JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dua minggu sudah pemerintah mengeluarkan pecahan uang baru. Namun hingga kini belum juga terang alasan mengapa pemerintah mengeluarkan uang baru tersebut.

Pengamat Ekonomi Politik Nasional dari Universitas Bung Karno Salamuddin Daeng mengatakan seharusnya pemerintah memberi penjelasan yang terang benderang kepada publik terkait pencetakan uang baru yang diumumkan pada Senin, (19/12) lalu. "Pertanyaan utama, apakah pencetakan uang baru itu untuk membiayai defisit APBN dan tidak tercapainya target pajak pemerintah?" kata Salamuddin kepada gresnews.com, Rabu (4/1).

Selain itu, menurut Salamuddin, publik juga harus diberitahu seberapa banyak dan di mana uang baru tersebut dicetak, serta apa dasar pemerintah mencetak uang tersebut. Menurutnya, hal itu penting dikemukakan lebih-lebih di awal peredarannya, sejumlah masyarakat sempat mempertanyakan mengapa uang baru itu memiliki kemiripan dengan Yuan.

"Ini harus dijelaskan kepada masyarakat. Ini juga sekaligus mengkonfirmasi pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa standar Rupiah bisa juga diukur dengan mata uang Cina itu. Apakah ada kaitannya?" papar Salamuddin.

Salamuddin menjelaskan, pencetakan uang tak bisa dilepaskan dari aspek ketahanan nasional, keamanan nasional, keselamatan bangsa, negara, juga masyarakat. Menurutnya, pencetakan uang dalam jumlah tertentu harus jelas dasar-dasarnya. Pasalnya, jika uang asal dicetak maka hal itu akan memicu inflasi, juga menurunkan kepercayaan publik dan dunia internasional terhadap mata uang Rupiah.

"Apalagi di sela launching saat itu, Bank Indonesia (BI) juga meminta dukungan presiden untuk melakukan redenominasi (penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya-red). Ini akan membuat publik semakin ragu tentang nilai Rupiah yang sebenarnya," lanjutnya.

Salamuddin juga menyatakan, sebelum uang baru itu dicetak, beredar juga uang Rupiah atas nama pemerintah Republik Indonesia, seiring beredarnya uang Rupiah atas nama Bank Indonesia. Menurutnya, terkait hal itu, publik juga harus diberitahu siapakah yang sebenarnya punya otoritas mencetak uang.

Salamuddin khawatir, tanpa adanya kejelasan mengenai otoritas tersebut, Rupiah menjadi tidak terkontrol. "Tentu, ini hal yang gawat," tegasnya.

Terakhir, Salamuddin menerangkan bahwa supremasi Rupiah merupakan salah satu bentuk kedaualatan negara yang harus terus diperjuangkan. Apalagi di era saat ini, uang cetak dan electronic money (e money) sama-sama banyak digunakan. Sejumlah pihak bahkan telah mencetak uang sendiri dalam bentuk e-money dan meninggalkan uang kertas yang dibuat oleh negara.

Menurut Salamuddin, hal itu perlu mendapat perhatian agar tidak dijadikan celah oleh segelintir pihak untuk kemudian melemahkan supremasi Rupiah. "Uang Rupiah bisa saja dihancurkan untuk memperkuat posisi korporasi yang sudah mulai mengambil alih otoritas negara dengan e-money mereka," pungkasnya.

BANTAHAN BI - Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Tirta Segara menjelaskan, pencetakan uang baru tidak ada hubungannya dengan defisit APBN ataupun target pajak pemerintah. Menurutnya, hal itu dilakukan Bank Indonesia berdasar amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

"Dan itu merupakan hal yang lazim dilakukan oleh bank sentral di berbagai negara. Tujuannya, untuk meningkatkan atau memperbarui unsur pengaman dalam rangka mengantisipasi resiko pemalsuan," kata Tirta kepada gresnews.com, Rabu (4/1).

Tirta menjelaskan, hal-hal yang diatur dalam UU Mata Uang antara lain ciri-ciri umum dan khusus mengenai Rupiah. Misalnya, pencantuman tanda tangan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan RI, serta frasa ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’. Selain itu, Tirta menjelaskan, gambar utama uang Rupiah adalah gambar tokoh pahlawan nasional yang telah meninggal dunia. Dan, sebagaimana uang Rupiah terdahulu, mata uang baru juga memiliki makna filosofis bahwa Rupiah merupakan simbol kedaulatan negara Republik Indonesia.

"Sebagian besar negara di dunia juga menggunakan gambar pahlawan atau tokoh-tokoh negaranya. Rupiah menggunakan gambar pahlawan atau tokoh yang berbeda di setiap pecahan, seperti halnya, misal, Amerika Serikat dan Kanada. Sementara beberapa mata uang lain, seperti Poundsterling, Yuan atau Renmimbi menggunakan gambar 1 tokoh yang sama untuk setiap pecahan," papar Tirta.

Adapun mengenai lokasi di mana dicetaknya uang baru tersebut, Tirta menjelaskan, sesuai amanat UU Mata Uang, pencetakan dilakukan di dalam negeri atas otoritas Bank Indonesia dengan menunjuk Badan Usaha Milik Negara Pencetakan Rupiah (Peruri) sebagai pelaksana. 

Menanggapi pihak-pihak yang mempertanyakan mengapa uang baru ini memiliki kemiripan dengan Yuan, Tirta menjelaskan bahwa uang baru tidak hanya sama dengan Yuan, tapi juga dengan sejumlah mata uang lain di dunia, misalnya Euro, Renmimbi, Baht, dan beberapa mata uang lainnya. Menurutnya, hal itu tidak lepas dari adanya berbagai pertimbangan dan best practice dalam penyusunan desain uang, yang mengakibatkan sebagian besar mata uang di dunia saat ini memang memiliki kesamaan, khususnya jika dilihat dari skema warna.

"Sebagian besar bank sentral di dunia menggunakan warna sebagai pembeda antar pecahan. Kemudahan membedakan uang berdasarkan warna merupakan salah satu pertimbangan otoritas di dunia dalam menentukan desain uang. Itulah sebabnya mengapa Rupiah memiliki kesamaan dengan sejumlah mata uang lain," papar Tirta.

Tirta menjelaskan, untuk memudahkan masyarakat, biasanya pemilihan warna mata uang dilakukan dengan menggunakan skema Munsell, yakni untuk pecahan dengan angka depan digunakan warna yang berbeda secara kontras. Menurutnya, penentuan warna uang Rupiah pun dilakukan dengan pertimbangan yang cermat.

"Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia, lebih dari 90% responden membedakan pecahan uang berdasarkan warna. Untuk memudahkan masyarakat, uang pecahan baru masih menggunakan warna dominan yang sama dengan desain uang sebelumnya," katanya.

Mengenai maraknya penggunaan e-money, Tirta menjelaskan bahwa hal itu bukanlah perkara yang perlu terlalu dirisaukan. Menurutnya, kecintaan terhadap Rupiah tidak hanya terbatas pada instrumen pembayaran tunai, namun juga bisa ditunjukkan dengan menggunakan instrumen pembayaran non tunai (termasuk di dalamnya adalah uang elektronik Rupiah).

"Uang elektronik ini merupakan bagian dari Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan instrumen non tunai, sehingga berangsur-angsur terbentuk suatu komunitas atau masyarakat yang lebih menggunakan instrumen non tunai (Less Cash Society/LCS) khususnya dalam melakukan transaksi atas kegiatan ekonominya," kata Tirta.

Tirta menegaskan, sesuai UU Mata Uang, Rupiah merupakan alat pembayaran yang sah dan wajib digunakan dalam setiap transaksi di seluruh wilayah NKRI. Penggunaan uang selain Rupiah di dalam berbagai transaksi di NKRI tidak sejalan dengan semangat nasionalisme dan melanggar Undang-Undang serta ketentuan yang berlaku. Pelanggaran tersebut dapat dipidanakan dan dikenakan sanksi, kecuali untuk transaksi tertentu yang diperbolehkan UU dan ketentuan yang ada.

"Kewajiban penggunaan Rupiah ada karena uang merupakan salah satu simbol sebuah negara. Sebagai mata uang negara Indonesia, sudah sewajarnya Rupiah berdaulat di wilayah NKRI dan digunakan dalam seluruh transaksi. Kecintaan terhadap Rupiah merupakan salah satu wujud kecintaan terhadap bangsa. Kecintaan dan kebanggaan terhadap Rupiah dapat pula membantu menjaga kestabilan nilai mata uang kita," katanya.

Terakhir, Tirta menegakan, sebagai pemilik otoritas sistem pembayaran di Indonesia, Bank Indonesia memiliki komitmen untuk terus mewujudkan sistem pembayaran yang efisien, aman dan andal. "Tentu, dengan tetap menjunjung tinggi aspek perlindungan konsumen, memperhatikan perluasan akses, dan kepentingan nasional," pungkasnya. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: