PTUN Jakarta tidak menerima gugatan 7 advokat dari Surabaya soal hak angket KPK karena kasus yang dimohonkan bukan kewenangan PTUN untuk mengadilinya. Sidang itu dilarang untuk diliput media massa.

"Memutuskan, tidak berwenang untuk memeriksa, memutuskan menyelesaikan perkara karena nyata-nyata tidak termasuk dalam kewenangan absolut PTUN," kata humas PTUN Jakarta, Subur di PTUN Jakarta, Jalan Sentra Primer Timur Baru, Jakarta Timur, Jakarta, Rabu (9/8).

Ia menjelaskan, berdasarkan pasal 62 UU PTUN, materi gugatan tidak masuk dalam kategori kewenangan TUN. Selain itu, syarat gugatan tidak terpenuhi dan tidak didasarkan pada gugatan yang layak.

"Dengan dasar norma itu, ketua pengadilan dalam kewenangannya, diproses dismisal ini berpendapat keputusan DPR berkaitan dengan hak angket ini disimpulkan bukan merupakan keputusan TUN dalam kaitan penyelenggaraan pemerintahan," ujar Subur.

Atas vonis itu, salah satu dari tujuh advokat, Muhammad Sholeh mengaku kecewa karena menurut PTUN Jakarta tidak masuk ranah TUN. "Tentu ini tidak melegakan kami. Yang kami takutkan soal legal standing, justru PTUN tidak menyoalkan itu tetapi objek sengketa yang dipersoalkan," kata M Sholeh.

Sidang dimulai jam 13.05 WIB. Awalnya, para pihak ke ruang sidang sebelah kanan gedung. Saat wartawan hendak meliput, petugas pengadilan tidak mengizinkan sidang itu untuk diliput.

"Keluar, nggak boleh masuk. Tunggu di luar," kata petugas.  

Sebelumnya para advokat yang tergabung dalam Sholeh and Partners Advokat mendatangi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Para advokat yang berasal dari Surabaya tersebut menggugat keputusan DPR RI terkait hak angket KPK.

"Jadi kami tujuh advokat dari Surabaya mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta terkait keputusan DPR RI tentang hak angket KPK," kata Muhammad Sholeh, di PTUN Jakarta, Cakung, Jakarta Timur, Senin (31/7).

Sholeh mengatakan objek gugatan tersebut terkait keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/V/2016-2017 tentang pembentukan panitia angket DPR RI terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK. Menurutnya, selama ini dukungan terhadap KPK hanya seruan moral. Karena itu, tujuh advokat tersebut mencoba mengkonkretkan dukungan ke KPK dengan menggugatnya ke PTUN.

"Nah, ini upaya kita, karena memang sampai sekarang ini di Jakarta belum ada yang mempersoalkan status hukum. Dan ini juga mengikuti saran dari ahli yang dipanggil oleh DPR, yaitu Prof Yusril Ihza Mahendra, yang menyatakan sebaiknya angket itu diujikan di pengadilan ini melanggar hukum atau tidak," ucap Sholeh.

Sholeh berharap dalam waktu cepat PTUN segera bersidang dan memutuskan hak angket KPK tersebut melanggar hukum atau tidak.

"Harapan kita, dalam waktu cepat ini PTUN ini segera bersidang supaya waktu kerja angket ini kan 60 hari. Jadi sebelum 60 hari itu ada keputusan dari PTUN Jakarta ini apakah memang keputusan angket KPK itu melanggar hukum atau tidak," tambahnya.

Sholeh menilai, jika hak angket KPK ini dibiarkan, akan sangat berbahaya bagi independensi lembaga KPK. Lanjut Sholeh, hak angket DPR ini bukan hanya membahayakan KPK, namun juga membahayakan lembaga-lembaga peradilan lainnya.

"KPK ini adalah lembaga independen yang tidak di bawah pemerintah, ini bisa diangket, maka bisa saja putusan Mahkamah Agung yang tidak diaminin dan tidak sependapat dengan DPR, maka DPR juga bisa membuat angket kepada Mahkamah Agung. Akhirnya lembaga peradilan menjadi tidak independen lagi," terang Sholeh. (dtc/mfb)

BACA JUGA: