JAKARTA, GRESNEWS.COM - Direktur Utama PT Agra Citra Kharisma (ACK) Handoko Lie akhirnya dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) oleh Kejaksaan Agung, setelah tim eksekutor Kejaksaan Agung gagal mengeksekusi dirinya. Sebelumnya Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan menyatakan Handoko terbukti bersalah dalam kasus penjualan lahan PT Kereta Api Indonesia (KAI) ia divonis 10 tahun penjara. Putusan tersebut sekaligus membatalkan  vonis bebas Handoko Lie di Pengadilan tingkat pertama.

"Sudah DPO, kita masih buru agar eksekusi terpidana dapat dilakukan," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah dikonfirmasi soal nasib Handoko Lie di Kejaksaan Agung, Rabu (18/1)

Kejaksaan Agung telah mengerahkan tim dari Adyaksa Monitoring Center (AMC) untuk melacak keberadaan pengelola Center Point Medan. Kejaksaan juga telah meminta bantuan interpol untuk melacak keberadaan Handoko Lie di luar negeri.

"Kita upayakan bisa dapatkan (Handoko Lie)," ujar Armin.

Handoko Lie adalah terdakwa kasus pencaplokan lahan milik PT KAI di Medan untuk dibangun kawasan Center Point, Medan. Kasus pencaplokan lahan PT KAI di pusat Kota Medan ini telah merugikan negara sebesar Rp1,3 triliun.

Dalam dakwaan Handoko didakwa berlapis. Dakwaan primair melanggar Pasal 2 ayat 1 junto Pasal UU Pemberantasan Korupsi junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dakwaan subsidair melanggar Pasal 3 junto Pasal 18 UU Pemberantasan Korupsi junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Namun di Pengadilan Negeri Handoko Lie sempat dinyatakan tidak bersalah. Handoko Lie pun bebas melenggang.

Mendapat putusan ini JPU langsung mengajukan kasasi. Belakangan putusan kasasi JPU dikabulkan MA. Handoko Lie dinilai terbukti bersalah dengan vonis 10 tahun penjara. Selain Handoko Lie, Kejaksaan Agung juga menetapkan bekas Walikota Medan, Rahudman Harahap dan Abdillah yang terlibat dalam penjualan lahan tersebut sebagai tersangka. Proses hukumnya masih berjalan.

Kasus penyerobotan lahan ini bermula tiga dekade silam. Awalnya PT KAI memiliki lahan 7 hektar di Jalan Jawa Medan, peninggalan Deli Spoorweg Maatschappij. Lahan dibagi menjadi blok A, B, C dan D.

Di atas area A, C, dan D, sudah dibangun perumahan bagi karyawan PT KAI dan berbagai fasilitas umum. Lahan B yang berada  di Jalan Jawa, Jalan Madura, Jalan Timor seluas 34.776 meter persegi atau (3,4 hektar) mulanya dihuni gubuk-gubuk liar.

Pada 1981, PT KAI ingin membangun perumahan karyawan di lahan Kelurahan Gang Buntu, Kecamatan Medan Timur (Blok B). Namun karena kekurangan dana, PT KAI kerja sama dengan menggandeng swasta. Pihak swasta membangun seluruh fasilitas perumahan dengan imbalan tanah.

PT KAI pun menggandeng PT Inanta, pihak swasta dengan rekanan. Kerja sama itu mengharuskan PT KAI untuk melepaskan hak atas tanah terlebih dulu. Pemerintah saat itu hanya menyetujui jika pelepasan tanah kepada pemerintah juga. PT KAI lalu melepas hak atas tanah kepada Pemerintah Kota Medan.

Pada 1982, Pemko Medan mengajukan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas tanah PT KAI tersebut. Tahun yang sama keluar izin dari Menteri Dalam Negeri. Kurun 1982 hingga 1984 terjadi perubahan-perubahan perjanjian kerja sama. Pada 1989, hak dan kewajiban PT Inanta membangun kawasan itu dialihkan ke PT Bonauli. Pada 1990 terjadi perubahan lokasi pembangunan perumahan karyawan.

Hingga 1994, PT Bonauli tidak kunjung melaksanakan kewajiban membangun perumahan karyawan. Anehnya, PT Bonauli bisa memperoleh HGB (Hak Guna Bangunan) di atas HPL Pemkot Medan. Padahal, di perjanjian, rekanan tidak dapat memperoleh HGB sebelum memenuhi kewajiban membangun rumah.

Tanpa persetujuan PT KAI selaku pemilik lahan, PT Bonauli mengalihkan hak dan kewajibannya kepada PT ACK pada 2002. PT ACK sempat menawarkan ganti rugi Rp13 miliar kepada PT KAI. Uang dititipkan di Pengadilan Negeri Medan. Tentu saja tawaran itu ditolak PT KAI.

Perumahan karyawan yang dijanjikan tak kunjung dibangun. Belakangan PT ACK membangun kompleks bisnis Center Point di lahan itu.

MENGECEWAKAN - Kejaksaan Agung memiliki lembaga bernama Adhyaksa Monitoring Center yang dilengkapi alat canggih berasal dari Jerman untuk melacak keberadaan buronan. Namun pengejaran buronan di bawah bidang Intelijen ini jauh dari harapan.

Prestasi tim ini, jika dibanding kerja Kejaksaan tahun 2015, penangkapan buronan angkanya menurun. Pada 2016 Buronan yang ditangkap hanya 61 orang. Sedangkan pada 2015 sebanyak 86 orang.

Kapuspenkum Kejaksaan Agung Mohammad Rum menyebut  Bidang Intelijen yang menggunakan sarana Adhyaksa Monitoring Center (AMC), hanya berhasil memburu 61 orang buron pada tahun 2016.

Rum menyatakan pada 2017, bidang intelijen akan bekerja lebih keras untuk mengejar sejumlah buronan. Saat ini cukup banyak buronan yang belum ditangkap. Pada 2016, Kejagung juga telah memasukkan nama Amir Pangaribuan Mantan Kasie PU Tata Air Jakarta Pusat dalam kasus penyalahgunaan dana swakelola banjir DKI Jakarta.

Lalu ada tiga tersangka dalam kasus Cessie Victoria yakni yakni Suzanna Tanojo yang menjabat Komisaris PT Victoria Sekuritas Indonesia (VSI) dan Rita Rosela (Direktur PT VSI). Dan Hayanto Tanudjaja (Analis Kredit di BPPN-Badan Penyehatan Perbankan Nasional).

Lebih lama lagi, ada buronan kasus korupsi pengadaan flame turbine pada pengerjaan Life Time Extention (LTE) Major Overhouls Gas Turbine (GT) 1.2 Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) di PLN sektor Pembangkit Belawan, Sumatera Utara 2007-2009 bernama Yuni. Kemudian Ada Alexia Tirtawidjaja, mantan General Manager South Light North Operation PT Chevron Pasific Indonesia (CPI). Alexia jadi buron dalam kasus Bioremeiasi Chevron.

Di laman kejaksaan.go.id juga tertera sejumlah nama buronan yang bertahun-tahun tak kunjung tersentuh, antara lain , Hesham Al-Warraq, Ravat Ali Rizvi yang terlibat kasus bank Century. Serta nama -nama buronan kawakan Eko Edi Putranto, Lesmana Basuki, Hendra Bambang Sumantri, dan Hary Matalata.

BACA JUGA: