JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah mengajukan pasal penghinaan terhadap pemerintah dalam draft Rancangan Undang Undang Kitab Undang-undang (KUHP) yang tengah dibahas DPR. Pasal itu dimaksudkan agar segala bentuk penghinaan terhadap pemerintah dapat dikenakan sanksi tindak pidana. Namun pasal ini justru dinilai sebagai bentuk pembungkaman terhadap demokrasi. Pasal tersebut juga dituding akan menciptakan rezim otoriter baru di Indonesia.

Anggota Komisi III Taufiqurrahman menyebutkan, dimasukannya pasal penghinaan kepada pemerintahan ini sebagai upaya melindungi kedaulatan rakyat. Sebab pemerintah adalah hasil pilihan rakyat yang dipilih secara demokratis. Sehingga tidak bisa dihina secara sembarangan oleh pihak pihak yang tidak bertanggung jawab. Maksud kata penghinaan di sini ialah bentuk penyerangan atau agresi terhadap pemerintah yang dilakukan tidak pada tempatnya, sehingga berakibat menjatuhkan martabat.

"Harus dibedakan antara menghina dan mengkritik," ujar Taufiqulhadi kepada gresnews.com, Sabtu, (19/11).

Oleh karena itu, menurutnya penting dijabarkan secara detail maksud dari menghina di dalam pasal tersebut. Perlu ada batasan-batasan yang jelas terkait penghinaan yang dimaksud. Untuk itu  pihaknya meminta pemerintah merumuskan kembali batasan penghinaan dalam pasal ini.

Ia mengkhawatirkan apabila batasan pasal penghinaan terhadap pemerintah tidak jelas, maka pasal tersebut bisa disalahgunakan pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang tidak semestinya terhadap para pengkritiknya. Ia mencontohkan, ada pengkritik menyebutkan bahwa pemerintah daerah melakukan banyak penggusuran sehingga menyusahkan rakyat kecil dan tidak becus dalam mengelola keuangan adalah bentuk kritik. Akan tetapi jika yang diucapkan hanyalah hinaan yang tidak jelas maksudnya dan hanya ingin menjatuhkan pemerintah maka hal tersebut adalah bentuk dari penghinaan terhadap pemerintah.

"Kita minta tim sinkronisasi pemerintah untuk merumuskan kembali batasan-batasan penghinaan yang belum jelas itu," ungkapnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah justru berpendapat dimasukannya  pasal penghinaan pemerintah ke revisi UU KUHP bertentangan dengan demokrasi. Pasal penghinaan pemerintah malah akan mensakralkan negara. Dalam era Demokrasi, perlindungan kepada rakyat harus menjadi poin penting, sebab kekuasaan negara sebagiannya diberikan kepada rakyat.

Fahri berpendapat, jika pasal ini diberlakukan, akan membuat keadaan negara ini tidak jauh berbeda dengan rezim otoriter. Rakyat akan dibuat tidak dapat mengkritik pemerintahan. Pemerintah sendiri mengklaim bahwa diusulkannya pasal penghinaan terhadap pemerintah adalah bentuk perlindungan terhadap pemerintah yang sah, sebab saat ini pemerintah yang dibentuk secara sah dan dijamin oleh undang-undang dalam melaksanakan tugasnya belum dilindungi undang-undang.

DEMOKRASI KEBABLASAN - Sementara itu, Pengamat Politik Arbi Sanit menilai demokrasi yang terjadi di Indonesia sudah kebablasan dan disalahgunakan. Contohnya saat Fahri Hamzah berpidato pada demo 4 November yang lalu. Ia menyatakan sah-sah saja jika berpidato untuk menunjukkan kelemahan - kelemahan pemerintah. Akan tetapi menurut Arbi yang terjadi malah muatan pidatonya bertujuan untuk menjatuhkan presiden, hal itulah  yang dimaksudnya penyalahgunaan demokrasi.

"Pasal tersebut saya pikir dibutuhkan," ujar Arbi Sanit kepada gresnews.com, Sabtu,(19/11).

Menurutnya, walaupun negara demokrasi masih diperlukan batas-batas dalam mengakomodir kebebasan individu, sehingga tidak menjadikan negara seperti rimba yang tidak memiliki batas. Ia juga menyatakan tidak sepakat dengan pernyataan Fahri bahwa pembatasan ini akan membawa ke rezim otoriter. Menurutnya, pemberian batas ini sangat berbeda dengan pelarangan kebebasan.

"Di zaman Orba melarang kebebasan, sedangkan pasal ini hanya memberikan pagar terhadap kebebasan agar tidak melewati batas," ujarnya.

Ia menyesalkan keadaan sekarang dimana setiap orang bisa menghina pemerintah dan menganggapnya sebagai sebuah kritik. Padahal, jika kritik yang dimaksudkan, harus disertai solusi sehingga dapat membangun serta memperbaiki kesalahan yang dilakukan pemerintah.

"Mengkritik itu harus disertai tanggung jawab, pernyataan Fahri adalah kesimpulan yang dipaksakan," ujar Arbi.

Arbi pun menceritakan pengalamannya saat jaman Orde Baru dimana kebebasan tidak diperbolehkan. Pada waktu Soeharto sebagai penguasa Orde Baru, dirinya mengaku adalah tukang kritik pemerintah. Akan tetapi tidak pernah satu kali pun dirinya mendapatkan tindakan kekerasan dari pemerintah. Sebab kritik yang diberikannya disertai pula dengan solusi perbaikan.

"Para diktaktor pun tidak marah kepada saya karena saya mengkritik dengan cara yang benar," ujarnya

BACA JUGA: