Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang terakhir atas pengujian Undang-undang (UU) Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi atau ahli dari pemohon. Ahli membenarkan UU yang diujikan pemohon tidak harmonis dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).

"Dari sudut pandang hukum HAM sangat layak untuk dinyatakan bahwa cukup banyak ketentuan dalam UU No 20 tahun 2009 ini yang tidak harmonis dengan nilai-nilai HAM," kata komisioner Komnas HAM, Kabul Supriyadhie, saat memberikan keterangan di MK, Selasa (19/7).

Menurut Kabul,  bila dicermati syarat umum untuk memperoleh gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan yang terdapat dalam pasal 25 UU No 20 tahun 2009, khususnya ketentuan yang terdapat dalam huruf d, yakni syarat ´berkelakuan baik´ sebagaimana yang dimohonkan pemohon. "Maka ketentuan ini sangat kabur. Sehingga masih dimungkinkan orang yang terpilih itu adalah orang yang pernah melanggar ketentuan normatif yang mengatur relasi yang dimaksud," paparnya.

Kabul menilai, seluruh ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut sejak semula tidak sepenuhnya dapat digolongkan berlandaskan pada nilai-nilai HAM. Demikian pula halnya dengan syarat khusus yang diatur pada pasal 26 UU No 20 tahun 2009 yang terdapat dalam huruf d, yaitu ´pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara´.

"Ketentuan ini pun sangat kabur. Karena ada warga negara dewasa ini yang melahirkan pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara, tetapi pemikiran besar itu bukannya yang menunjang pembangunan sesuai dengan Pancasila," ungkapnya. Melainkan menjunjung ke arah neo-liberalisme yang bertentangan dengan dasar negara.

Perlu diketahui, pemohon uji materi ini adalah sebelas aktivis ’98, yakni M Chozin Amirulla (PB HMI), Asep Wahyu Wijaya (mantan Ketua Senat Mahasiswa Hukum se-Indonesia), Edwin Partogi (Kontras), Ahmad Wakil Kamal (advokat), Abdullah (ICW), Arif Susanto (Dosen Universitas Paramadina), Dani Setiawan (Koordinator Koalisi Anti Hutang), Embay Supriyantoro (pengusaha), Abdul Rohman (pengusaha), Herman Saputra, dan Ahmad Fauzi.
 
Mereka menguji Pasal 1 angka 4, Pasal 25 dan Pasal 26 UU No 20 Tahun 2009 terkait definisi, syarat umum dan syarat khusus seseorang untuk diangkat sebagai pahlawan nasional. Pemberlakuan pasal-pasal itu dinilai merugikan hak pemohon sebagaimana diatur Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 berupa jaminan untuk memajukan diri dalam memperjuangkan kepentingan kolektif.
 
Para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 4, Pasal 25, dan Pasal 26 tidak bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional). Hal ini berarti pasal yang diuji dianggap konstitusional dengan syarat pemberian gelar kepahlawanan itu tidak diberikan kepada warga negara yang semasa hidupnya menjadi pemimpin diktator, pelanggar HAM berat, dan koruptor yang menyengsarakan rakyat.

(rif)

BACA JUGA: