JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kebijakan pemerintah daerah Kalimantan Tengah (Kalteng) tak berpihak pada rakyat kecil. Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kalteng berorientasi menjadikan Kalteng sebagai wilayah perkebunan monokultur dan lumbung energy yang memfasilitasi kebutuhan infrastruktur sektor perkebunan dan tambang skala besar.

Perlindungan wilayah kelola rakyat dan keselamatan lingkungan diabaikan, sektor swasta dalam wilayah kawasan hutan dan budaya diperluas. Raperda ini selain memfasilitasi akses ruang kepada sektor swasta dalam bahasa Agroindustri dan Agribisnis , juga mengakomodir MP3EI seperti rel kereta api, pelabuhan dan jalan darat.

"Sehingga selain berisiko terhadap semakin menyempitnya ruang kelola rakyat juga memperberat kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana ekologi yang tidak terpulihkan," ujar Arie Rompas Direktur WALHI Kalteng kepada Gresnews.com, Minggu (26/10).

Dalam kondisi kerusakan lingkungan yang telah melampaui batas daya tampung lingkungan, kebijakan ini menjadikan kebakaran hutan dan asap tidak terkendali serta konflik lahan yang marak. Seharusnya Raperda didorong pemerintah daerah untuk menjadi solusi, bukan malah tidak pro rakyat dan lingkungan.

Zenzi Suhadi Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar WALHI Nasional, pun mengkritisi nomenklatur pembagian ruang yang terbatas pada pola kawasan lindung dan kawasan budidaya semakin mempersempit ruang akses rakyat dan membuka ruang yang luas kepada sektor swasta.

Kawasan lindung penting untuk keselamatan wilayah, tetapi seharusnya juga didorong untuk membangun perlindungan fungsi kawasan terhadap rakyat sekaligus memberi peluang rakyat sebagai subjek perlindungan kawasan hutan. Pada raperda ini ada perlindungan terhadap wilayah adat dan sosial budaya tetapi menjadi ganjil ketika yang menjadi subjeknya justru pemerintah. "Seharusnya hukum adat yang menjadi subject perlindungan," ucapnya kepada Gresnews.com, Minggu (26/10).

Dampak berbahaya salah orientasi dan konstruksi raperda ini juga terdapat pada pasal 69 tentang hak rakyat, dimana hak rakyat untuk mengelola, melindungi dan menjadi subjek terhadap wilayahnya dikaburkan oleh  mainstream orientasi yang memprioritaskan jaminan pengembangan dan eksistensi sektor industri. Dimana hak dipersempit hanya pada kesempatan ganti rugi, menyampaikan keberatan, gugatan dan tuntutan ganti rugi, yang artinya tidak ada pilihan bagi rakyat untuk tidak menerima masuknya sektor swasta.

Lanjut Arie, proses pengesahan Raperda ini harus dihentikan sampai terjadi perubahan yang mendasar pada substansi orientasi dan target memprioritaskan jaminan keselamatan lingkungan dan perlindungan wilayah kelola rakyat.

BACA JUGA: