JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta klarifikasi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan Pilkada bukan rezim Pemilu. Pasalnya Undang-undang Pilkada yang berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2014 tentang Pilkada Langsung menyebutkan sejumlah hal yang berbeda dari putusan MK tersebut. Diantaranya soal penyelenggara pilkada, pilkada serentak dan penyelesaian sengketa pilkada.

Dalam UU yang telah berlaku tersebut, penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Padahal KPU masuk ke dalam rezim pemilu. Begitupun dengan pilkada serentak, istilah serentak dalam putusan MK sebenarnya hanya mengacu pada pilpres dan pileg. Lebih lanjut soal penyelesaian sengketa, karena pilkada bukan rezim pemilu, maka MK tidak berkewenangan menanganinya.

Hakim Konstitusi dari Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar menjelaskan putusan MK pada tahun 2013 tersebut diambil berdasarkan pasal 22E Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Isinya menyebutkan pemilu merupakan pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD. Sedangkan Pilkada tidak termasuk dalam Pasal tersebut.

"Kami batasi diri hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan DPR yang berkaitan dengan putusan MK. Kami tidak berikan opini dan pikiran di luar putusan MK. Selebihnya terserah pada pembentuk undang-undang (UU) itu diluar kompetensi kami," ujar Patrialis usai menemui pimpinan DPR dan pimpinan Komisi II DPR di DPR, Jakarta, Rabu (28/1).

Menanggapi penjelasan MK, Ketua Komisi II DPR Fraksi Golkar Rambe Kamarulzaman menuturkan UU yang berasal dari Perppu itu menjadi persoalan dan perdebatan baru. Ia pun mempertanyakan apakah KPU masih bisa menjadi penyelenggara pilkada dengan adanya putusan MK bahwa pilkada tidak masuk ke dalam rezim pemilu.

"Kalau yang selenggarakan pilkada masih debatable, bagaimana kita mau laksanakan pilkada," ujar Rambe pada kesempatan yang sama di DPR.

Tidak hanya persoalan penyelenggaraan  pilkada yang bertentangan dengan putusan MK. Persoalan sengketa pilkada juga bukan lagi menjadi kewenangan MK. Sebab kewenangan MK diatur secara limitatif. Karena itu, Mahkamah Agung tidak boleh menolak untuk menangani sengketa perselisihan pilkada. Soal apakah MA akan menurunkan penyelesaian sengketa ke pengadilan seperti yang tercantum dalam UU saat ini, Komisi II secara khusus akan mengkoordinasikan langsung dengan MA.

Lalu soal pilkada serentak juga harus diperjelas dalam revisi. Pasalnya putusan MK soal pemilu serentak lima tahun sekali hanya menyebutkan pilpres dan pilkada. Sehingga perlu diatur lebih detail yang dimaksud serentak dalam konteks pilkada seperti apa. Misalnya apakah pilkada serentak yang dimaksud hanya satu gelombang seperti pilpres atau dibagi ke dalam tiga gelombang. Sebab jika pilkada dilaksanakan serentak hari pelaksanaannya seperti pilpres dan pileg, maka perlu dipikirkan juga bagaimana pengawasan, pengamanan, dan penyelesaian perselisihannya.

Melihat adanya perbedaan antara UU dan putusan MK tersebut, Rambe menegaskan akan melakukan penyesuaian antara keduanya paling lambat sebelum reses pada 18 Februari 2015. Kewenangan tersebut menjadi hak DPR untuk melakukan revisi.

Sebelumnya, DPR telah menerima Perppu nomor 1 tahun 2014 tentang pilkada langsung. Perppu tersebut diajukan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum masa akhir jabatannya untuk mencabut Undang-Undang Pilkada melalui DPRD. Karena Perppu ini dikeluarkan dengan jangka waktu yang sangat dekat disahkannya UU Pilkada melalui DPRD, mayoritas Fraksi di Komisi II menilai banyak hal yang perlu diperbaiki dari Perppu ini. Salah satu poin yang perlu diperbaiki adalah persoalan yang bertentangan dengan putusan MK.

BACA JUGA: