JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Atase Ditjen Imigrasi pada Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia sekaligus Penyidik Pengawai Negeri Sipil (PPNS) Dwi Widodo sebagai tersangka kasus korupsi. Ia diduga menerima suap terkait dengan penerbitan paspor dengan metode Reach Out pada 2016 dan Calling Visa pada 2013-2016.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan dari proses tersebut Dwi menerima uang sebesar Rp1 miliar. Penerimaan tersebut berasal dari perusahaan yang menjadi agen ataupun calo dalam penerbitan dua dokumen tersebut. Sasaran utama mereka, kata Febri merupakan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia.

"Modus meminta pihak perusahaan sebagai agen atau makelar untuk berikan sejumlah uang. Indikasi pemberian dari perusahaan melalui personil terkait pembuatan paspor yang hilang atau rusak," kata Febri di kantornya, Selasa (7/2).

Menurut Febri, pembayaran yang dilakukan para TKI melebihi tarif resmi yang ada. Namun sayang Febri mengaku belum mendapatkan informasi mengenai hal tersebut termasuk berapa selisih harga yang didapat oleh para makelar itu.

Meskipun begitu, ia mengindikasikan jumlah selisih harga yang didapat cukup besar melebihi angka suap yang diberikan kepada Dwi. Sebab, uang Rp1 miliar untuk Dwi merupakan sebagian dari hasil penerimaan pungli yang dilakukan perusahaan tersebut.

"Calo atau perantara dengan cara Reach Out mendekati kantung-kantung TKI untuk buat paspor dengan biaya lebih tinggi, uang itu dinikmati perusahaan dan sebagian dialirkan pada tersangka DW," tutur Febri.

Proses seperti ini, menurut Febri sebenarnya cukup baik. Sebab imigrasi melakukan jemput bola dengan mendatangi para TKI yang paspor dan visanya rusak ataupun hilang, sehingga bisa menghemat waktu dan tidak mengganggu para TKI untuk bekerja.

Sayangnya, sistem tersebut justru menjadi peluang bagi oknum tertentu seperti Dwi melalui para makelar untuk mengambil keuntungan pribadi. Mereka justru meminta bayaran diatas tarif resmi yang diberlakukan pihak imigrasi.

Dalam proses penyidikan, KPK telah menggeledah kediaman Dwi di Depok, Jawa Barat. Dan hasilnya ditemukan sejumlah dokumen baik fisik ataupun elektronik yang diduga terkait dengan perkara ini.

Atas perbuatannya tersebut, Dwi dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sebelumnya, KPK juga telah memproses kasus pengelolaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) terkait tarif jasa pengurusan dokumen imigrasi di KBRI Kuala Lumpur Malaysia periode 1999-2003 dan 2003-2005. Untuk periode 1999-2003, ada 2 tersangka yang ditetapkan yaitu Hadi A Wayarabi Al Hadar (selaku Dubes RI untuk Malaysia) dan Suparba W Amiarsa (selaku Kabid Imigrasi KBRI Kuala Lumpur).

Sedangkan untuk periode 2003-2005, ada 2 tersangka juga yang ditetapkan yaitu Rusdiharjo (selaku Dubes RI untuk Malaysia) dan Arihken Tarigan (selaku Kabid Imigrasi KBRI Kuala Lumpur).

"KPK mempunyai perhatian khusus dalam kasus ini, mengingat salah satu pihak yang dirugikan TKI Indonesia yang berada di Indonesia," ucap Febri.
KERJASAMA LINTAS NEGARA - Febri menjelaskan, terungkapnya kasus ini berawal dari penyelidikan yang dilakukan Malaysia Anti-Corruption Comission (MACC) terhadap pelayanan publik. Dari penyelidikan itu ditemukan adanya kejanggalan dalam pembuatan paspor dengan metode Reach Out dan Calling Visa bagi TKI yang bekerja di negeri Jiran.

Malaysia sendiri saat ini tengah melakukan penyidikan terhadap perusahaan yang menjadi makelar dalam pembuatan dokumen tersebut. Dan pada proses itu ditemukan adanya keterlibatan pejabat imigrasi Indonesia berupa aliran dana ke rekening pribadi milik Dwi.

"Perkara ini kerjasama dengan KPK dengan MACC bermula dari inspeksi pelayanan publik MACC di Kuala Lumpur. Kita kerjasama dengan MACC sejak pertengahan 2016 lalu, kita lakukan penyelidikan sampai penyidikan dilakukan sejak pertengahan Januari 2016.  MACC tangani perusahaan dan staf perusahaan yang sebagian ada WNI, KPK tangani DW, atase imigrasi sekaligus PPNS," jelas Febri.

Ini adalah kesekian kali KPK menangani kasus korupsi lintas negara. Sebelumnya ada beberapa perkara yang melibatkan negara lain seperti kasus Alstom, Innospec dan yang terbaru pembelian mesin pesawat Garuda dari Rolls Royce.

Dikonfirmasi terpisah, Kabag Humas Imigrasi Agung Sampurno menghormati langkah hukum yang dilakukan KPK terkait dengan kasus pidana yang menjerat anggotanya. Menurut Agung sejak awal Ditjen Imigrasi kooperatif dengan membantu KPK dalam proses penyidikan tersebut.

"Sejak awal Ditjenim secara aktif membantu proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK dengan cara menonaktifkan DW, menarik ke Jakarta dan memasukan ke dalam daftar cegah sesuai permintaan KPK," kata Agung saat dikonfirmasi gresnews.com.

Agung menjelaskan biaya yang dikenakan pihak imigrasi terhadap WNI diluar negeri termasuk para TKI dalam penerbitan paspor dengan metode Reach Out hanya sebesar Rp335 ribu. Namun biaya itu dikonversi dengan kurs mata uang negara setempat.

Untuk mencegah hal tersebut kembali terjadi, Agung menyebut telah melakukan langkah-langkah antisipasi. Salah satunya dengan merubah pembayaran tidak lagi dilakukan secara tunai, melainkan dalam bentuk pengiriman kepada bank yang telah ditunjuk pihak Imigrasi itu sendiri.

"Untuk mengantisipasi hal tersebut saat ini sistem penerbitan paspor dan visa diluar negeri telah terkoneksi dengan SIMKIM milik Ditjenim di 30 perwakilan RI di luar negeri. Sistem ini mampu  memantau secara online dan realtime tentang penerbitan paspor dan visa," terang Agung.

"Selanjutnya proses pembayaran dilakukan tidak secara cash melainkan transfer bank di beberapa perwakilan untuk menghindari kontak langsung dengan petugas," sambungnya.

BACA JUGA: