JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sepanjang tahun ini setidaknya sudah empat kali Kelompok Abu Sayyaf menculik Warga Negara Indonesia ( WNI). Pada 9 Juli lalu, mereka sengaja menculik tiga WNI asal Nusa Tenggara Timur (NTT) dari kapal penangkap ikan LLD 113/5/F berbendera Malaysia.

Hingga kini pemerintah Indonesia belum dapat berbuat banyak untuk membebaskan sandera. Opsi yang dilakukan baru sebatas melakukan kegiatan inteligen dan melakukan negosiasi. Opsi menggelar aksi militer membebaskan sandera selalu terbentur masalah batas negara, belum ada izin dari Filipina untuk memasukkan tentara ke wilayah mereka.

Namun ada solusi yang disampaikan mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris ( BNPT) Ansyaad Mbai. Ia mengatakan sering terjadinya penculikan atau penyanderaan terhadap WNI bukan karena pemerintah Indonesia kurang pengawasan terhadap wilayah perbatasan. Masalah utama yang kini tengah terjadi penculikan tersebut bukan aksi pembajakan biasa namun soal terorisme yang tidak kunjung usai.

Menurutnya penyelesaiannya tentu dengan pendekatan counter terorisme. "Ada resolusi PBB yang intinya bahwa kasus teror yang terjadi di suatu negara, maka negara lain juga punya juridiksi untuk menanganinya bila yang warga negaranya menjadi korban atau kepentingan negara tersebut menjadi target," kata Ansyaad kepada gresnews.com, Sabtu (16/7) saat dimintai tanggapan soal penyanderaan WNI di Malaysia.

Ansyaad mengungkapkan, bahwa dalam Pasal 3 UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyebut setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah negara Republik Indonesia atau negara lain juga mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya terhadap pelaku tersebut.

Kemudian, kata Ansyaad dalam Pasal 6 juga menjelaskan, tentang setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror serta rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup, fasilitas nasional, fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau hukuman seumur hidup. Sesingkat-singkat dipejara empat tahun dan paling lama 20 tahun penjara.

"Maka semua negara anggota PBB tentu wajib melaksanakan prinsip ini. Jadi kita bisa masuk ke Filipina dan Malaysia dan lainnya untuk menangani masalah ini melalui start counter teror," tegasnya.

Menurutnya jika pendekatan seperti saat ini, maka Indonesia akan menjadi mesin ATM bagi kelompok penculik dan menjadi pecundang. "Saya yakin Presiden Filipina Rodrigo Duterte akan setuju, karena beliau terkenal galak terhadap para kriminal," katanya.

CURIGAI MALAYSIA - Sementara itu, pengamat politik dan juga mantan juru bicara Presiden era Gus Dur, Adhie M Massardi mengatakan ada dugaan keterlibatan Malaysia dalam penyanderaan tiga WNI beberapa waktu lalu. Caranya mereka memanfaatkan kelompok Abu Sayyaf ini guna menggangu keamanan dan stabilitas Indonesia.

"Indonesia dulu pernah dibuat kalang kabut oleh dua pelaku teroris asal Malaysia, Dr Azahari dan Noordin M Top , kini kita kalang kabut dibuat ulah oleh kelompok Abu Sayyaf," kata Adhie kepada gresnews.com, Sabtu ( 16/7).

Menurutnya dalam masalah ini, pemerintah Malaysia harus bertanggung jawab karena tiga orang WNI asal NTT yang disandera dan ribuan WNI di Malaysia Timur sejak dulu bekerja sudah banting tulang memajukan Malaysia. Mereka banyak yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di berbagai sektor.

"Pemerintah harus tegas, agar pemerintah Malaysia membantu melepaskan tiga WNI kita yang disandera," jelasnya.

Namun pengamat Militer dan Teroris, dari Institute for Security and Strategic Studies ( ISEES) Khairul Fahmi mengatakan menduga-duga keterlibatan Malaysia, selain berpotensi sesat logika, juga cenderung memperlebar persoalan.

"Indonesia sebaiknya fokus saja pada upaya pembebasan sandera dan memikirkan langkah strategis agar tak terulang lagi di masa depan," kata Khairul kepada gresnews.com, Sabtu (16/7) malam.

Dia menilai negosiasi diplomatik dikabarkan telah berhasil meyakinkan pemerintah Filipina untuk membuka pintu bagi masuknya militer Indonesia.

"Namun saya belum melihat konkritnya seperti apa. Apakah itu termasuk diizinkannya TNI melakukan operasi militer terbatas di kawasan yang diduga menjadi lokasi penyanderaan? ," jelasnya.

Menurutnya tentu ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi, seperti ruang lingkup operasi, jumlah personil, alutsista yang digunakan maupun tenggat waktu. TNI memang telah menyiapkan personilnya untuk diterjunkan, latihan-latihan pun telah dilakukan, namun perlu detil yang lebih akurat menyangkut posisi, kekuatan dan persenjataan asing.

"Karenanya saya memilih memberi kesempatan bagi TNI untuk bergerak secara senyap agar upaya tindakan tegas kali ini berhasil," ujarnya.

Khairul berharap, pemerintah menghentikan pola pembebasan dengan cara kompromi seperti yang lalu. Selain menunjukkan ketidaktegasan, itu juga tidak menjadi jaminan kasus serupa tak terjadi lagi di kemudian hari.

"Lebih daripada itu, penyanderaan berulang menunjukkan masih adanya celah rawan dalam pengelolaan sistem keamanan laut kita. Masih karut marut, tumpang tindih antar stakeholders dan tak terkoordinasi dengan negara-negara sekawasan," ungkapnya.

Seperti diketahui sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, berdasarkan keterangan pemerintah Malaysia bahwa ada tiga orang WNI telah diculik oleh lima pria bersenjata di perairan Malaysia. Mereka berasal dari Nusa Tenggara Timur ( NTT) yakni Lorens Koten, selaku juragan kapal, Emanuel dan Teodorus Kopong sebagai anak buah kapal (ABK).

Dalam penculikan dilakukan pada 9 Juli lalu dari kapal penangkap ikan LLD 113/5/F berbendera Malaysia. Jaringan Abu Sayyaf sengaja memilih sandera yang berasal dari Indonesia, itu dilakukan setelah melihat paspor masing-masing anak buah kapal. Mereka diculik ketika tengah melaut di perairan Malaysia, tepatnya di Lahad Datu.

 

BACA JUGA: