JAKARTA, GRESNEWS.COM - Usulan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo agar ada peningkatan bantuan dana bagi partai politik sebesar Rp21 triliun atau 1% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mendapat kritik tajam. Pasalnya, selama ini parpol dinilai tak pernah transparan dalam pengelolaan keuangan. Terlebih lagi parpol juga dinilai tak melaksanakan fungsinya melakukan pendidikan politik.

"Jumlah seperti itu tidak sedikit, melihat ketidakjelasan fungsi partai politik, khususnya keharusan dalam melaksanakan pendidikan politik," kata Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Andrian Habibi, kepada gresnews.com, Senin (8/8).

Menurut Habibi, sejatinya, uang rakyat yang dikelola oleh negara diberikan kepada partai dengan harapan partai mampu mencerdaskan politik rakyat atau rakyat dalam berpolitik. Dengan demikian partai barulah berhak menerima dana rakyat untuk menjalankan aktivitas yang benar-benar dijalankan.

Seandainya partai politik mampu menjalankan semua fungsi dengan baik, yang ditandai dengan meningkatnya partisipasi politik warga negara dalam kepemiluan, masyarakat diyakini akan mendukung usulan tersebut. "Kita akan mendukung dengan peningkatan dana partai, jangankan 1%, kalau perlu 10% APBN diserahkan ke partai politik kalau memang mampu meningkatkan kerja partai," ujar Habibi.

Sayangnya, hal itu sampai sekarang belumlah menjadi kenyataan. Karena itu, cita-cita meningkatkan dana bagi parpol untuk meningkatkan peran parpol dalam melakukan pendidikan politik kepada rakyat menjadi pertanyaan.

Demikian pula dengan pernyataan bahwa peningkatan dana parpol dari APBN akan menurunkan jumlah tersangka korupsi karena kader partai tidak perlu mencari "dana setan" dalam proyek-proyek di pemerintahan (kementerian), juga menjadi pertanyaan. Terlebih lagi, parpol pun masih belum transparan dalam laporan keuangannya. "Bahkan seandainya peran parpol sudah ideal pun, sebelum memberikan dana berapa pun persentase-nya dari APBN, harus didahului dari kesiapan partai untuk membuka diri," tegasnya.

Habibi menyatakan, partai politik harus melaporkan keuangannya sejak berdiri hingga sekarang ke publik melalui media massa. "Hal ini demi menjaga kepercayaan antar rakyat dengan partai politik. Selain itu, partai harus membuka secara terbuka dan menelanjangi keuangannya," ujarnya.

Pedomannya, kata Habibi, ´kalau bersih kenapa harus risih´. Keterbukaan partai adalah bentuk pemenuhan hak warga negara untuk mengetahui segala bentuk kegiatan partai. "Dari kegiatan bisa dilihat dana yang telah dihabiskan oleh partai," terangnya.

Kemudian dana tersebut bisa ditambah untuk menguatkan kinerja yang pada akhirnya partai mampu menjawab tantangan atas regulasi yang disahkan oleh diri sendiri, seperti UU keterbukaan Informasi Publik dan UU Pelayanan Publik. "Bila partai minta dana rakyat tapi tidak mau membantu rakyat untuk cerdas mempelajari tata kelola partai, lalu untuk apa partai diberikan uang rakyat?" ujar Habibi.

Jika tak mampu transparan, partai politik sebaiknya mandiri dan mendirikan badan usaha partai dalam hal meraup uang halal. "Jangan biasakan mengevaluasi anggaran pemerintah dan lembaga independen lain padahal evaluasi anggaran partai sendiri tidak jelas," pungkasnya.

Hal senada sebenarnya juga ditegaskan Agus Rahardjo. Dia mengatakan, setuju ada tata ulang kelola dana APBN untuk partai politik, asal transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. "Yang terpenting adalah sistem tata kelola keuangan agar lebih terbuka," tegas Agus.

SUMBANGAN DAERAH - Sementara itu, dalam pertemuan nasional soal pendanaan partai politik melalui anggaran negara yang dihelat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terungkap selama ini parpol juga menerima sumbangan dari daerah. "Kami di daerah misalnya, sebetulnya ada bantuan keuangan untuk partai politik tingkat II. Sifatnya bantuan keuangan. Ini pun kita berikan, dan ini biasanya mereka usulkan dengan mengajukan proposal terdahulu," kata Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany di acara tersebut, beberapa waktu lalu.

Airin menjelaskan, partai politik tingkat II atau DPD II akan mengajukan proposal untuk meminta bantuan dana tersebut. Pemda pun akan mengkaji serta menganalisis program atau kegiatan yang akan dilakukan partai sebelum memberi bantuan dana.

"Kita kaji, kita analisis sesuai aturan dan ketentuan, dan sesuai kekuatan anggaran. Kalau partai pasti mintanya banyak, tapi kami daerah tahu mana yang lebih masuk skala prioritas sehingga dengan kemampuan anggaran kita, kita pun beri bantuan," ujar Airin.

Dana bantuan untuk parpol dari daerah ini ada mekanisme penghitungannya, yaitu berdasarkan perolehan suara partai di daerah tersebut. Di pusat sendiri, bantuan yang diberikan untuk partai adalah Rp108 per satu suara. "Paling besar hanya sekitar Rp70-80 juta. Itu komposisinya berdasarkan jumlah suara yang diperoleh," jelas politisi Partai Golkar itu.

Soal wacana pembiayaan partai politik melalui APBN, Airin menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat. Sebab pemerintah lah yang mengerti kemampuan anggarannya sendiri. "Kalau APBN kan yang tahu pemerintah pusat. Kekuatan anggaran sejauh mana, apakah mereka mampu atau tidak kan dari pemerintah pusat," kata Airin.

Daerah, kata Airin, tak mempermasalahkan sumbangan daerah untuk parpol. Hanya saja, menurut dia, anggaran itu harus jelas, terukur, dan dimanfaatkan dalam rangka untuk kepentingan partai politik.

Dia mengaku mendukung pembiayaan partai politik oleh APBN. Hal itu dinilainya akan berdampak positif bagi partai politik. Tak hanya dari segi operasional, tapi juga bisa berguna bagi para pemilih partai-partai politik itu sendiri. "Yang tak kalah pentingnya, itu bisa dimanfaatkan oleh partai-partai politik dalam rangka memberikan manfaat untuk para konstituennya," tutur Airin.

BELUM SAATNYA - Meski dinilai positif, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menilai, pembiayaan parpol dari APBN belum saatnya diterapkan di Indonesia. Alasannya, karena kondisi keuangan pemerintah belum membaik. Pada saat ini, kata Tjahjo, prioritas utama pemerintah adalah pembangunan infrastruktur.

"Masih dalam kajian. Masih konsolidasi keuangan yang penting untuk pembangunan infrastruktur ke depan. Pertumbuhan juga belum mencapai titik yang bagus. Teman-teman parpol juga tidak memaksa, masih melihat kondisi keuangan negara," ujar Tjahjo, Jumat (5/8).

Atas kondisi tersebut, menurut Tjahjo, hal itu belum dapat dilakukan tahun ini. "Menurut saya, belum waktunya sekarang," ujar Tjahjo di sela-sela acara Sosialisasi PP tentang Organisasi Pemerintah Daerah kepada Sekda dan Ketua DPRD se-Indonesia.

Pembiayaan kepada parpol ini, dikatakan Tjahjo, dilakukan untuk memperbaiki internal parpol soal pendapatan keuangan. Sebab, pemerintah tidak dapat melakukan hal seperti intervensi kepada parpol.

"(Untuk) internal partai. Kan pemerintah juga tidak bisa mengintervensi parpol. Partai punya AD/ART. Partai punya mekanisme konsolidasi, punya target politik dan sebagainya," katanya. (dtc)

BACA JUGA: