JAKARTA, GRESNEWS.COM - Nasib manusia memang Tuhan yang menentukan, tetapi sejatinya manusialah yang telah menuntun dirinya ke jalan yang dituju. Begitu pula dengan seorang Raja Bonaran Situmeang. Mungkin dalam benaknya tak pernah terlintas jika dirinya yang seorang pengacara, kemudian bisa menjadi kepala daerah lalu terjerembab menjadi pesakitan di kasus korupsi yang melibatkan pula mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.

Komisi Pemberantasan Korupsi hari ini menetapkan Bonaran yang adalah Bupati Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, sebagai tersangka kasus penanganan sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Kasus ini sendiri merupakan pengembangan dari kasus serupa yang melibatkan mantan Ketua MK Akil Mochtar.

Bonaran menjadi tersangka setelah KPK menyatakan cukup bukti yang bersangkutan menyuap Akil sebesar Rp1,8 miliar agar perkaranya dimenangkan. "Penyidik menetapkan RBS sebagai tersangka. RBS ini adalah bupati Tapanuli Tengah," ujar Juru Bicara KPK Johan Budi di Kantornya, Rabu (20/8).

RBS diduga melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001. Johan mengatakan, sebelum melakukan penetapan, penyidik KPK sudah melakukan beberapa kali gelar perkara berkaitan dengan kasus ini. "Kemudian oleh penyidik telah ditemukan dua bukti permulaan yang cukup, serta dapat disimpulkan ada dugaan terjadi tindak pidana korupsi berkaitan dengan penanganan sengketa pilkada di Tapanuli Tengah," ujarnya.

Saat ini menurut Johan, KPK masih melakukan penggeledahan di rumah dinas Bupati yang beralamat di Jalan MH Sitorus no 4 Sibolga, Sumatra Utara. Selain itu, penggeledahan juga dilakukan di Kantor Bupati Tapanuli Tengah, Jalan Ferdinan Lomban no 18, Tapanuli Tengah.

Ketika ditanya apa bukti yang diperoleh KPK, Johan enggan mengatakannya karena bukti tersebut masih ada di penyidik. Tetapi ia menambahkan, jika mengacu pada UU KUHP maupun KUHAP, atau UU No 30 tahun 2002, juga UU No 31 tahun 1999, yang disebut alat bukti itu bisa berbentuk surat, keterangan saksi, dan juga petunjuk.

Tetapi hingga saat ini KPK belum melakukan pencegahan terhadap mantan pengacara itu. Ia beralasan, Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru dikeluarkan kemarin. Johan menuturkan, kasus ini tidak berhenti pada penetapan Bupati Tapanuli Tengah saja. "KPK terus melakukan pengembangan terhadap perkara suap sengketa pilkada di MK. Ini masih berkembang dan masih terbuka kemungkinan adanya tersangka baru," ujarnya.

Keterlibatan Bonaran sendiri sudah terungkap sebelumnya dalam sidang terhadap terdakwa Akil Mochtar.  Peristiwa penyuapan bermula jauh-jauh hari dari proses persidangan di MK yang berlangsung pada pertengahan 2011. Yakni pada saat Anggota DPRD Tapteng Bachtiar Sibarani bertemu dengan Akil Mochtar di Rumah Akbar Tandjung beberapa saat sebelumnya.

Akil meminta nomor telepon Bachtiar. "Kalau saya telepon adinda, tolong diangkat," ujar Bachtiar menirukan pesan Akil, dalam kesaksiannya di persidangan.

Benar saja, tidak lama setelah pertemuan itu, Akil menghubungi beberapa kali nomor Bachtiar. Namun karena nomor Akil tidak tersimpan, Bachtiar tidak mengangkatnya. Di ujung telepon itu, Akil meminta kepada Bachtiar agar bisa dihubungkan ke Bonaran.

Akil minta uang Rp3 miliar kepada Bonaran. Tapi Bachtiar takut untuk menyampaikan permintaan itu. "Kau tinggal bilang saja," pinta Akil kepada Bachtiar. Permintaan itu juga berulangkali diminta Akil.

Bachtiar juga mengaku sempat menunjukan langsung SMS Akil kepada Bonaran. Entah karena tidak mendapat respons dari Bonaran, Akil malah ´rela´ menurunkan permintaannya. "Kalau enggak mau 3, 2 saja lah," kata Akil menirukan pesan Akil.

Dalam episode persidangan yang lain, saksi yang lain, Hetbin Pasaribu mengaku berulang kali diperintahkan Bonaran mengirim uang ke Bachtiar Sibarani. "Bonaran telepon saya, disuruh temani ajudannya, Daniel Situmeang ke BNI Rawamangun ambil uang Rp1 miliar," kata kata Hetbin Pasaribu. Uang itu kemudian diserahkan kepada Bakhtiar Sibarani oleh Daniel.

Beberapa waktu kemudian, lagi-lagi Hetbin mengantar Daniel mengambil uang di Azwar Pasaribu Rp1 miliar. Uang tersebut diantar lagi untuk Bakhtiar di Depok.

Namun keesokan harinya, Bakhtiar menelepon karena uang yang diterimanya kemarin ternyata kurang Rp100 juta. Bakhtiar pun meminta Hetbin mengirim uang itu ke CV Ratu Samagat dengan berita slip setoran ´angkutan batubara´.

Meski Akil dan Bonaran tidak mengakui adanya praktek suap menyuap, majelis hakim yang mengadili Akil pun menjadikan fakta persidangan di atas sebagai dasar untuk menunjang vonis untuk Akil. Hakim menyatakan Akil terbukti menerima Rp1,8 miliar dari Bonaran. Uang itu diberikan agar MK menolak permohonan keberatan hasil KPU.

Sejatinya, KPU Tapanuli Tengah sudah menetapkan Bonaran Situmeang-Sukran Jamilan Tanjung sebagai pemenang pilkada. Namun calon yang kalah mengajukan keberatan ke MK.

Disebutkan, Akil melalui Bakhtiar Ahmad Sibarani meminta uang kepada Bonaran Rp3 miliar. Namun entah mengapa, belakangan diketahui Bonaran menyerahkan hanya Rp2 miliar untuk Akil melalui rekannya. Ternyata, jumlah uang yang disetor ke rekening CV Ratu Samagat Bank Mandiri KC Pontianak kembali berkurang tinggal Rp1,8 miliar. (dtc)

BACA JUGA: