JAKARTA, GRESNEWS.COM –  Pemberlakuan Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 96 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dinilai mengancam puluhan ribuan tenaga kesehatan yang berijazah di bawah Diploma Tiga. Sebab sesuai UU tersebut tenaga kesehatan yang dizinkan berprofesi minimal berijazah Diploma tiga. Sementara tenaga kesehatan yang berpendidikan dibawah diploma tiga yang selama  ini melakukan praktek sebagai tenaga kesehatan,  hanya diberi kesempatan berpraktek hingga enam tahun mendatang.

Melihat ancaman ini Guru pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Farmasi Ditkes AD Jakarta, Heru Purwanto mengajukan uji materiil (judicial review) terhadap UU Nomor 36 Tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi (MK).  Menurut Heru, enam tahun ke depan akan ada puluhan ribu tenaga kesehatan di bawah Diploma Tiga akan terhapus kewenangannya melakukan praktik dengan berlakunya Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 96 undang-undang tersebut.
 
Bahkan puluhan ribu tenaga kesehatan itu terancam hukuman pidana lima tahun karena melakukan praktik tanpa izin. Selain itu akan ada puluhan ribu siswa SMK Farmasi dan tenaga parmasi yang telah bekerja berpotensi dirugikan karena tenaga kesehatan dipersyaratkan Diploma Tiga. Padahal, lanjutnya, selama ini para tenaga kesehatan sudah bekerja sesuai aturan dan pendidikan yang diperoleh.
 
"Kategori tenaga kesehatan minimal Diploma Tiga yang disebutkan dalam UU Tenaga Kesehatan akan membebani tenaga kesehatan yang sudah bekerja dan 59.062 siswa yang terdaftar di SMK Farmasi," kata Heru dalam sidang perdana pengujian UU Tenaga Kesehatan yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (28/1).
 
Karena itu Heru meminta MK menyatakan Pasal 88 ayat (1) serta Pasal 96, khususnya frasa "diberikan kewenangan untuk menjalankan praktik sebagai tenaga kesehatan untuk jangka waktu 6 (enam) tahun setelah undang-undang ini diundangkan" bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
 
Menurut alumnus asisten apoteker ini, Pasal 88 ayat (1) yang berbunyi: "Tenaga Kesehatan lulusan pendidikan di bawah Diploma Tiga yang telah melakukan praktik sebelum ditetapkan Undang-Undang ini, tetap diberikan kewenangan untuk menjalankan praktik sebagai Tenaga Kesehatan untuk jangka waktu 6 (enam) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan", bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), dan 28D ayat (2) UUD 1945.
 
Alasannya, kewenangan yang semula dimiliki pemohon akan dihapuskan. Konsekuensinya pemohon akan kehilangan pekerjaan yang sudah ditekuninya selama 17 tahun.  
 
Sementara Pasal 96 yang menyatakan: "Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia", bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Sebab menurut Heru puluhan ribu siswa SMK Farmasi akan kehilangan kesempatan untuk menjadi tenaga kesehatan semenjak diberlakukannya undang-undang ini.
 
Untuk menghindari kerugian itu, di petitum ke enam gugatnya,ia mengajukan permohonan perubahan bunyi Pasal 88 ayat (1) menjadi: "Tenaga Kesehatan lulusan pendidikan di bawah Diploma Tiga yang telah melakukan praktik sebelum ditetapkannya Undang-Undang a quo ini, tetap diberikan kewenangan untuk menjalankan praktik sebagai tenaga kesehatan". Sementara di petitum ketujuh, Pasal 96 menjadi: "Undang-undang ini mulai berlaku tiga tahun setelah tanggal diundangkan".
 
Menaggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim Konstitusi menyarankan agar pemohon memperbaiki kedudukan hukum (legal standing) dan petitum pemohon. Sebab dalam berkas permohonan itu, pemohon berstatus sebagai guru, semetara yang didalilkan pemohon akan dirugikan adalah para tenaga kesehatan di bawah Diploma Tiga dan calon tenaga kesehatan (siswa SMK Farmasi).
 
"Terkait legal standing harus ada hubungan sebab akibatnya. Sebagai guru dimana Anda dirugikan dan apa korelasinya dengan ribuan tenaga kesehatan dan siswa SMK Farmasi harus dibangun dalam berkas permohonan," jelas Hakim Konstitusi Patrialis Akbar memberikan saran perbaikan.
 
Terkait Pasal 96 yang didalilkan Heru, Patrialis mengingatkan ketentuan yang dijelaskan pasal tersebut merupakan satu penentuan keberlakuan undang-undang yang sifatnya Erga Omnes (kewajiban hukum yang dimiliki oleh negara terhadap masyarakat negara secara keseluruhan). Kalau pasal itu dihapuskan, kata Patrialis, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
 
Patrialis juga menasihati Heru agar memperbaiki petitumnya menjadi konstitusional bersyarat. Sebab dalam petitum butir ke dua, tiga, empat, lima pemohon meminta MK menyatakan, pasal yang dimohonkan untuk diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara di petitum ke enam dimintakan perubahan bunyi.
 
"Bukan perubahan bunyi, tetapi konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai," jelasnya. Begitu juga dengan petitum ke tujuh dianggap Patrialis tidak lazim. Sebab MK belum pernah menunda keberlakuan suatu undang-undang. Sebaliknya yang pernah dilakukan MK adalah memperepat putusan pengujian suatu undang-undang.
 
Seperti diketahui, defenisi tenaga kesehatan dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan yang berbunyi: "Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam: a. tenaga medis; b. tenaga psikologi klinis; c. tenaga keperawatan; d. tenaga kebidanan; e. tenaga kefarmasian; f. tenaga kesehatan masyarakat; g. tenaga kesehatan lingkungan; h. tenaga gizi; i. tenaga keterapian fisik; j. tenaga keteknisian medis; k. tenaga teknik biomedika; l. tenaga kesehatan tradisional; dan m. tenaga kesehatan lain".
 
Selanjutnya ayat (2) sampai ayat (14) menjelaskan jenis tenaga kesehatan yang termasuk dalam masing-masing kelompok tersebut. Tenaga kesehatan itu terdiri dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis. Kemudian tenaga psikologi klinis, berbagai jenis perawat, bidan, apoteker, tenaga teknis kefarmasian, epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan, ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi, kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga.
 
Termasuk tenaga sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan, mikrobiologi kesehatan, nutrisionis dietisien, fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara, akupunktur, perekam medis dan informasi kesehatan, teknik kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis optisien/optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan mulut, dan audiologis. Termasuk juga radiografer, elektromedis, ahli teknologi laboratorium medik, fisikawan medik, radioterapis, ortotik prostetik, tenaga kesehatan tradisional ramuan, tenaga kesehatan tradisional keterampilan.
 

BACA JUGA: