JAKARTA, GRESNEWS.COM - Berbekal uang patungan dari warga Paguyuban Petani Gondang Tapen Wates, Blitar,  Jawa Timur, Wahyu Kurniawan berangkat ke Jakarta. Ia menumpang kereta ekonomi untuk bisa tiba tepat waktu di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pulagebang, Jakarta Timur.

Lelaki  65 tahun itu mewakili teman sesama petani penggarap di lahan bekas perkebunan PT Gondang Tapen Baru Mas, di Desa Ringinrejo Kecamatan Wates Kabupaten Blitar, Jawa Timur. untuk hadir di PTUN. Ia bersama tim advokasi dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) akan mengajukan gugatan terhadap Kementerian Kehutanan.

Pasalnya instansi pemerintah itu telah mengeluarkan Keputusan yang menetapkan  kawasan eks perkebunan PT Gondang Tapen itu sebagai kawasan Hutan Produksi. Padahal sudah 17 tahun lahan tersebut  telah menjadi gantungan hidup ratusan warga disana. "Kami menanam  jagung, ketela dan semangka di lahan itu," ujar Wahyu Kurniawan, kepada Gresnews.com, Rabu (9/10).

Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No:SK 367/Menhut-II/2013 tentang penunjukkan kawasan hutan produksi itu sekitar 826 kepala keluarga yang juga telah mendirikan dusun di lokasi itu terancam digusur.

Talminto, salah seorang petani, di lokasi mengaku saat ini terjadi keresahan di kalangan para petani penggarap. Sebab mereka telah mendengar pihak Perhutani dan PT Semen Dwima sudah mulai melakukan pengukuran di lokasi. "Warga siap menghadang kalau benar-benar akan ada pengukuran," ujar Talminto yang mengaku sedang panen ketela itu.

Untuk mendapatkan keadilan kembali warga bertekad melakukan gugatan ke PTUN. Mereka menuntut Menteri Kehutanan membatalkan keputusan tersebut. Menurut Penasehat Paguyupan Petani Aryo Blitar, Farhan Mahfudzi  yang juga mengadvokasi petani di lokasi ada kejanggalan dalam proses jual beli lahan HGU tersebut.  

Dijelaskan Farhan,  Kementerian Kehutanan mengubah lahan eks perkebunan menjadi lahan hutan produksi atas dasar perjanjian antara Perhutani dengan PT Semen Dwima Agung. Perhutani memperoleh lahan bekas perkebunan PT Gondang Tapen  seluas 724 hektar itu sebagai kompensasi atau pengganti lahan hutan Perhutani di wilayah Tuban, Jawa Timur yang dipinjam pakai PT Semen Dwima Agung. "Padahal lahan yang masa HGUnya habis pada 2001 dan 2009 itu seharusnya  dikembalikan ke negara, bukan diperjual belikan,"  katanya.

Diduga PT Gondang Tapen menjual lahan perkebunan yang terlantar sejak krisis ekonomi 1996 kepada PT Semen Dwima yang merupakan anak perusahaan PT Holcim. Lahan itu belakangan digunakan untuk mengganti penggunaan lahan Perhutani di wilayah Tuban.  Padahal   sejak lahan itu telantar warga yang sebagian besar adalah mantan buruh Perkebunan PT Gondang Tapen  yang menggarap lahan tersebut untuk bercocok tanam.
Wahyu Wagiman, Deputi Pembelaan Hak Asasi Manusia untuk Keadilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), yang mendampingi warga mengatakan penunjukkan kawasan tersebut menurutnya telah melanggar UU Pokok Agraria yang menyatakan bahwa sejak berakhirnya HGU maka hapuslah hak atas tanah tersebut dan dengan sendirinya kembali kepada negara. “Keputusan Menhut tersebut jelas menyalahi aturan,” katanya.

Namun SK tersebut tetap dikirimkan kepada warga. Warga menerima SK tersebut pada tanggal 21 Mei lalu. Tanpa berpikir panjang, Wahyudi langsung mengadakan pertemuan  yang hasilnya memutuskan untuk mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta atas keputusan menteri tersebut. "Saya berharap pengadilan dapat membatalkan SK tersebut sehingga warga dapat tetap mengolah tanah," katanya.

Sementara itu Corporate Communication PT Holcim Tbk Deni Nuryandain mengatakan soal proses tukar guling  tanah di Gondang Tapen, telah sesuai prosedur dan mekanisme yang ada. Pihaknya mengaku sudah mengikuti aturan dan undang-undang yang ada. "Buktinya Kementerian sudah akan memanfaatkan lahan tersebut, " katanya.

Ia menduga gejolak itu hanya persoalan persepsi yang berbeda dan sosialisasi ke bawah, yang harus lebih ditingkatkan. Soal kemungkianan relokasi dan penggantian rugi terhadap warga yang telah menggarap lahan itu. Ia mengaku akan melihat kemungkinannya terlebih dulu. "Pokoknya kita akan kedepankan dialog," ujarnya kepada Gresnews.com.   

Gugatan telah didaftarkan, Rabu (9/10), sengketa akan bergulir di pengadilan. Wahyudi hari itu pula langsung pulang agar bisa kembali menanam melon di lahan itu dan mengkonsolidasikan warga untuk menghadapi persidangan. (Yudho Raharjo/GN-02)

BACA JUGA: