JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kabar tewasnya 18 prajurit Filipina dalam kontak senjata dengan kelompok teroris Abu Sayyaf membuat keluarga sandera WNI khawatir. Namun, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia menjamin hingga hari ini keadaan para sandera masih baik-baik saja.

Kabar kematian 18 prajurit itu didasarkan pada keterangan rahasia para pejabat militer. Namun dalam keterangan tersebut diketahui kematian 18 prajurit itu adalah dalam rangka memburu komandan kelompok Abu Sayyaf, Isnilon Hapilon, yang tergabung dalam kelompok teroris Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) lantaran diduga terlibat beberapa aksi terorisme. Sayangnya, operasi itu hanya menewaskan putera Isnilon.

"Dari informasi terakhir yang saya peroleh pukul 12.00 WIB, 10 ABK WNI berada dalam kondisi yang baik," ujar Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi, di Kemenlu, Jakarta Pusat, Senin (11/4).

Ia juga memastikan tidak ada korban WNI dalam pertempuran 9 jam di Pulau Basilan, Filipina, pada Sabtu (9/4) kemarin. Apalagi menyangkut nasib 10 ABK yang disandera, sebab posisi mereka sedang tak berada di Basilan saat penyerangan berlangsung.

Retno menyampaikan hingga saat ini Kemenlu masih terus melakukan komunikasi intensif dengan Pemerintah Filipina. Koordinasi antarpihak terus diusahakan, untuk itu ia meminta doa dari seluruh masyarakat Indonesia agar semua upaya yang dilakukan itu berhasil.

Retno mengatakan, sesuai amanat Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, Pemerintah Indonesia memberi perhatian besar terhadap upaya pembebasan WNI. Sehingga sesuai arahan tersebut, presiden meminta penguatan koordinasi.

Terkait berita kontak senjata militer Filipina dengan Kelompok Abu Sayyaf di Pulau Basilan, Retno telah menyampaikan pesan simpati, dukacita dan keprihatinan kepada pemerintah Filipina melalui Menlunya.

Di lain pihak, Ketua Komisi satu DPR RI Mahfudz Siddiq meminta agar Pemerintah mengusahakan jalur negosiasi dengan kelompok penyandera demi keselamatan para WNI yang disandera. Negosiasi yang dilakukan harus mempertimbangkan jalur kemanusiaan.

"Operasi militer Filipina gagal, maka negosiasi merupakan jalan yang harus ditempuh," ujar Mahfudz melalui pesan singkat kepada gresnews.com, Senin (11/4).

Menurutnya, berkaca dari kegagalan Filipina dan apabila pemerintah memprioritaskan keselamatan sandera maka jalur negosiasi merupakan opsi yang harus ditempuh. Dalam hal ini Kemenlu harus terus meningkatkan komunikasi dengan penyandera dan pihak perusahaan sebagai upaya pembebasan sandera.

"Operasi Militer tidak memungkinkan untuk diambil, dan membahayakan," tegasnya.

Berkaca pada operasi militer pemerintah Filipina yang gagal dan menewaskan 18 prajuritnya, Mahfudz meminta Kemenlu mempertimbangkan pendekatan kemanusiaan melalui jalur negosiasi. Untuk itu harus ada komunikasi yang tepat antara penyandera dan perusahaan dalam usaha membebaskan sandera.

"Sejak hari kedua penyanderaan, perusahaan lakukan komunikasi dengan penyandera," katanya.

Apalagi, hal tersebut merupakan kewajiban pemerintah untuk mendampingi dan memfasilitasi dalam upaya pembebasan.

"Peristiwa militer Filipina yang gagal membuktikan bahwa mereka tidak mampu," katanya.

Untuk itu, tak ada jaminan militer Indonesia tidak lebih berisiko terhadap para sandera dan pasukan yang dikirim. Jika negosiasi berhasil dilakukan, maka pemberian uang tebusan dapat diperoleh dari uang perusahaan tempat 10 WNI tersebut bekerja dan bukan diambil dari negara.

"Kan negosiasi tebusan dilakukan antara perusahaan dengan kelompok Abu Sayyaf, pemerintah cukup mendampingi dan mengawal sehingga pembebasan sandera berlangsung aman dan lancar," ujarnya.

MINTA TEBUSAN - Aksi penyanderaan 10 WNI itu diketahui pada 26 Maret 2016 saat pemilik kapal PT Patria Maritime Line menerima telepon pemberitahuan dari para penyanderanya yang mengaku dari kelompok Abu Sayyaf. Mereka menyatakan telah menyandera dua kapalnya kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang membawa 7.000 ton batu bara beserya 10 awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.
 
Saat dibajak, kedua kapal dalam perjalanan dari Sungai Puting (Kalsel) menuju Batangas (Fililina Selatan). Kapal dibajak di sekitar kepulauan Jolo  Filipina.

Disebutkan bahwa kapal beserta muatan 7000 telah dilepas oleh para penyandera dan telah dalam penguasaan otoritas Manila. Namun 10 orang ABK termasuk Kapten Kapal Peter Tonsen Barahama  telah dipindahkan dari laut ke darat oleh para penyaderannya.

Ke-10 WNI tersebut yakni Surianto (25) asal Kabupaten Wajo, Wawan Saputra (22) asal Kota Palopo dan Rinaldi (24) asal Kota Makassar, Peter Tosen Barahama (25) asal Batam, Julian Philip (53) asal Mihahasa, Mahmud (30) asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Alvian Elvis (31), asal Suriah Syah (34) asal Kendari, Sulawesi Tengah, Bayu Oktanianto (22) asal Klaten dan Wendi Raknadian (29) asal Padang, Sumatera Barat.

Dalam komunikasi melalui telepon kepada perusahaan pemilik kapal, pembajak/penyandera menyampaikan tuntutan sejumlah uang tebusan.

"Sejak tanggal 26 Maret, pihak pembajak sudah dua kali menghubungi pemilik kapal," sebut keterangan Kemlu.

LOKASI PENYANDERAAN DIKETAHUI - Hingga saat ini pemerintah tengah intensif menjalin komunikasi dengan pemerintah Filipina. Sementara di dalam Negeri Panglima TNI menyatakan telah menyiapkan sejumlah pasukannya jika diperlukan untuk diterjunkan.

Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo bahkan mengaku telah menerima informasi soal keberadaan 10 WNI yang disandera kelompok milisi Abu Sayyaf.

Informasi itu menurutnya, diperoleh dari koordinasi dengan panglima angkatan perang negara Filipina, Hernando Iriberri. Hanya saja Gatot enggan menyebutkan dimana persisnya keberadaan ke-10 WNI tersebut.

"Berdasarkan hasil koordinasi dengan panglima tentara Filipina, lokasi sudah diketahui, " ujar Gatot di Cilangkap, Rabu (30/3).

Ia mengaku masih terus berkoordinasi dengan Panglima Iriberri untuk mendapatkan perkembangan terakhir kasus penyanderaan WNI. Pihaknya juga mengatakan, siap memberikan bantuan apabila ada permintaan dari Filipina dalam menangani penyanderaan oleh Abu Sayyaf.

"Sejauh ini, TNI hanya bisa melakukan pemantauan dan menunggu koordinasi dengan Filipina," katanya.

Ia mengatakan sejauh ini prioritas TNI adalah menyelamatkan 10 WNI yang disandera. Semua satuan TNI sudah disiagakan dan terus melakukan koordinasi dengan tentara Filipina. Menurutnya, TNI telah memberikan bantuan berupa informasi kepada Filipina untuk mengetahui faksi kelompok Abu Sayyaf yang melakukan penyanderaan.

BACA JUGA: