JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pimpinan Pusat Muhammadiyah menegaskan pernikahan beda agama tidak sah berdasarkan perspektif agama Islam. Bagi wanita muslimah diharamkan menikah dengan selain laki-laki muslim.  Begitu pula sebaliknya, laki-laki muslim diharamkan menikah dengan wanita nonmuslim.

Keterangan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin yang diwakili Kepala Divisi Hukumnya, Saiful Bahri tersebut didasarkan surat Al-Baqarah ayat 221. Meskipun diakui ada perbedaan penafsiran surah tersebut karena dalam ayat lain, surat Al-Maidah ayat 5, memperbolehkan pria muslim untuk menikahi wanita-wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).

Namun Muhammadiyah sendiri, menurutnya telah sepakat dan menetapkan keputusan bahwa pernikahan beda agama tidak diperbolehkan dilakukan umat Islam. Alasannya, ahli kitab yang disebutkan dalam Al-Qur’an dengan yang ada saat ini sudah jauh berbeda. Kemudian, pernikahan beda agama tidak mungkin mencapai keluarga  jadi keluarga sakinah, mawadah, warohmah sebagai alasan utama perkawinan.

Sementara hukum positif Indonesia juga tidak mewadahi dan tak mengakui perkawinan beda agama. "Konsekuensinya, perkawinan tersebut tidak bisa dilakukan dan didaftarkan melalui Kantor Urusan Agama," tutur Saiful saat menyampaikan keterangan Muhammadiyah dalam sidang lanjutan pengujian UU Perkawinan dengan agenda "Mendengarkan Keterangan DPR, Pihak Terkait serta Saksi Pemohon (IV)" di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (22/10).

Saiful menegaskan, Muhammadiyah juga tidak sependapat dengan pemohon yang menganggap Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu", bertentangan dengan UUD 1945.

Karena itu, lanjutnya, sebagai pihak terkait dalam pengujian UU MD3 tersebut, mereka meminta Mahkamah Konstitususi (MK) menolak permohonan legalisasi perkawinan beda agama. "Muhammadiyah juga sepakat agar Pasal 2 ayat (1) Undang Undang MD3 tersebut tidak diubah, dan kami memohon kepada majelis hakim agar menolak permohonan pengujian tersebut," tegasnya.
 
Seperti diketahui, pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Pernikahan ini digugat oleh sejumlah mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, atas nama Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra.

Menurut mereka, aturan itu menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia. Karena itu, para pemohon menginginkan ada pemaknaan baru (kondisional konstitusional)  terhadap klausul tersebut menjadi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanaya dan kepercayaan itu sepanjang penafsiran mengenai hukum agama dan kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-masing mempelai".
 
Damian mengatakan, tujuan uji materi atas Pasal 2 ayat 1 UU Pernikahan itu adalah untuk memposisikan negara sebagai pemberi fasilitas kepada warga negara yang akan melangsungkan perkawinan. Bukan menghakimi. "Kenyataannya penghakiman itu terjadi," jelas Damian seusai sidang di gedung MK, Selasa (14/10).

Untuk menguatkan dalilnya tersebut, para pemohon menghadirkan sejumlah saksi pemohon, diantaranya Renaldi Posito Martin. Dalam kesaksiannya, Renaldi mengaku seorang Islam yang melakukan pernikahan beda agama dengan wanita beragama Katolik. Saat akan mencatatkan pernikahannya, ia mengatakan mendapat kesulitan.

Saat itu, KUA dan Kantor Catatan Sipil sama-sama tidak mau memberikan surat nikah kepada dirinya dan calon istrinya. Mendapat informasi dari seorang teman, Renaldi akhirnya memutuskan melangsungkan pernikahan di Bali. Di Bali, lanjut Renaldi, mereka hanya diminta membuat surat pernyataan saling mencintai yang isinya saling mencintai dan tidak ada paksaan dari siapapun.

Setelah pernikahan yang dilakukan secara Protestan menghadirkan seorang anak, Renaldi mengaku kembali mendapat kesulitan. Kejadian itu terjadi saat dirinya akan mencantumkan anaknya dalam kartu keluarga.  Petugas menyatakan harus mencantumkan agama untuk anaknya. "Saya meminta agar menuliskan ´kepercayaan´, tapi ditolak petugas," ungkapnya. Begitu juga saat dirinya meminta petugas menuliskan Hindu.

"Kata petugas harus agama yang sama dengan salah satu orang anak kami. Akhirnya yang dituliskan dalam kolom agama adalah Katolik sesuai dengan agama istri saya," jelasnya.

BACA JUGA: