Sri Bintang Pamungkas menggugat norma Pasal  40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ke Mahkamah Konstitusi.  Tokoh aktivis, yang pada Jumat (2/12) lalu ditangkap aparat lantaran diduga hendak melakukan makar itu menilai penerapan pasal tersebut telah merugikan pihaknya, karena sebagian hak tagih pembayaran pensiunnya sebagai PNS pengajar di Universitas Indonesia dinyatakan kadaluwarsa.  

Sidang perkara dengan Nomor registrasi 107/PUU-XIV/2016 yang diajukannya itu, rencananya digelar pada Rabu (7/12), namun urung. Sebagai pemohon, Sri Bintang menggugat pasal tersebut tanpa melibatkan kuasa hukum.

Statusnya sebagai tersangka perbuatan makar membuat dirinya tidak bisa hadir ke MK.  Permohonan uji materiil Undang-undang itu sendiri disampaikan Sri Bintang pada 2 November 2016, tepat 1 bulan sebelum dirinya ditangkap.

Dalam rilis yang diterima gresnews.com dari pihak MK, disebutkan bahwa Sri Bintang Pamungkas telah mengajar di Fakultas Teknik UI selama 37 tahun. Terhitung mulai bulan Juli 2010, dirinya dinyatakan sebagai pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun demikian, sejak pensiun itu Sri Bintang belum memperoleh  Surat Keterangan Penghentian Pemberian Gaji (SKPP). Barulah pada 6 Oktober 2016 Sri Bintang menyerahkan SKPP ke PT. Taspen.

Jika dihitung dari Juli 2010, maka dana pensiun yang harus diterimanya sebanyak 76 bulan. Namun demikian,  berdasar ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara, jatah pensiun yang dia terima hanya 60 bulan.

Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara berbunyi, "Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kadaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang."

Sebagai pemohon, Sri Bintang menilai bahwa hak tagih terhadap pembayaran pensiun seharusnya bersifat penuh dan tidak mengenal arti kadaluarsa. Sebagai pensiunan PNS, Sri Bintang menganggap bahwa dirinya sudah melaksanakan seluruh kewajibannya hingga tuntas. Atas hal itulah dia menilai hak pensiun yang dia terima tidak layak dipangkas 16 bulan.

"Menurut dalil pemohon, frasa ´jatuh tempo´ adalah istilah yang biasa dipakai manakala ada batas waktu yang diwajibkan dalam suatu perjanjian, misalnya perjanjian pembayaran utang atau piutang dinyatakan sudah habis. Sedang jika tidak ada perjanjian apa pun yang dibuat seorang PNS dengan pemerintah, maka seharusnya frasa ´jatuh tempo´ pada Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara bertentangan dengan UUD 1945," demikian bunyi rilis MK.

Dalam petitumnya, Sri Bintang memohon MK agar menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara tidak berlaku untuk hak tagih mengenai utang atas beban negara terhadap pembayaran uang pensiun mantan Pegawai Negeri. Sri Bintang juga meminta MK menyatakan hak tagih mengenai utang atas beban negara terhadap pembayaran uang pensiun tidak mengenal kadaluarsa, sehingga dengan demikian tidak muncul suatu "hukuman" dalam betuk apa pun, yang salah satunya adalah mengurangi besarnya pembayaran dana pensiun.

Pihak Sri Bintang akhirnya menunjuk M. Anwar untuk maju sebagai kuasa hukum dalam perkara yang tengah dia ajukan. Namun demikian, saat ditemui gresnews.com di gedung MK, M. Anwar tidak banyak memberi komentar. Anwar mengatakan, dirinya akan memeriksa terlebih dahulu berkas-berkas yang diajukan Sri Bintang Pamungkas.(Zulkifli Songyanan/rm)

BACA JUGA: