ICW menyebut kasus meninggalnya bayi Debora hanya salah satu contoh masalah terkait program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tiara Debora meregang nyawa usai ditolak Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres Jakarta Barat karena orangtuanya tidak sanggup membayar uang muka ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

ICW bersama 14 organisasi pemantau menemukan berbagai kecurangan (fraud) dari tingkat pasien, Rumah Sakit (RS), Puskesmas hingga penyedia obat. Penelitian itu dilakukan di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, NTT dan NTB.

"Tujuan penelitian ini kami berharap bisa mendorong perbaikan layanan jaminan kesehatan dan layanan fasilitas kesehatan bagi peserta JKN, khususnya pagi peserta KIS maupun PIB. Kajian ini memberikan gambaran titik rawan kecurangan," kata koordinator Divisi Kampanye Publik ICW Siti Juliantari saat konferensi pers di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Kamis (14/9).

Tari mengungkapkan pihaknya menemukan 49 kecurangan program JKN yang terdiri dari pelaku peserta BPJS sebanyak 10 temuan, BPJS Kesehatan 1 temuan, Fasilitas Kesehatan 36 temuan, dan penyedia obat sebanyak 2 temuan.

Tari mencontohkan kecurangan yang dilakukan RS Pemerintah atau Swasta salah satunya terkait dengan klaim tagihan BPJS Kesehatan. Tari mencontohkan untuk mendapat kelebihan bayar pihak RS mendiagnosa pasien tidak sesuai dengan penyakitnya.

"Potensinya lumayan besar karena hitungan klaim itu cukup besar. Kalau satu RS sakitnya hanya tipes diklaimnya DBD itu terus-terusan dibayarkan BPJS itu sebenarnya nilainya jauh lebih besar," jelasnya.

"Berdasarkan temuan audit BPK 2016 di JKN menyampaikan proses verifikasi belum optimal dan terdapat kelebihan klaim pembayaran pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan sebesar Rp 2,69 miliar," sambungnya.

Kecurangan-kecurangan itu juga ditemukan di daerah dengan modus yang beragam. Salah satu peneliti dari Pondok Keadilan Madura Fauzin menyampaikan di salah desa di Bangkalan ditemukan jumlah BPJS Kesehatan penerima bantuan iuran (PBI) lebih besar daripada jumlah penduduk di wilayah tersebut.

"Di kecamatan Kokop, Bangkalan, jumlah warga 71 ribuan sementara kapitasi tertulis 83 ribuan. Kemarin dari pihak BPJS-nya bilang ada kemungkinan penduduk kecamatan lain masuk ke situ. Masa iya jumlah total 71 ribu itu PBI semua, miskin semua. Kalaupun ada tambahan penduduk itu janggal," urai Fauzin.

Fauzin juga mengatakan masih banyak menemukan warga yang memiliki dobel kartu jaminan kesehatan seperti Jamkesda dan juga Kartu Indonesia Sehat (KIS). Dia juga mengungkapkan di wilayahnya ada kepala desa yang memegang kartu BPJS Kesehatan milik warganya. Padahal, seharusnya kartu itu didistribusikan kepada yang berhak.

Sementara itu, peneliti Garut Government Watch, Yudi menemukan kecurangan yang dilakukan oleh oknum petugas BPJS. Bentuk kecurangan itu ialah peserta sudah rutin membayar iuran bulanan namun saat digunakan berobat kartu tidak bisa digunakan.

"Tiap bulan selalu bayar iuran tapi tidak dilayani karena kartu tidak aktif. Kenapa peserta dan saya tahu tidak aktif karena cek di e-KTP," jelasnya.

"Sementara pihak BPJS ketika dikonfirmasi mengaku sedang sibuk. Pihak Puskesmas juga mengatakan kejadian ini bukan hanya pihak bapak saja," sambungnya.

Lain halnya dengan kasus di Makassar. Peneliti lainnya, Hamka, menyebut pihak Pemkot mendaftarkan peserta PBI namun tidak semuanya diterima. Padahal pihak Pemkot sudah siap menanggung biaya iuran para warga miskin tersebut.

"Tapi di Makassar dari data yang diajukan tidak sampai 50 persen yang diterima sementara pemkot mengajukan nama yang pasti pembayaran sudah siap. BPJS-nya tertutup, tanpa alasan memberitahukan (penolakan) ke kita," ujar Hamka.

Peneliti lainnya, Rizky menyebut salah satu modus kecurangan yang dilakukan pihak RS di Samarinda adalah pembatasan rawat inap. Dia menemukan pasien BPJS selalu diberitahu jika ada pembatasan rawat inap hingga 4-5 hari.

"Biasanya masa perawatan lebih 4-5 hari dimintai biaya mereka akan membayar. Itu adalah lubang besar untuk terjadinya praktik fraud di RS," jelasnya.

Sementara itu di Blitar temuan kecurangan terjadi pada klaim palsu, penggelembungan tagihan obat dan alkes, pasien rujukan semu, memperpanjang masa perawatan bisa dilakukan beragam modus. Ada juga manipulasi kelas perawatan, penyimpangan prosedur dan meminta cost sharing tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Persoalan ini dilakukan dengan unsur kesengajaan di RS untuk mendaptkan kelebihan pembayaran. Hal-hal ini yang terjadi di 15 RS pemantauan di Blitar. Perilaku ini dilakukan dengan kelonggaran pihak BPJS, Dinas Kesehatan dan RS," ujar peniliti lainnya, Triyanto.

Sementara itu dari pihak penyedia obat seringkali tidak memenuhi kebutuhan obat dan atau alat kesehatan sesuai perundang-undangan. Seperti kasus yang terjadi di Medan.

"Jadi ada pengurangan jatah obat. Di dokter Medan menuliskan resep 3x1 untuk 10 hari ke depan. Tapi setelah resep ditukarkan ke apoteker malah dikurangi dengan jatah 2x1 digunakan untuk 7 hari," ujar Prasetya Hadi.

Data ICW periode 2010-2016 menunjukkan peringkat obyek korupsi dana jaminan kesehatan yang diselenggarakan BPJS semakin meningkat. Hal itu terlihat dari 26 kasus dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 62,1 miliar.

"Dari data ICW 2010-2016 melihat tren meningkatnya objek korupsi menjurus ke dana kesehatan. Sebelumnya yang sering dikorupsi alat kesehatan, tapi setelah penerapan program JKN ini kita melihat penambahan kasus korupsi yang objeknya dana kesehatan," ujar Tari. (dtc/mfb)

BACA JUGA: