JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ide Presiden Joko Widodo untuk menghapuskan persyaratan berbahasa Indonesia bagi para pekerja asing di Indonesia ditentang banyak pihak. Sebelumnya presiden secara spesifik meminta kepada Menteri Ketenagakerjaan untuk membatalkan  syarat dalam Peraturan  Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 12/2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, bahwa pekerja asing  harus bisa berbahasa Indonesia.

Upaya itu dilakukan Jokowi presiden untuk menggenjot investasi masuk Indonesia. Jokowi menilai syarat itu menjadi salah satu faktor yang menghambat masuknya investasi ke Indonesia. Belakangan Jokowi berupaya membenahi sektor investasi dengan mengatasi sejumlah kendala penghambat masuknya investasi ke Indonesia. Namun sejumlah pihak terang terangan menyatakan keberatan dengan ide Jokowi yang satu ini.

Ketua Komisi IX DPR Dede Jusuf mneilai rencana yang ingin dilakukan pemerintah itu tidak realistis. Pertimbangan aspek identitas sosial dan budaya, menurutnya, perlu dipertimbangkan pemerintah sebelum menerapkan suatu aturan.

"Ini tidak ada relevansi dengan investasi. Dampaknya perlu diperhatikan lagi," kata Dede kepada Gresnews.com, Rabu (26/8).

Penghapusan bahasa dengan dalih investasi, tutur Dede, sebenarnya tidak memiliki kaitan maupun korelasi secara langsung. Ia menyebut, investasi sebelumnya tetap tumbuh positif  walau syarat bahasa Indonesia tidak dihapus.

"Tidak ada jaminan bahwa dicabutnya bahasa akan mendorong investasi juga," ujarnya.

Dede mengatakan, bahwa  DPR punya hak untuk menyuarakan aspirasi. Menurutnya, kompetensi dan syarat penguasaan bahasa lokal tetap diberlakukan sesuai batas waktu kontrak kerja dan berapa lama pekerja menetap di Indonesia. Bagi investor yang membawa pekerja dalam jangka waktu 6 bulan, jelasnya, mungkin bisa dipertimbangkan soal penggunaan bahasa. Namun apabila durasi kontrak kerja lebih dari waktu satu tahun, maka sangat dibutuhkan kompetensi dan keterampilan bahasa Indonesia.

"Kami memahami inisiatif pemerintah membuka kran investasi, tetapi budaya dan identitas bahasa kita juga harus diperhatikan," tegas  Dede.

Dede mengakui, keputusan soal pemberlakuan aturan ini sepenuhnya domain atau kewenangan pemerintah. Sebab, DPR tidak bisa mengintervensi lebih jauh, mengingat aturan tersebut tidak berimplikasi pada postur anggaran pemerintah. Namun pemerintah diminta untuk mempertimbangkan keputusan tersebut.

DAMPAK PENGHAPUSAN BAHASA - Sektor tenaga kerja merupakan isu multidimensi yang berkaitan dengan pengaruh sosial budaya masyarakat. Penghormatan terhadap identitas bahasa menjadi satu syarat penting memahami karakter masyarakat setempat.

Dede menggarisbawahi, bagaimana pun identitas bahasa perlu dipertahankan di tengah derasnya arus liberalisasi tenaga kerja. Sebab, liberalisasi akan menarik ekspansi puluhan ribu pekerja (ekspatriat) ke dalam negeri dengan beragam paham. Menurutnya hal itu berpotensi terjadi diferensiasi struktur antara kelas pekerja asing dan lokal.

Dikhawatirkan, puluhan ribu tenaga kerja asing itu akan membentuk komunitas tersendiri di suatu industri, tanpa ada pembauran dengan masyarakat. Di samping itu, terbukanya dominasi pekerja asing, dipastikan bakal mengancam angkatan kerja lokal.

Penghapusan bahasa, juga dinilai kontradiktif dan irasional dikaitkan tujuan pemerintah menciptakan 10 juta lapangan kerja dalam negeri. Di satu sisi membuka peluang bagi tenaga lokal, disisi lain memudahkan akses masuk tenaga asing. "Dampaknya, akan terjadi perbenturan paham dan gesekan sosial," ungkap Dede.

ANCAMAN LIBERALISASI TENAGA KERJA - Penghilangan bahasa diprediksi justru mendatangkan jumlah pekerja lebih banyak lagi. Artinya, banyak pekerja asing yang akan membanjiri berbagai sektor lahan kerja domestik.

Alasan tersebut bisa saja terjadi mengingat kompetensi dan sertifikasi ekspatriat relatif lebih unggul dibanding pekerja lokal. Hingga tahun ini, diprediksi masih ada tenaga lokal yang belum bisa mengimbangi kompetensi tenaga kerja asing.

"Misalnya, ekspatriat dari Cina, gajinya 10 kali lipat lebih besar dari pendapatan tukang las lokal. Atau misalnya, tukang semen dari China memiliki sertifikat internasional,  tentu akan lebih memiliki kans menguasai pasar," tambah Dede.
 
Komisi IX DPR mencatat, jumlah angkatan kerja asing per tahun 2015 ini saja sudah mencapai 68 ribu jiwa. "30 ribu diantaranya dari Tiongkok, Korea dan Jepang. "Apalagi menjelang MEA nanti, semakin banyak tenaga asing yang mengalir ke Indonesia. Tugas pemerintah saat ini jangan menghilangkan bahasa namun meningkatkan kompetensi dan sertifikasi pekerja domestik," sebutnya.

Peta ekspansi maupun kontribusi pasar kerja domestik, diprediksi  berasal dari Filipina, Bangladesh, Myanmar, Cina, Korea. Sejumlah negara tersebut, dikategorikan sebagai pengirim tenaga kerja terbanyak.

Sementara itu Direktur Kajian Ekonomi Pusat Studi Sosial dan Politik (Puspol) Kusfiardi menilai, penghapusan bahasa sebagai syarat khusus bagi tenaga asing justru membawa petaka bagi kondisi ekonomi dalam negeri.

Ia mengatakan, pada dasarnya, Indonesia memiliki legitimasi terhadap pemberlakuan suatu aturan nasional. "Kita punya ruang memberlakukan kebijakan non tarif barrier. Salah satunya terkait penguasaan bahasa," kata Kusfiardi dihubungi gresnews.com, Rabu (26/8).

Selain itu, terdapat syarat pencantuman pada kemasan produk dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, jika disepakati penghapusan label bahasa maka dinilai sebagai pertanda pemerintah membiarkan negara semakin telanjang.

"Dampaknya sangat merugikan rakyat dan perekonomian nasional. Bukan hanya ekspansi produk saja tapi juga arus tenaga kerja yang sangat luar biasa," ujarnya.

BACA JUGA: