JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah 385 petambak yang tergabung dalam Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) eks Dipasena, Kamis (20/3), secara resmi mendaftarakan memori kasasi ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Menggala di Kabupaten Tulang Bawang. Memori kasasi para petambak terbagi ke dalam dua perkara masing-masing Putusan Pengadilan Tinggi Nomor: 20/Pdt./2013/PT.TK dengan pemohon 185 Petambak dan Putusan Nomor: 21/Pdt./2013/PT.TK dengan pemohon 200 Petambak.

Para Petambak mengajukan kasasi dengan lima alasan pokok untuk memperkuat Mahkamah Agung menolak gugatan wanprestasi dari PT Aruna Wijaya Sakti/Central Proteina Prima. Pertama, majelis hakim Pengadilan Tinggi Lampung tidak melakukan penilaian hukum terhadap eksepsi yang diajukan oleh para petambak.

Wakil Ketua P3UW Dipasena Thowilun mengatakan, majelis hakim tidak melakukan penilaian secara substantif terhadap fakta hukum dalam pertimbangan terhadap eksepsi petambak dengan alasan telah dipertimbangkan di PN Menggala. "Hal itu tersebut menyebabkan PT Lampung tidak tepat dan harus dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena memberikan ketidakadilan kepada petambak," kata Thowilun dalam pernyataan tertulis yang diterima Gresnews.com, Kamis (20/3).
 
Sebelumnya ketika perkara ini disidangkan di PN Menggala, majelis hakim memenangkan para petambak dengan menolak gugatan PT AWS/CPP. Alasannya, satu gugatan satu gugatan mengandung satu kepentingan hukum, sehingga dalam satu gugatan tidak dibenarkan lebih dari satu kepentingan subjek hukum. Dan tidak dibenarkan secara hukum adanya generalisasi terhadap 400 tergugat atas dasar adanya perbuatan person tertentu dari para tergugat.

Hal pentingnya adalah majelis hakim menitikberatkan kepada substansi keadilan dalam penyelesaian persoalan yang disengketakan oleh kedua pihak. Dari pertimbangan hukum tersebut majelis hakim menyimpulkan tidak beralasan secara hukum 400 tergugat petambak plasma Bumi Dipasena ditarik sebagai para tergugat dalam satu gugatan.

Kalah di PN, PT AWS/CPP kemudian melakukan banding ke PT Lampung dan akhirnya diputuskan menang. Inilah yang membuat para petambak Dipasena yang kini jumlahnya menyusut tinggal 6.900-an orang (dari sekitar 7.512 orang) resah bukan kepalang dan akhirnya mengajukan kasasi.

Alasan kedua, majelis hakim PT Lampung telah salah dalam menilai penggabungan gugatan berdasarkan dua hal: (a) subjek hukum yang saling terikat dalam suatu Perjanjian Kerja Sama (PKS) Pola inti plasma; dan (b) bertempat tinggal/diam di wilayah hukum Pengadilan Negeri Manggala.


Pertimbangan tersebut telah salah dengan melihat fakta-fakta petambak dan hubungan dengan PT AWS/CPP sebagai subjek hukum mempunyai karateristik permasalahan yang berbeda-beda dan terikat dalam perjanjian kerjasama yang berbeda-beda pula. "Hakim Pengadilan Tinggi tidak memahami dan tidak cermat dalam membaca gugatan PT AWS/CPP dan bukti-bukti yang disampaikan dalam persidangan," kata Koordinator Advokasi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Marthin Hadiwinata.

Ketiga, kata Marthin, hubungan perjanjian antara masing-masing petambak dengan PT AWS/CPP adalah termasuk dalam jenis perjanjian timbal-balik. PT AWS/CPP harus terlebih dahulu melaksanakan kewajibannya merevitalisasi tambak agar petambak dapat melaksanakan budidaya udang. Karena perusahaan tersebut tidak melakukan revitalisasi, maka menurut Marthin, justru PT AWS/CPP lah yang terlebih dahulu melakukan wanprestasi.

Seperti diketahui, masuknya tambak Dipasena dalam program revitalisasi adalah merupakan amanat DPR-RI yang ditetapkan pada September 2004 silam. Program ini juga masuk menjadi program 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu baru saja terpilih. Lewat program revitalisasi itu, tambak Dipasena akan dipulihkan ke kondisi awal dengan cara memperbaiki pola kemitraan.

Hubungan kerjasama anatara perusahaan sebagai inti dan petambak sebagai plasma diaktualisasikan dengan memperbaiki perjanjian kerjasama antara petambak dengan PT Dipasena Citra Darmaja. Namun PT PPA kemudian pada 24 Mei 2007 menjual aset kredit dan saham Grup Dipasena kepada PT Central Proteina Prima (CPP Group). Penjualan ini sendiri menjadi kontroversial karena aset yang bernilai Rp2,388 triliun itu ternyata hanya dijual seharga Rp688 miliar.

PT CPP yang membeli aset itu adalah anak perusahaan Charoen Pokphand asal Thailand dan dalam perjanjian pembelian disebutkan sisa aset perusahaan sebesar Rp1,7 triliun dialokasikan untuk revitalisasi tambak selama 12 bulan sebagai kelanjutan amanat revitalisasi tahun 2004.

Sejak itu PT DCD sebagai inti digantikan oleh PT AWS/CPP dan perjanjian kerjasama dengan plasma ditandatangani pada 17 Desember 2007. Dalam perjanjian itu disebutkan PT AWS/CPP akan memberikan kredit kepada petambak dengan jaminan sertifikat para petambak. Sayangnya sejak awal perjanjian itu sudah tidak berjalan mulus karena PT AWS ternyata mangkir dari kewajiban.

Hingga awal tahun 2011 PT AWS/CPP hanya melakukan revitalisasi pada lima blok saja yaitu Blok 0, Blok 1, Blok 2, Blok 3 dan Blok 7. Itupun dilakukan bersama masyarakat. Sementara banyak petambak yang lahannya belum direvitalisasi menggantungkan hidup dari utang yang diberikan perusahaan sebesar Rp. 900 ribu perbulan sebagai Biaya Hidup Petambak Plasma (BHPP). Uang tersebut bukanlah pemberian cuma-cuma, namun menjadi tanggungan hutang petambak kepada perusahaan yang jumlahnya semakin besar.

Kewajiban PT AWS/CPP untuk menyediakan sarana prasarana tambak dengan melakukan revitalisasi tambak tidak pernah dilakukan. Karena itu para petambak menilai pertimbangan majelis hakim PT Lampung telah salah dalam menerapkan hukum.


Alasan keempat, gugatan PT AWS/CPP kurang pihak, karena terdapat beberapa pihak lain di luar Para Pihak yang terlibat perjanjian kerjasama dengan petambak udang yang seharusnya digugat. "Seharusnya pihak Bank BRI dan Bank BNI ditarik sebagai tergugat atau setidak-tidaknya sebagai turut tergugat, karena tuntutan ganti rugi dalam gugatannya merupakan pinjaman dari Bank tersebut," kata Arif Suherman, Lawyer Indonesia Human Rights Comittee for Social Justice yang mendampingi petambak.

Terakhir, kata Arif, majelis hakim PT Lampung juga tidak menguraikan dengan jelas pertimbangan untuk menyatakan petambak telah wanprestasi terlebih dahulu. Majelis hamim juga dinilai tidak menjelaskan serta asumsi yang menyatakan bahwa petambak ingin mengakhiri hubungan perjanjian dengan PT AWS/CPP namun tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan hutang. "Padahal Petambak telah berupaya menyelesaikan permasalahan yang telah 4 kali dimediasi oleh Komnas HAM namun hanya sekali dihadiri oleh Ahmad Roswantama sebagai selaku Direktur PT AWS/CPP," ujarnya.

Selain itu asumsi tidak kondusifnya pertambakan Dipasena juga hanya didasarkan laporan polisi yang belum ada proses pengadilan dan tidak ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. "Sehingga majelis hakim PT Lampung telah salah menerapkan hukum dan melampaui kewenangannya," ujar Arif.

Para petambak juga menilai putusan Pengadilan Tinggi Lampung mengancam keberlangsungan cerita bahagia dari pertambakan udang eks-Dipasena yang sedang bergeliat maju menjalankan kedaulatan pangan berbasis ekonomi kerakyatan. Seperti dikatakan salah seorang petambak Arie Suharso dalam masa sengketa antara petambak dengan PT AWS/CPP, para petambak sebenarnta sudah mampu mengelola tambak secara mandiri.

Untuk permodalan, setiap rukun warga mengumpulkan dana iuran yang besarnya Rp5 juta-Rp70 juta per petambak. Di wilayah RW Delta, tempat tinggalnya, kata Ari, ada sekitar 80 KK dengan jumlah petambak mencapai 2.000 orang. "Modal yang terkumpul bisa cukup besar untuk menghidupkan tambak," ujarnya kepada Gresnews.com.

Para petambak juga menggunakan metode sendiri seperti memberi pakan dan obat-obatan alami pada udang serta rasio pemberian pakan yang efisien sehingga hasil panen lebih meningkat. Dengan cara-cara seperti itu, petambak bisa menghasilkan keuntungan 3 kali lipat. Dengan modal antara Rp20 juta-Rp100 juta misalnya, para petambak kini bisa menghasilkan uang sebesar Rp60 juta-Rp300 juta per periode.

Satu periode pembibitan udang hingga panen memakan waktu antara 2,5-3,5 bulan. Dari menyebar 10.000 bibit, saat ini petambak bisa menghasilkan rata-rata 100 kilogram udang dengan harga Rp78 ribu-Rp80 ribu per kilogram dengan size standar 60 ekor udang per kilogram. "Kini semua hasil jerih payah itu terancam hilang, kami akan melawan," kata Arie.

Sebelumnya dengan kemitraan bersama PT AWS/CPP petambak eks-Dipasena justru tidak dapat memproduksi udang karena dibebani biaya mahal. Kini setelah petambak bisa berdaulat, putusan PT Lampung tersebut malah memberikan kuasa kepada PT AWS/CPP untuk menjual tambak udang dan menutupi utang 385 Petambak yang tidak pernah dinikmati petambak sebesar Rp26,8 miliar.

BACA JUGA: