JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dan DPR menyatakan menolak penilaian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (UU PPTKILN) tidak memiliki kepastian hukum. Sebab penempatan dan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonedia (TKI) jelas datur dalam UU tersebut. Terutama Pasal 26 ayat (2) huruf f dan Pasal 28 UU PPTKILN yang dimintakan pengujian oleh 29 Anak Buah Kapal (ABK).  

"Dalam Pasal 62 UU PPTKI disebutkan setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri wajib memiliki dokumen Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) yang dikeluarkan pemerintah. KTKLN tersebut merupakan identitas TKI selama penempatan di luar negeri," ujar Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP Junimart Girsang yang dalam hal ini mewakili DPR, saat memberikan pandanganya dalam sidang gugatan Uji Materi atas UU Nomor 39 Tahun 2004 di Mahkamah Kontitusi, kemarin.

Girsang menambahkan, KTKLN juga sebagai bukti TKI bersangkutan telah memenuhi prosedur bekerja di luar negeri. Berfungsi juga sebagai instrumen perlindungan pada masa penempatan dan paska penempatan.

Menurutnya dalam Pasal 28 UU PPTKI juga disebutkan yang dimaksud dengan pekerjaan tertentu termasuk pekerjaan sebagai pelaut. Sehingga Anak Buah Kapal (ABK) yang bekerja sebagai TKI di luar negeri wajib juga memiliki KTKLN. Persyaratannya diatur Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan bukan diatur Menteri Perhubungan.

Adanya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 7 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pemberian Elektronik KTKLN pada TKI menurut Junimart merupakan kepastian hukum bahwa Kementerian Ketenagakerjaan yang berwenang memberikan perlindungan. Sehingga dalil pemohon yang menyatakan merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas berlakunya Pasal 28 UU PPTKI dianggap tidak beralasan.

Ia juga menilai apa yang dialami pemohon semata-mata merupakan masalah teknis penerapan dan bukan merupakan masalah konstitusional dan bukan lagi menjadi kewenangan MK. Sebab menurutnya pasal-pasal yang digugat sama sekali tidak bertentangan dengan UU.

Selanjutnya, ia mencatat intinya para pemohon sebenarnya meminta perlindungan hukum terhadap kartu anggota KTKLN mereka. Ia menilai mereka sudah memiliki KTKLN tapi tidak tahu kemana harus melapor dan mendapatkan perlindungan saat ada masalah di luar negeri.

Terkait dengan dalil para Pemohon yang menyatakan terdapat ketidakpastian hukum akibat tidak jelasnya kementerian mana yang berwenang memberikan perlindungan, Girsang menyampaikan bahwa hal tersebut tidak beralasan. Sebab, Pasal 28 UU PPTKILN telah dilengkapi penjelasan yang menyebutkan bahwa pekerjaan atau jabatan dalam pasal a quo merujuk antara lain pekerjaan sebagai pelaut. Syarat dan tata cara memperoleh KTKLN yang diwajibkan dalam pasal a quo juga diatur lebih lanjut lewat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.

“Berdasarkan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang PPTKILN secara jelas disebutkan menteri yang bertanggung jawab ada menteri di bidang ketenagakerjaan. Sehingga ketentuan mengenai pembuatan KTKLN menjadi wewenang Kementerian Ketenagakerjaan,” tegas Girsang.

Sementara Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Reyna Usman yang mewakili pemerintah menilai UU PPTKI pada prinsipnya mengatur penempatan TKI di luar negeri. Pelayanan itu  bisa dilakukan pemerintah dan Pelaksanaan Penempatan TKI Swasta (PPTKIS).

"Walaupun PPTKIS diberikan kesempatan untuk melaksanakan usaha penempatan TKI, dalam pelaksanaannya dilakukan secara ketat. Sehingga bentuk perlindungan negara hadir pada setiap tahap mulai dari pra, masa dan purna penempatan TKI," ujar Reyna pada kesempatan yang sama.

Terkait pasal 26 ayat (2) huruf f yang diajukan pemohon bahwa pasal tersebut dianggap tidak memberikan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum karena membedakan syarat penempatan dan perlindungan TKI dalam ketentuan antara BNP2TKI dan Kementerian Perhubungan pemerintah memiliki sejumlah argumen. Pertama, sesuai pasal tersebut, TKI wajib memiliki KTKLN dalam penempatan di luar negeri termasuk di atas kapal berbendera asing.

PPTKIS hanya diperbolehkan menempatkan calon TKI yang memiliki KTKLN. Sebab untuk memperoleh KTKLN, calon TKI telah diikutsertakan dalam perlindungan program asuransi. Lebih lanjut, KTKLN sebenarnya diterbitkan pemerintah. Hanya saja untuk mempercepat penerbitan KTKLN, kewenangan tersebut dilimpahkan pada BNP2TKI. Atas alasan tersebut, ia menganggap ketidakpastian hukum yang didalilkan pemohon tidak tepat. Sebab masalah perizinan merupakan masalah penerapan dan bukan masalah isu konstitusional undang-undang.

Terkait soal gugatan atas Pasal 28 UU PPTKI, ia menjelaskan pada UU tersebut disebutkan penempatan TKI diatur dalam peraturan menteri. Ia mengakui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai perlindungan dan penempatan TKI pelaut memang belum diterbitkan. Tapi tidak adanya peraturan menteri tersebut tentu tidak akan mengurangi kewenangan menteri terkait pasal tersebut. Sehingga jelas menteri yang bertanggungjawab adalah menteri ketenagakerjaan.

Lalu meski telah menyatakan menteri ketenagakerjaan yang bertanggungjawab terhadap perlindungan TKI, Reyna mengakui jika ada perselisihan yang terkait dengan dengan hak normatif dan jaminan perlindungan antara TKI ABK dengan PPTKIS maka diselesaikan melalui Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan. Sebab kontrak TKI dan PPTKIS diatur oleh Kementerian Perhubungan sebagai satu kesatuan dengan agensi kapal tersebut. Padahal seharusnya yang menyelesaikan perselisihan Kementerian Ketenagakerjaan.

Menanggapi hal ini, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menanyakan pada perwakilan pemerintah soal relasi TKI di luar negeri dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Perhubungan. Sebab menurutnya yang menjadi permasalahan ketika ada perizinan yang berhubungan dengan biaya semua pihak ´welcome´. Tapi saat ada perselisihan malah melepas tanggungjawabnya terhadap TKI. Ia pun meminta pemerintah bisa menjelaskan lebih detail soal norma yang mengatur perselisihan yang terjadi antara TKI dengan PPTKIS.

"Saya merinding apabila betul ribuan orang ada di tengah laut dan tidak bisa mendarat. Saya minta pada pemerintah, ini adalah bagian dari masyarakat kita yang membutuhkan perlindungan agar dicermati. Pemerintah jangan malu-malu tapi langsung action. Ini tidak hanya sekadar judicial review UU," ujar Patrialis dalam persidangan.

Pada kesempatan terpisah, Kuasa Hukum Pemohon Zulkarnain mengatakan TKI yang merupakan Anak Buah Kapal (ABK) ini sebagian memang memiliki KTKLN. Tapi setelah diperiksa ternyata KTKLN mereka banyak yang palsu. Setelah diselidiki ternyata buku pelaut yang didapatkan dari PPTKIS juga palsu.

"Ternyata mereka dipekerjakan di kapal-kapal yang melakukan illegal fishing," ujar Zulkarnain pada Gresnews.com usai sidang.

Menurutnya, para ABK ini tidak digaji selama bekerja menjadi ABK. Apalagi saat bekerja sebagai TKI kondisi mereka sangat mengenaskan lantaran makan seadanya dan minim perlindungan terhadap tingkat keselamatan saat bekerja di laut. Mereka telah meminta perlindungan termasuk gaji pada sejumlah pihak terkait seperti BNP2TKi, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Perhubungan. Tapi mereka malah ´diping-pong´ dan akhirnya nasib gaji mereka tidak juga ada kejelasan.

Sebelumnya, para pemohon yang terdiri dari 29 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di sektor perikanan yang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) diantaranya Imam Safi´i, Bambang Suherman, Ade Irawan, dan Agus Supriyanto mengajukan permohonan pengujian UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (UU PPTKI). Norma yang duji yaitu pasal 26 ayat (2) huruf f dan pasal 28 UU PPTKI.
Pasal 26 ayat (2) huruf f menyebutkan TKI yang ditempatkan wajib memiliki KTKLN. Lalu Pasal 28 berbunyi penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan tertentu diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

Pemohon merasa dirugikan atas pasal tersebut lantaran merasa tidak mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum ketika ada perselisihan yang timbul antara ABK dengan PPTKIS. Menurut pemohon Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan saling melempar tanggungjawab ketika ada masalah.

BACA JUGA: