisiensi Fe, immunomodulator, dan nyeri kepala tegang otot. Tahun 2014 Balitbangkes sudah menyelesaikan uji klinik Jamu Hemoroid, Jamu Dispepsia, dan Jamu Osteo-Artritis.

Balitbangkes juga melakukan kegiatan Randomized Case Control Trial (RCT) dengan melibatkan 96 dokter Saintifikasi Jamu di provinsi Jawa Tengah. Kegiatan ini meliputi penelitian formula untuk dispepsia, osteoartritis genu dan hemoroid.

Penelitian setiap formula ini dilakukan pada 130 subyek penelitian dan 130 kontrol (260 orang pasien). Hasil penelitian akan ditetapkan oleh Komnas Saintifikasi Jamu sebagai Jamu Saintifik dan dilaunching oleh Menteri Kesehatan tahun ini.
 
"Kami juga melakukan pengembangan bentuk sediaan jamu dalam bentuk tablet dan kapsul untuk Jamu hiperurisemi," katanya.

Tak luput juga diproduksi benih tanaman obat meliputi kegiatan seleksi tanaman induk, uji kemurnian, uji viabilitas benih, penyimpanan benih dengan hasil 300 spesies tanaman obat. Tak hanya tanaman obat, eksplorasi sumber warna alami tanaman obat seperti secang, kesumba, suji, kembang telang, kunyit, dan wortel juga dilakukan guna mencari bahan pewarna makanan untuk mengantisipasi keresahan bahan pewarna kimia pada jajanan anak sekolah.

Begitu banyak manfaat yang didapat dari tanaman obat Indonesia. Namun sayangnya hal ini berparadoks dengan hasil Studi Diet Total (SDT) 2014 termasuk dalam Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) berbasis komunitas. Konsumsi kelompok makanan komposit, suplemen termasuk jamu amat kecil yaitu di bawah 1,0 gram per orang per hari dan dikonsumsi hanya 1 persen penduduk Indonesia.

Padahal di tingkat Asean, melalui Asean Task Force on Traditional Medicine, Indonesia telah berhasil meloloskan "Asean Common Guideline on Research of Traditional Herbal Medicine". Begitu pula bila menilik data Kementerian Perdagangan, ekspor jamu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2012, ekspor jamu mencapai Rp21 triliun, pada 2013 mencapai Rp49 triliun, dan pada 2014 kembali meningkat menjadi Rp66 triliun.

Walaupun, beberapa negara seperti Malaysia, Taiwan, Hongkong, Filipina, hingga Eropa menolak impor jamu dari Indonesia akibat mengklaim jamu Indonesia merupakan jamu kimia. Ini menyebabkan ekspor ke negara-negara tersebut tersendat. "Seharusnya ini disikapi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan yang menjelaskan pada otoritas negara terkait tentang kualitas dan standar jamu Indonesia," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia, Charles Saerang seusai mengikuti acara minum jamu bersama di Kementerian Ketenagakerjaan, Jumat (30/1).

Ia melanjutkan, untuk penjualan jamu di ASEAN, saat ini sedang dilakukan proses pembahasan harmonisasi standar industri jamu. Ia berharap pemerintah dapat menyokong industri jamu Indonesia agar dapat berjaya di pasar global.

BACA JUGA: