JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masyarakat Sipil yang selama ini membela warga Ringinrejo, Wates, Blitar, Jawa Timur dalam memperjuangkan hak kelolanya dari pengambilalihan lahan oleh Holcim Ltd Group, PT. Holcim Indonesia, mengadukan permasalahan tersebut ke National Contact Point Switzerland. Pengaduan itu dilakukan karena operasi Holcim tersebut berdampak buruk terhadap Hak Asasi Manusia masyarakat setempat.

"Pengaduan yang kami sampaikan merupakan pengaduan yang disediakan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)Guidelines for Mulltinational Enterprises. Di mana, ini merupakan panduan wajib yang berasal dari Negara anggota OECD untuk diterapkan di manapun mereka beroperasi," kata Andi Muttaqien dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Kamis (19/3).

Lahan para petani Blitar yang terancam digusur itu, menurut Andi, adalah lahan yang subur yang menjadi sumber penghidupan warga sejak 19 tahum silam. Di lahan seluas 724,23 hektare di Desa Ringinrejo itu, sejumlah 826 kepala keluarga petani menggantungkan hidup dari bertanam jagung, ketela dan semangka.

Warga merasa terancam mata pencahariannya karena lahan tersebut sejak tahun 2013 telah ditunjuk sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Belakangan, lahan yang dikelola warga tersebut tanpa diketahui warga, telah dibeli PT Holcim Indonesia dan dijadikan sebagai lahan pengganti untuk dijadikan hutan. "Karena Holcim menggunakan kawasan hutan di Tuban untuk penambangan dan pabrik semen," ujar Andi.

Farhan Mahfudzi dari Sitas Desa, Blitar mengatakan, penunjukan areal kelola warga Ringinrejo sebagai kawasan hutan, telah dilakukan dengan proses yang manipulatif. Karena Holcim tidak mempertimbangkan riwayat kelola warga selama 19 tahun lamanya. "Bahkan justru tawaran ganti rugi atau kompensasi dilakukan kepada warga pendatang, bukan warga asli Desa Ringinrejo, yang notabene mengalami dampak langsung dari penunjukkan kawasan hutan tersebut," ujarnya.

Selain itu, dalam hukum Indonesia, penunjukan kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi sebagaimana Holcim lakukan di Blitar, melanggar peraturan Menteri Kehutanan. Karena syarat lahan kompensasi (lahan yang diberikan Holcim untuk dijadikan kawasan hutan) wajib clear and clean secara de facto dan de jure.

Penunjukan lahan kompensasi itu dinilai telah melanggar beberapa aturan. Diantaranya adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Permenhut–II/2011 dan Nomor P.14/Menhut-II/2013 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Berdasarkan Pasal 16 Ayat (3) huruf a P.14/Menhut-II/2013 ditentukan, pemegang persetujuan prinsip wajib menyediakan lahan kompensasi yang tidak bermasalah di lapangan (de facto) dan hukum (de jure). "Faktanya, di lapangan masih terdapat lebih kurang 826 Kepala Keluarga yang menggarap lahan tersebut dan menggantungkan hidupnya selama 19 tahun," kata Farhan.

Selain itu Holcim juga dinilai telah melakukan penipuan dengan cara melakukan musyawarah dengan warga yang tidak representatif. Pihak Holcim Indonesia telah melakukan sosialisasi/musyawarah dengan para penggarap yang ada di atas lahan yang akan menjadi lahan kompensasi, namun musyawarah/sosialisasi tersebut tidak dilakukan terhadap warga yang memiliki legitimasi mewakili kepentingan Desa Ringinrejo.

Bahkan demi memenuhi persyaratan clear and clean di atas tanah yang sudah digarap warga tersebut, Holcim Indonesia melakukan negosiasi atau musyawarah dengan para penggarap yang justru bukan berasal dari Desa Ringinrejo, yang merupakan wilayah terdekat dengan lahan tersebut.

Selain itu, persetujuan atau kesepakatan bersama juga dibuat secara tidak transparan. Dalam proses negosiasi untuk membebaskan lahan kompensasi dari pendudukan yang dilakukan warga Ringinrejo, telah terbentuk panitia Permohonan Tanah di Desa Ringinrejo, dan sampai memiliki buah kesepakatan bersama yang menyatakan bahwa masyarakat Desa Ringinrejo menerima pemberian lahan seluas 40Ha dari PT. Holcim Indonesia Tbk pada tahun 2008.
"Namun ternyata dalam memperoleh tandatangan untuk pernyataan tersebut Panitia Permohonan Tanah tidak memberikan informasi dan mekanisme yang transparan bagi warga Desa Ringinrejo tentang isi pernyataan tersebut," tegas Farhan.

Karena itu pihak masyarakat sipil menilai, tindakan Holcim di Blitar bertentangan dengan semua kewajiban dari panduan OECD pada bab tentang Hak Asasi Manusia. Tindakan itu juga bertentangan dengan konsep dan asas-asas yang harus diterapkan perusahaan di mana mereka beraktivitas, yakni pada Bab I dari Panduan OECD angka 2, yang mewajibkan perusahaan untuk mematuhi undang-undang domestik.

Tindakan itu juga dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap ketentuan nomor 14 dari Bab II Kebijakan Umum. Bahwa perusahaan harus melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan untuk memberikan peluang yang memadai untuk mempertimbangkan pandangan-pandangan mereka yang terkait dengan perencanaan dan pengambilan keputusan bagi proyek-proyek atau kegiatan-kegiatan yang dapat berdampak besar bagi masyarakat lokal.

"Dengan mengajukan pengaduan dengan mekanisme yang disediakan OECD Guidelines for MNE’s, kami berharap, National Contact Point di Switzerland dapat memperhatikan masalah antara masyarakat Ringinrejo dengan Holcim," kata Budi Tjahjono dari Frasiscans International, Jenewa, Swiss.

Harapannya, dengan difasilitasi NCP, dapat dicapai putusan agar Holcim mencari lahan pengganti yang tidak mengganggu hak-hak masyarakat Desa Ringinrejo. "Atau setidak-tidaknya terjadi kesepakatan yang final antara Holcim dengan warga Desa Ringinrejo melalui musyawarah yang efektif dan partisipatif. Sehingga dampak kerugian yang dialami warga dapat dipulihkan sepenuhnya," ujarnya.
 

BACA JUGA: