JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pasca ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi E-KTP, posisi Setya Novanto juga mulai digoyang di internal Partai Golkar. Kader muda Golkar mendesak Novanto mundur dari jabatan Ketum Golkar.

Kader Muda Golkar Ahmad Doli Kurnia mengaku prihatin atas ditetapkannya Novanto sebagai tersangka. "Pertama, tentu saya sebagai kader Golkar ikut prihatin dengan ditetapkan Setya Novanto sebagai tersangka karena ini semakin menguatkan kelibatannya sebagai aktor utama dalam megaskandal utama kasus e-ktp," kata Doli saat berbincang, Senin (17/7).

Kedua, kata Doli, dia mengajak kader Golkar berpikir untuk kepentingan partai yang lebih besar. "Sebagai kader Golkar kita semua harus berpikir kepentingan partai yang lebih besar. Sejak awal ketika nama Setnov disebutkan dalam dakwaan, saya sudah mengatakan ini dimulainya percitraan buruk Golkar," papar Doli.

Selama berbulan-bulan kasus e-KTP selalu dikaitkan dengan nama Novanto yang kian memperburuk citra Partai Golkar. Sehingga, kata Doli, tak ada jalan lain kesuali Novanto harus mundur dari jabatan Ketum Golkar setelah dia ditetapkan sebagai tersangka.

"Begitu nama Novanto disebut seharusnya dia mengundurkan diri (dari Ketum Golkar). Mestinya mengambil langkah-langkah pengganti Novanto," tutur Doli.

"Tidak ada jalan lain, demi keselamatan partai, kita harus memilih dan mempersiapkan pemilihan ketua umum (Golkar) baru," tambah dia.

Novanto ditetapkan sebagai tersangka keempat di kasus e-KTP. Novanto yang kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR disangka telah mengkondisikan dalam pengadaan barang dan jasa proyek e-KTP.

Peneliti dari Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Adrian Habibi mengatakan, kedudukan Novanto sebagai ketua umum Partai Golkar memang harus segera ditegaskan. Pasalnya, Golkar bakal segera menghadapi pendaftaran calon kepala daerah pada Pilkada serentak 2018 dan Pemilu Serentak 2019.

"Idrus Marham dengan jabatannya sebagai Sekretaris Jendral DPP Partai Golkar, harus memberikan pernyataan sikap Golkar secepatnya. Selain itu, Idrus Marham harus menyiasati proses pengelolaan organisasi dimasa-masa genting ini," kata Habibi kepada gresnews.com, Selasa (18/7).

Dia mengatakan, untuk pendaftaran calon kepala daerah, sebenarnya bisa disiasati dengan mengeluarkan rekomendasi yang ditandatangani oleh salah satu Ketua DPP dan Sekjen. "Hal ini masih dianggap sah sebagai surat DPP Golkar selama salah satu dari ketua imum atau sekjen turut menandatangi surat organisasi," katanya.

Apabila organisasi membutuhkan reshuflle kepengurusan, Novanto secara etika menunjuk Pelaksana Tugas Ketua Umum selama waktu yang ditentukan sesuai AD ART Golkar. Karena demi memastikan proses hukum berjalan dengan baik, Novanto wajib mengikuti dan fokus pada persoalan hukumnya.

Di lain sisi, mengingat Novanto menjabat sebagai Ketua DPR RI, maka Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) harus memastikan persoalan Novanto masuk kategori yang berdampak kepada pergantian status Ketua DPR. Terlebih DPR akan melaksanakan Paripurna pada tanggal 20 Juli 2017, yang salah satu melaksanakan voting pengesahan RUU Pemilu.

"Tentu saja Pimpinan DPR yang lain juga wajib membahas status Novanto, apakah harus diganti atau tidak, apakah tersangka Novanto berpengaruh pada paripurna atau tidak?" kata Habibi.

"Kita mengharapkan adanya semangat mematuhi proses hukum yang berlangsung dari pihak DPR dan Partai Golkar agar persoalan internal partai tidak merembes kepada kerja-kerja legislatif. Selain itu, apapun alasannya, Pengesahan RUU Pemilu pada tanggal 20 Juli 2017 tidak boleh terganggu akibat prahara internal Partai Golkar," tegasnya.

Selain posisi di Golkarm kedudukan Setnov sebagai Ketua DPR juga terancam. Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Sarifuddin Sudding mengatakan, Novanto akan segera diproses dengan ketentuan tertentu. Menurut Sarifuddin Sudding, MKD akan mengambil tindakan sesuai dengan perkembangan proses hukum yang berlaku. Novanto belum akan diproses oleh MKD. "Kita ikuti proses perkembangannya di KPK," jelas Sudding saat dihubungu wartawan, Senin (17/7).

Sudding menyebut MKD akan terus memantau kelanjutan kasus Novanto. Pihaknya menunggu surat soal status Novanto sebelum menentukan langkah lanjutan. "MKD akan memantau dan meminta keterangan dari KPK tentang status Pak Nov secara resmi. Perlu ada bukti tertulis katakanlah seperti itu dari institusi penegakan hukum tentang penetapan seseorang jadi tersangka," tutur Sudding.

"Karena sudah masuk ranah hukum KPK makanya kita minta konfirmasi dari KPK terkait status Novanto," tegas Sekjen Hanura ini.

PERAN SETNOV - Sebelumnya, KPK telah menetapkan tersangka baru dalam kasus e-KTP. Ketua DPR Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka. "KPK menetapkan Saudara SN, anggota DPR periode 2009-2014, sebagai tersangka terbaru kasus e-KTP," kata Ketua KPK Agus Rahardjo dalam konferensi pers di kantor KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (17/7).

Penetapan ini dilakukan setelah KPK mencermati persidangan kasus ini dengan terdakwa Sugiharto dan Irman. "Ada bukti permulaan yang cukup untuk penetapan tersangka baru," ujar Agus.

Sejak awal kasus ini masuk ke persidangan, nama Setya Novanto memang disebut jaksa dalam surat dakwaan untuk terdakwa korupsi proyek e-KTP. Setya disebut bersama-sama dengan enam orang lainnya, termasuk dua terdakwa e-KTP.

Dalam surat dakwaan untuk dua terdakwa Sugiharto dan Irman disebutkan Setya Novanto bersama-sama melakukan korupsi dengan Irman dan Sugiharto, terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan proyek e-KTP. Peran Novanto dibeberkan jaksa KPK untuk mendorong fraksi-fraksi di DPR agar mendukung proyek itu.

Nama Setya Novanto, sebelumnya beberapa kali disebut sebagai pemain kunci di proyek ini. Selain Novanto, ada pemain kunci lain, yaitu Andi Agustinus alias Andi Narogong, yang lebih dahulu jadi tersangka.

Peran Setya Novanto sedikit dibeberkan jaksa penuntut umum KPK dalam surat dakwaan untuk dua terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan proyek e-KTP. Novanto disebut telah meminta jatah Rp 574 miliar bersama dengan Andi Agustinus alias Andi Narogong. Permintaan jatah itu dilakukan ketika DPR mulai membahas RAPBN tahun anggaran 2011 pada Juli-Agustus 2010. Saat itu, anggaran proyek e-KTP juga mulai dibahas.

Saat itu, Andi Narogong selaku pengusaha rekanan Kementerian Dalam Negeri, yang mengurusi proyek e-KTP, diduga mulai lebih intens bertemu dengan Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin. Pembahasan anggaran itu pun mencapai konklusi dengan menggunakan uang negara sebesar Rp5,9 triliun.

"Karena anggota DPR (Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin) tersebut dianggap sebagai representasi Partai Demokrat dan Partai Golkar yang dapat mendorong Komisi II DPR menyetujui anggaran proyek penerapan KTP berbasis NIK secara nasional," ucap jaksa KPK saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Selatan, Kamis (9/3).

Setelah melakukan beberapa kali pertemuan, mereka diduga bersepakat DPR akan menyetujui anggaran kurang-lebih Rp5,9 triliun tersebut dengan pengawalan dari Partai Golkar dan Partai Demokrat dalam pembahasannya. Untuk itu, anggota Dewan meminta imbalan.

"Guna merealisasikan pemberian fee tersebut, Andi Agustinus alias Andi Narogong membuat kesepakatan dengan Setya Novanto, Anas Urbaningrum, dan Muhammad Nazaruddin tentang rencana penggunaan anggaran KTP elektronik yang kurang-lebih senilai Rp 5,9 triliun," kata jaksa KPK. (dtc)

BACA JUGA: