JAKARTA, GRESNEWS.COM – Ingat lagu anak-anak Joshua, diobok-obok mungkin pantas untuk menggambarkan kondisi lembaga pengawas hakim Komisi Yudisial (KY) saat ini. Kuat dugaan ada skenario tertentu menggoyang KY lantaran satu persatu masalah menghampiri.

Berawal dari gugatan uji materi Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ikahi mempermasalahkan kewenangan KY dalam tiga undang-undang di lingkungan peradilan soal adanya kewenangan KY dalam merekrut hakim pengadilan tingkat pertama bersama Mahkamah Agung (MA).

Gugatan ini menjadi kerikil pertama yang menjadi tantangan KY. Selanjutnya, Wakil Ketua Mahkamah Agung Suwardi tengah curhat dengan Ketua Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan saat pimpinan MPR itu berkunjung ke MA. Suwardi menyebut eksistensi KY sebagai kecelakaan konstitusi. Sehingga seharusnya KY yang hanya berupa komisi tidak dimasukkan ke dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman UUD 1945.

Lalu seperti tak ada habisnya persoalan kewenangan KY diotak-atik, belakangan hakim praperadilan yang menangani perkara Budi Gunawan, Sarpin Rizaldi melaporkan dua komisioner KY Suparman Marzuki dan Taufiqurrohman Syahuri ke kepolisian atas dasar pencemaran nama baik. Dua komisioner KY tersebut dituding berkomentar negatif atas personal dirinya saat menyidangkan praperadilan Budi Gunawan. Akhirnya, kepolisian pun menetapkan status tersangka pada dua komisioner KY sebagai bentuk tindak lanjut laporan Sarpin.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan peristiwa yang terjadi belakangan ini tidak akan memberangus KY. Tapi ia tidak menafikkan sejumlah rangkaian peristiwa tersebut memang untuk  melemahkan KY. Sebab pihak yang diawasi KY yakni para hakim selalu merasa tidak nyaman.

"Pada saat bersamaan yang diawasi juga tidak mau melakukan perubahan-perubahan dari dalam dirinya. Maka yang paling mungkin dilakukan adalah memperlemah posisi KY," ujar Ray saat dihubungi gresnews.com, Jumat (24/7).

Ia menambahkan namun upaya untuk membubarkan KY tidak mungkin dilakukan karena lembaga tersebut merupakan amanah konstitusi. Sehingga harus melakukan amandemen dan revisi UU. Hal tersebut tentu beratuntuk dilakukan. Karena itu, upaya yang paling memungkinkan dilemahkan peranannya.

Ray menjelaskan memperlemah kewenangan KY misalnya dengan mempersempit kewenangan KY yang besar. Lalu orang-orang di dalam KY ditersangkakan. Selanjutnya, rekomendasi-rekomendasi KY juga cenderung diabaikan oleh Mahkamah Agung (MA) dan tidak dilaksanakan.

"Sehingga hakim-hakim itu juga merasa biarkan KY mau bekerja, tapi toh MA tak laksanakan rekomendasinya. Kan kira-kira begitu. Jadi efek rasa takut hakim makin sedikit pada KY," lanjut Ray.

Menurutnya, modus-modus seperti yang digambarkan sudah biasa dilihat untuk memperlemah lembaga pengawasan seperti KY. Ia menilai memang sudah menjadi tren ketika ada komisi-komisi yang berperan secara efektif maka akan sangat mudah ‘diperlemah’.

Sebaliknya kalau komisi diam-diam saja maka tidak akan diusik seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang tak bertaji. Ray menilai kompolnas tidak efektif untuk mengubah perilaku polisi. Lalu Komisi Kejaksaan juga sama seperti Kompolnas.

Ia melanjutkan peran KY tidak hanya masih diperlukan, tapi justru harus diperkuat. Tapi hal tersebut yang ditolak para hakim lantaran merasa tidak perlu ada pengawasan eksternal dan cukup internal.

"Tapi pertanyaannya jadi klasik, pengawasan internal sudah berapa lama? Sudah puluhan tahun. Masalahnya kenapa hakim-hakim kita masih begini kan masalahnya gitu. Artinya kalau pengawasan internal tidak efektif. Maka lakukan pengawasan eksternal. Pengawasan eksternal kalau dilihat dari institusi MA dan institusi kehakiman menunjukkan kerja KY efektif. Sama seperti Komisi Pemberantasana Korupsi. Orang malah ingin menghantamnya. Itu artinya cara kerja KPK efektif sehingga membuat orang lain merasa gerah dan ujung-ujungnya melakukan perlawanan," tutur Ray.

KAITAN PERISTIWA MEMBERANGUS KY - Senada dengan Ray, Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Victor Santoso Tandiasa menuturkan paska persoalan Polri-KPK memberikan efek negatif pada hakim-hakim yang merasa dirugikan dengan kehadiran KY. Misalnya wakil ketua MA sendiri menginginkan KY dihapus dari konstitusi.

Lalu paska Sarpin diberikan rekomendasi sanksi oleh KY, Sarpin malah memberikan perlawanan terhadap KY dengan tegas menyatakan tidak akan datang atau bersedia diajak berantem. "Itu kan merupakan satu preseden buruk. Karena artinya mereka tidak melihat KY sebagai perangkat negara. Ini yang menjadi persoalan," ujar Victor pada gresnews.com, Jumat (24/7).

Ia menilai momen terpenting pada saat Sarpin melaporkan dua komisioner KY. Menurut Victor dua komisioner KY yang menjadi tersangka ini sebenarnya hanya sedang menjalankan tugas. Saat menjalankan tugas tersebut, komisioner harus memberikan komentar apalagi untuk kasus yang sifatnya fenomenal terkait praperadilan oleh hakim Sarpin.

Saat itu menurutnya belum ada putusan MK soal penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Sehingga banyak pihak menilai putusan Sarpin yang memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan sebagai pelanggaran norma. Menurutnya, wajar ketika masyarakat memberikan stigma yang buruk pada Sarpin.

"Ketika banyak masyarakat dan akademisi bahkan MA sendiri katakan Sarpin tersesat. Persoalannya kenapa komisioner KY yang memberikan informasi pada masyarakat terkait perkembangan hakim Sarpin kok dilaporkan. Kemudian diterima aduan itu oleh Mabes. Yang kita lihat, Sarpin kan Ikahi. Jangan-jangan ada dugaan, jangan sampai Sarpin digunakan Ikahi untuk melemahkan KY," lanjut Victor.

Ia menyatakan dukungannya pada KY agar jangan sampai kalah terhadap persoalan ini. Sebab ketika KY kalah maka ke depannya akan berbahaya. Sebab hakim-hakim akan berani melawan semua nantinya dan tidak tunduk terhadap hukum.

Victor menambahkan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain yang menimpa KY memiliki keterkaitan. Ia menjelaskan persoalan ini bermula dari praperadilan salah satu pejabat Polri Budi Gunawan yang perkaranya ditangani Sarpin. Kemudian Sarpin mengeluarkan putusan kontroversial dan secara akademik melanggar norma-norma yang ada.

Setelah putusan Sarpin, MK memang mengeluarkan putusan yang menguatkan putusan Sarpin. Tapi menurutnya proses terbalik. Seharusnya ada putusan MK, lalu Sarpin baru bisa memutuskan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Karena persoalan putusan Sarpin ini, koalisi masyarakat sipil melaporkannya ke KY.

Pelaporan Sarpin ke KY menurut Victor bukan karena KY yang ‘menjemput bola’ untuk memeriksa Sarpin. Tapi KY hanya menindaklanjuti laporan masyarakat. KY memproses dan wartawan hanya menanyakan perkembangannya. Komisioner KY pun hanya memberikan informasi terkait putusan dan bukan individu hakim Sarpin.

"Yang saya tahu komisioner KY hanya menyampaikan bahwa putusan Sarpin melanggar norma dan kaidah. Tidak ada kata-kata yang mengatakan hakim Sarpin bodoh atau lainnya. Bahkan akademisi dari almamaternya sendiri mengatakan Sarpin memalukan almamaternya. Itu dicabut aduannya. Tapi kenapa untuk komisioner KY, Sarpin tidak mau mencabut aduan itu. Ini semua kan terkait. Situasi ini dimanfaatkan juga oleh kelompok Ikahi untuk melemahkan KY. Karena pada dasarnya Ikahi tidak menginginkan adanya KY," katanya.

Ia pun menyimpulkan peristiwa yang sambung menyambung ini menjadi suatu rangkaian yang dimanfaatkan oknum Ikahi untuk ikut menyerang KY.

ADA UPAYA PEMBERANGUSAN - Menanggapi hal ini, Komisioner KY Imam Anshori Saleh mengatakan tidak mengetahui persis soal tudingan ada upaya untuk memberangus atau melemahkan KY. "Tapi kayaknya semangatnya kok sama. Apakah kebetulan tapi kok bareng-bareng terus beruntun. Jadi yang pertama pengajuan judicial review ke MK. Kemudian pernyataan wakil ketua MA yang minta KY dikeluarkan dari konstitusi. Ketiga yang penersangkaan komisioner KY. Jadi kesannya begitu. Tapi tidak tahulah. Kami dari KY prihatin sekali kalau itu betul-betul suatu skenario besar," ujar Imam saat dihubungi gresnews.com, Jumat (24/7).

Ia menjelaskan KY sudah berjalan selama hampir 10 tahun. Waktu KY dilahirkan, MA memiliki andil ikut membuat naskah akademik yang disampaikan ke MPR soal apa yang mereka kehendaki. Sehingga kalau ada semangat untuk menghapus KY maka artinya tidak membaca sejarah dan tidak mengikuti sejak awal kenapa KY dilahirkan dengan banyak sebabnya.

Imam pun berharap tidak ada skenario besar untuk menjatuhkan KY dan yang terjadi belakangan ini hanya dianggap sebuah kebetulan saja. Ia pun menghimbau pemerintah agar asset berupa KY dijaga dan jangan sampai membiarkan ada perongrongan dan upaya menghapuskan atau mengkerdilkan kewenangan KY. Saat ditanya soal tudingan para hakim akan lebih berani ketika KY dilemahkan, Imam mengatakan secara psikologis memang akan berpengaruh.  

"Saya setuju akan membuat hakim menyepelekan KY. Itu yang kami khawatirkan. Siapapun yang menjadi komisioner KY. Jangan sampai KY yang sudah seperti ini dikerdilkan lagi. Justru KY diperkuat kewenangannya agar pengawasan lebih efektif bukan sebaliknya,” kata Imam.

Terkait gugatan Ikahi ke MK, ia pun meminta MK untuk berpikir jangka panjang terkait uji materi yang terkait kewenangan KY. Tiga UU yang diuji di MK menurutnya sama sekali tidak bertentangan dengan konstitusi. Ia menilai hal yang tidak diatur UUD 1945 lalu bukan berarti tidak bisa diatur dalam UU.

SEKADAR AKSI REAKSI - Berbeda dengan kedua pihak di atas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (Leip) Arsil mengatakan masing-masing masalah yang menimpa KY memiliki penyebabnya sendiri. Sebagian masalah tersebut menurutnya malah merupakan reaksi dari apa yang terjadi di KY.

"Misalnya soal Sarpin. Soal Sarpin itu tidak ada hubungannya dengan problem yang lain. Ada kesalahan dari komisioner juga yang terlalu banyak omong. Intinya nama Sarpin sudah jadi nama buruk dan ada juga peran KY di situ. Wajar ketika orang itu marah," ujar Arsil pada gresnews.com, Jumat (24/7).

Lalu soal uji materi dari Ikahi juga merupakan masalah tersendiri. Uji materi tersebut berkaitan erat dengan rekrutmen hakim yang tidak berjalan selama 5 tahun. Problemnya menurutnya ada di undang-undang yang membagi kewenangan antara MA dan KY dalam rekrutmen tanpa ada pembagian kewenangan yang jelas. Akhirnya mereka harus selesaikan sendiri dan kedua lembaga tersebut dinilai tak bisa menyelesaikan pembagian kewenangan rekrutmen hakim tersebut.

Akibat adanya saling tarik menarik kewenangan rekrutmen hakim antara MA dan KY, rekrutmen hakim malah tidak berjalan. Ketika rekrutmen tidak berjalan, MA dihadapi pada kenyataan mereka membutuhkan hakim-hakim baru. Sehingga upaya yang dilakukan MA lebih pada bagaimana menjalankan rekrutmen hakim karena terdesak kebutuhan kekurangan hakim.

Sebab kebutuhan hakim tersebut, Ikahi mengajukan uji materi. Menurutnya uji materi tersebut bukan semata-mata untuk mengeliminasi kewenangan KY, tapi terdesak kebutuhan hakim. Karena dalam perspektif MA dan Ikahi, keberadaan KY membuat rekrutmen hakim tidak berjalan. Selanjutnya, pernyataan wakil Ketua MA Suwardi yang menyebut keberadaan KY sebagai kecelakaan konstitusi, menurutnya hanya sebagai sebuah akumulasi dari konflik antara MA dan KY.

"Jadi ini aksi reaksi saja. Saya tidak mau berpihak pada salah satu terus dianggap ini melemahkan KY atau apa. Jadi masing-masing punya akar masalah masing-masing," ujar Arsil.

BANTAHAN IKAHI - Juru bicara MA Suhadi mengatakan tidak ada hubungan antara laporan Sarpin, uji materi Ikahi ke MK, dan upaya pemberangusan KY. Terkait masalah Sarpin menurutnya hal itu merupakan masalah pribadi Sarpin dan bukan laporan Ikahi pada penyidik. Sehingga laporannya mau dicabut atau tidak, dianggap tidak ada hubungannya dengan Ikahi ataupun MA.

Kalau uji materi ke MK sudah lebih dulu dibandingkan penetapan tersangka dua komisioner KY. Adapun yang dipermasalahkan Ikahi lebih ke persoalan kewenangan MA dalam hal melaksanakan tugas tidak boleh dicampuri pihak lain termasuk KY.

"Karena KY ikut campur masalah rekrutmen hakim, kita judicial review. Itu saja. Yang kita gugat bukan KY tapi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan pemerintah," ujar Suhadi saat dihubungi gresnews.com, Jumat (24/7).

BACA JUGA: