JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia harus segera mencari sumber energi alternatif lantaran energi fosil yang tak bisa diperbaharui terus berkurang setiap tahunnya. Saatnya untuk beralih ke Energi Baru Terbarukan (EBT) yang sudah digaungkan di seluruh dunia.

Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Maritje Hutapea mengatakan perlu ada terobosan mengurangi penggunaan energi fosil. Ia mengakui, sektor energi merupakan sektor strategis lantaran berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat.

"EBT ini jauh lebih banyak masalah ketimbang kesuksesan, ini membutuhkan lintas sektoral buat menyelesaikan masalah," katanya kepada gresnews.com.

Selama ini pemanfaatan energi fosil dinilai lebih menarik dibandingkan EBT lantaran sudah puluhan tahun digunakan. Terlebih, kini harga batu bara di dunia sedang menurun sehingga konsumen lebih memilih harga yang lebih murah. "Pemanfaatan EBT mahal, karena teknologinya masih jarang," ujarnya.

Selain itu, ia menyatakan isu energi ini memang sering dipolitisir sehingga pemerintah pun terkadang maju-mundur dalam membuat kebijakan. Padahal, Indonesia yang terkenal kaya energi fosil, kini cadangannya sudah menurun lantaran terus diekploitasi berlebihan.

"Energi fosil kita akan habis beberapa puluh tahun mendatang, tapi ini susah karena emang ada provokatornya," ujarnya.

Saat ini, kondisi keenergian di Indonesia menggunakan 94 persen energi fosil dan hanya 6 persen EBT. Dari 100 persen potensi EBT di Indonesia, negara ini baru menggunakan sekitar 1 persennya saja. Misal pada PLTA, seharusnya Indonesia memiliki potensi 866.000 Mega Watt (MW) namun baru 8660 MW yang dimanfaatkan.

HAMBATAN ENERGI TERBARUKAN - Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 tahun 2014 kebijakan energi nasional ditargetkan penggunaan EBT di 2025 akan meningkat dari 6 persen hingga 23 persen. Namun, terdapat beberapa hambatan dalam melaksanakannya, yakni pertama penggunaan EBT tak bisa ditransfer antar daerah, sedangkan energi fosil bisa.

"Lalu bagaimana ketika membangun PLTA di sungai-sungai Papua yang banyak potensi tapi pengguna di sana sedikit. Sedang ini tak bisa disalurkan ke Jawa yang lebih banyak butuh," katanya.

Ditambah, PLN seringkali tak mau membeli listrik EBT dari perusahaan penghasilnya lantaran mahal dan dinilai tak menguntungkan. Tak bisa disalahkan, PLN memang BUMN yang dituntut mencetak laba. Ketiga, investasi di bidang EBT sangat mahal, setelah dihitung, untuk mewujudkan kebijakan tersebut, Indonesia butuh sekitar Rp400 triliun dana segar.

"Pembelian EBT ini negonya susah, PLN nawarnya ya berdasar harga batu bara, tapi produksi si perusahaan kan tinggi. Ya, tak pernah tercapai karena nego tak berjalan, makanya pemerintah harus mengeluarkan subsidi tarif," katanya.

Ia juga menyatakan pemerintah akan memberi kemudahan dan insentif seperti tax holiday bagi perusahaan atau investor yang bersedia masuk di sektor ini.

Namun, pengamat energi Fabby Tumiwa menyatakan, target sebesar 23 persen EBT yang dicanangkan pemerintah pada 10 tahun mendatang ini merupakan target yang kecil. Sebab, setelah menghitung, ia mendapatkan hasil bahwa Indonesia membutuhkn sebanyak 45-60 persen EBT.

Pasalnya, Indonesia telah menandatangani Paris Agreement pada acara Conference of the Parties (COP) 21 di Paris untuk menjaga kestabilan suhu agar tidak naik melebihi rata-rata 1,5 derajat Celcius hingga 5 tahun mendatang. Padahal, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia.

"Itu rata-rata dunia, Indonesia sendiri suhunya sudah naik 15 derajat dan termasuk 1 dari 50 negara yang komitmen menurunkan 29-41 derajat sampai tahun 2030 nanti," katanya kepada gresnews.com.

Sedangkan di sisi lain, penggunaan energi fosil menyumbang 70 persen kenaikan temperatur global, sehingga jika mau berhasil dalam target tersebut maka Indonesia harus menggunakan EBT. Ia pun menyarankan pemerintah mengejar penggunaan EBT di sektor panas matahari, air, dan angin yang mampu dibangun dalam waktu kurang dari 3 tahun.

"EBT ini tak sepanjang batu bara yang konstruksinya saja butuh waktu 48 bulan," ujarnya.

Namun, realistis berdasarkan kemampuan dan kondisi tertentu, Indonesia akan sulit meraih target ini. Untuk itu, ia menyatakan pemerintah perlu turun tangan dengan memberikan subsidi untuk pengembangan EBT agar harganya murah dan terjangkau masyarakat.

BACA JUGA: