JAKARTA, GRESNEWS.COM - Peran Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Arie Sudewo dalam perkara dugaan korupsi pengadaan Satelit Monitoring di Bakamla diungkap bawahannya dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta,Jumat (24/3). Saksi menyebut Arie-lah yang menentukan pemenang lelang dari proyek senilai Rp200 miliar tersebut.

Kesaksian itu diungkap Laksamana Pertama TNI AL Bambang Udoyo saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan Satelit Monitoring di Bakamla. Dalam kasus ini, Bambang merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek tersebut.

Dalam keterangannya, Bambang membeberkan peran Kepala Bakamla Arie Sudewo. Bambang menyebut jika jenderal bintang tiga aktif TNI AL tersebut yang menentukan pemenang lelang  proyek senilai Rp200 miliar ini.

Bambang menjelaskan, sebagai PPK ia menandatangani kontrak perusahaan pemenang lelang pada 18 Oktober 2016. Tetapi pada saat itu ia dipanggil Arie Sudewo untuk mendapat arahan terkait proses pengadaan.

Bambang sendiri mengaku memang tidak mempunyai pengalaman di bidang pengadaan barang dan jasa. "Saya tidak punya pengalaman atau sertifikat atau sekolah sebagai PPK. Saya tidak tahu yang benar bagaimana, karena basic saya militer," kata Bambang, Jumat (24/3).

Kesaksian Bambang disambut komentar anggota majelis hakim Jhon Halasam Butarbutar. Hakim Jhon menanyakan mengapa hal itu bisa terjadi karena pada dasarnya PPK tidak boleh diintervensi dalam membuat kesepakatan kontrak.

"Di militer harus melaksanakan perintah, tidak boleh menolak perintah," tutur Bambang Udoyo.

TERIMA 1 MILIAR - Arahan yang diberikan Arie Sudewo selaku Kepala Bakamla ternyata tidak hanya terkait dengan pengadaan. Tetapi Bambang juga mengaku diarahkan untuk menerima uang Rp1 miliar berkaitan dengan pengadaan proyek di institusinya itu.

"Hanya disampaikan, ini amanah dari Kabak (Kepala Bakamla), karena Kabakamla pernah katakan supaya saya semangat, tidak minta-minta fee dan fokus," ujarnya.

Uang tersebut diberikan oleh Adami Okta dan Hardy Stefanus yang dalam persidangan ini telah duduk sebagai terdakwa. Adami memberikan Sin$100 ribu sedangkan Hardy Stefanus sebesar Sin$5 ribu.

Bambang juga mengungkapkan, sebelum adanya pemberian uang, Eko Susilo Hadi yang ketika itu menjabat sebagai Sekretaris Utama Bakamla RI memang pernah memberi tahu hal tersebut. Menurut Eko, uang itu berasal dari Kepala Bakamla Arie Sudewo.

Bahkan, Arie Sudewo juga pernah mengatakan tentang adanya pemberian uang tersebut. Pasca terbongkarnya kasus ini, uang Rp1 miliar yang diterimanya sudah diserahkan kepada Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.

Bambang sendiri mengaku tidak bisa menolak pemberian itu karena merupakan perintah dari atasannya. "Pemahaman saya Kabakamla memberikan perintah pemberian ke saya. Kalau tidak ada perintah, saya tidak pernah terima," ujar Bambang.

Dalam surat dakwaan Jaksa KPK, pemberian uang kepada Bambang dilakukan pada 6 Desember 2016. Adami dengan persetujuan Fahmi menyerahkan uang Sin$100 ribu terbungkus amplop cokelat kepada Bambang Udoyo di ruang kerjanya di kantor Bakamla Gedung Perintis Kemerdekaan.

"Penyerahan selanjutnya pada 8 Desember 2016, Adami menyerahkan uang Sin$5 ribu dolar Singapura kepada Bambang Udoyo di kantor Bakamla," kata Jaksa KPK Kiki Ahmad Yani.

Uang itu untuk memenuhi kekurangan pemberian 2 hari sebelumnya yang telah diserahkan oleh Adami sejumlah Sin$100 ribu dolar Singapura. Sehingga uang untuk Bambang totalnya 105 ribu dolar Singapura. Pemberian terakhir pada 14 Desember 2016 dengan Adami dan Hardy yang memberikan uang sebesar Sin$100 ribu dan US$78.500 dolar kepada Eko Susilo Hadi.

Atas perbuatan Adami dan Hardy diancam pidana Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

BACA JUGA: