JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pencabutan hak politik untuk memilih dan dipilih terhadap terdakwa kasus korupsi import daging sapi Luthfi Hasan Ishaq yang diputuskan Mahkamah Agung, menjadi sinyal positif pemberantasan korupsi di Indonesia. Hukuman tambahan ini sayangnya baru diberikan kepada Luthfi mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera yang juga anggota DPR RI.

Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya selalu meminta Majelis Hakim Pengadilan Tipikor untuk mencabut hak politik bagi setiap terdakwa kasus korupsi yang sedang mengemban jabatan publik. Sebut saja Gubernur Banten non aktif Ratu Atut Chosiyah, mantan Menpora Andi Mallarangeng, mantan Ketua MK Akil Mochtar, hingga mantan anggota DPR Fraksi Demokrat Angelina Sondakh.

Tetapi, entah mengapa Majelis Hakim Tipikor selalu menolak permintaan Jaksa KPK untuk mencabut hak politik bagi para tersangka korupsi. Padahal, mereka melakukan tindak pidana tersebut saat masih mengemban amanah rakyat.

Ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fikar Hadjar mengatakan hak politik adalah hak memilih atau dipilih sebagai pejabat publik atau penyelenggara negara. Dan dalam ranah yuridis, pencabutan hak politik dapat diajukan Jaksa dalam dakwaannya. Kemudian berlanjut pada requisator (penuntutan). Dan jika hakim menyetujui permohonan Jaksa tersebut berdasarkan fakta persidangan, maka pencabutan hak politik bisa dilakukan.

"Pencabutan hak politik perlu dilakukan jika ada fakta sosiologis yang sudah menjadi fakta hukum yang dapat dijadikan alasan (umpamanya menyalahgunakan jabatan politiknya). Maka kepentingan/urgensi pencabutan hak politik itu terpenuhi," ujar Abdul kepada Gresnews.com, Rabu (17/9).

Menurut Abdul, filosofi pencabutan hak politik adalah upaya pencegahan atau menghidupkan efect determinant dari suatu hukuman. Oleh karena itu, tujuan menuntut pencabutan hak politik biasanya menyasar kepada para penyelenggara negara seperti Menteri, Gubernur, Bupati, ataupun para anggota DPR harus ditafsirkan atau diletakkan dalam kerangka upaya pencegahan melalui efek jera hukuman tersebut.

Abdul menganggap pencabutan hak politik kepada tersangka yang ketika itu mengemban jabatan publik pantas dilakukan. Karena mereka memanfaatkan jabatan tersebut bagi kepentingan pribadi, golongan, ataupun korporasi. Padahal, mereka seharusnya menjadi panutan masyarakat luas.

Bahkan khusus untuk Luthfi, ia mengusulkan diberikan hukuman tambahan yaitu meminta maaf kepada publik melalui media massa. "Terhadap LHI ini saya pernah mengusulkan hukuman kewajiban meminta maaf terhadap umat Islam mengingat LHI Ketua Partai Islam. Dan perbuatannya justru bertentangan dengan ajaran agama yang diatasnamakan partainya," jelasnya.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan mensyukuri keputusan pencabutan hak politik kepada Luthfi. Bahkan, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto berharap keputusan ini bisa menjadi teladan bagi hakim pengadilan yang ada dibawahnya. Karena, hingga saat ini Pengadilan Tindak Pidana Korupsi belum pernah mencabut hak politik para terdakwa kasus korupsi baik kepada para kepala daerah, anggota DPR, para menteri atau penyelenggara negara, ataupun kepada petinggi partai politik.

"Putusan MA harus jadi preferensi hakim di bawahnya dan pantas dijadikan benchmark dan rujukan bagi pengadilan," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto kepada wartawan Selasa, (16/9).

BACA JUGA: