JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pertemuan sejumlah menteri membahas kelanjutan bisnis PT Freeport Indonesia menuai kritik sejumlah pihak. Pasalnya pertemuan pada 4 Juli 2017 yang membahas empat hal terkait PT Freeport, seperti perpanjangan operasi Freeport, pembangunan smelter, divestasi saham serta stabilitas investasi perusahaan asal Amerika itu, sama sekali tak menyinggung persoalan lingkungan dan nasib masyarakat Papua.

Nasib masyarakat asli Papua serta lingkungan yang mengalami dampak dari operasi PT Freeport Indonesia selama ini sepertinya tidak menjadi pembahasan dalam pertemuan tersebut. "Keterlibatan masyarakat yang mengalami kerugian dari operasi PT Freeport Indonesia selalu saja diabaikan oleh pemerintah," tulis Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyu Wagiman dalam rilisnya, yang diterima gresnews.com, Jumat (7/7).

Selain persoalan itu, menurut Wahyu, sebelumnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 6 (enam) pelanggaran yang dilakukan PT Freeport Indonesia. Dalam hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas kontrak karya tahun anggaran 2013-2015, BPK menemukan pelanggaran bahwa penambangan PT Freeport menimbulkan kerusakan karena membuang limbah operasional di sungai, muara dan laut. Akibatnya negara mengalami kerugian sebesar Rp185 triliun.

Selain itu BPK juga menyatakan PT Freeport Indonesia telah menggunakan tanpa izin kawasan hutan lindung dalam kegiatan operasional pertambangan Freeport, minimal 4.535,93 hektare, sejak 2008 hingga 2015. "Akibatnya negara berpotensi merugi sekitar Rp270 miliar karena kehilangan potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP)," tutur Wahyu.

Kerusakan lingkungan akibat pembuangan limbah dan penggunaan hutan lindung tanpa izin itu juga telah merugikan masyarakat yang berada di sekitar hutan tersebut. Masyarakat juga kehilangan hak atas air serta lingkungan hidup yang layak.

Disisi lain, PT Freeport Indonesia juga disinyalir telah melanggar aturan ketenagakerjaan yang berlaku karena telah melakukan PHK kepada 4.000 pekerja secara sepihak. PHK tersebut dilakukan oleh PT Freeport Indonesia karena ribuan pekerja itu melakukan aksi mogok kerja sejak tanggal 1 Mei 2017. "Pemerintah daerah maupun pemerintah pusat juga telah memberikan peringatan kepada PT Freeport Indonesia terkait PHK massal ini, namun tidak dihiraukan oleh perusahaan tersebut," ungkapnya.

Menurut Wahyu, berbagai permasalahan yang muncul seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah ketika membahas kelanjutan bisnis PT Freeport Indonesia. Namun perundingan antara pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia selama ini tidak pernah membahas pemulihan lingkungan hidup dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di wilayah konsesi PT Freeport Indonesia.

"Padahal, seluruh hasil perundingan dan kebijakan yang dihasilkan akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan hidup, kesejahteraan dan perlindungan lingkungan hidup di tanah Papua," paparnya.

Pemerintah Indonesia, kata Wahyu, seharusnya menjadikan dan menyiapkan sumber-sumber penghidupan bagi masyarakat di sekitar areal  pertambangan pasca habisnya bahan-bahan minerba di wilayah operasi PT Freeport Indonesia untuk 10 atau mungkin 50 tahun yang akan datang. "Pemanfaatan seluruh sumber daya alam yang berada di tanah Papua seharusnya dipergunakan bagi kesejahteraan dan peningkatan mutu kehidupan masyarakat Papua," ujarnya.

Hal -hal tersebut menurut Wahyu harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia saat bernegosiasi dengan PT Freeport. Selain itu pemerintah perlu melibatkan masyarakat Papua dalam setiap negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia. "Jangan hanya mementingkan kepentingan PT Freeport Indonesia, yang kemudian akan mengorbankan kepentingan masyarakat Papua," tambahnya. (rm)

BACA JUGA: