JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gara-gara Undang-Undang Mineral dan Batubara, dua kementerian yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Perindustrian bersitegang. Pada satu sisi, Kementerian ESDM sudah gatal ingin merevisi UU Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Minerba. Tujuannya, agar perusahaan tambang yang belum memiliki smelter pada 2017 tak kolaps.

Pasalnya, merujuk pada beleid tersebut, perusahaan yang belum membangun smelter hingga tahun 2017 tak lagi bisa melakukan ekspor. Padahal, menurut pihak ESDM masih banyak perusahaan tambang yang tak bisa tak bisa menyelesaikan pembangunan smelter sebelum 2017.

"Operasinya pasti terganggu, para pekerjanya pun terpaksa di-PHK," kata Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Aryono dalam acara diskusi di Jakarta, Jumat (26/2).

Gatot Aryono mengatakan, pemerintah melihat adanya persentase pemohon pembangunan smelter masih rendah atau hanya sebesar 30 persen. "Karena atas dasar tersebut, maka kita evaluasi , salah satu dasar evaluasi implementasi smelter yang hingga kini belum ada, kami persentase pemohon pembangunan smelter masih dibawah 30 persen ," katanya.

Selain soal smelter, kata Gatot, poin penting lain yang perlu direvisi adalah soal pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam perizinan pertambangan. "Ini saat erat sekali dengan UU Otonomi Daerah. Sebab itu, kita evaluasi," ujarnya.

Hanya saja, niat Kementerian ESDM ini, ditanggapi lain oleh Kementerian Perindustrian. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin I Gusti Putu Suryawirawan khawatir revisi UU Minerba ini bakal membuka keran ekspor mineral mentah yang selama ini dilarang.

Bila ekspor barang tambang mentah sampai dibuka lagi, kata Putu, hilirisasi mineral di dalam negeri akan terganggu. Selain itu, menurutnya, kebijakan tersebut bakal tidak adil bagi perusahaan pertambangan yang sudah susah payah menggelontorkan banyak uang untuk membangun smelter.

Putu menjelaskan, terdapat sekitar 27 smelter di Indonesia, sementara separuhnya sudah beroperasi dan sisanya masih tahap proses pembangunan. Jika relaksasi diberlakukan, dikhawatirkan malah akan membuat perusahaan yang sudah patuh merugi.

"Jadi yang mempunyai izin akan berpikir, kalau begitu masih bisa ekspor, kalau begitu kita tidak harus jual kepada yang bangun smelter. Itu yang bahaya, jadi kasihan mereka yang telah investasi sangat besar, mereka tidak mendapatkan kepastian bahan baku," kata Putu di acar diskusi yang sama.

Dia juga menyebutkan selama yang menjadi bahan revisi UU No.4 Tahun 2009 tentang kontrak atau masalah lain, yang mesti disesuaikan, pihaknya tak mempersoalkan. Namun jika yang diubah adalah ketentuan ekspor mineral mentah (relaksasi), maka Kemenperin menolak tegas.

"Kami tidak mau adanya relaksasi tersebut, jadi mohon ditinjau ulang terhadap relaksasi, jangan di kaitkan dulu sampai smelter ini beroperasi, dilihat dulu, jadi perlu atau tidak maka jangan terburu-buru harus relaksasi, ditinjau lebih dahulu baru bisa jalan," tegasnya.

Dia meminta revisi atas UU Minerba ditunda hingga smelter-smelter selesai dibangun dan mulai beroperasi. "Sebaiknya tunggu smelter-smelter yang sekarang sedang dibangun beroperasi, baru kita tinjau lagi UU Minerba," kata Putu.

LIMA ALASAN MENOLAK REVISI - I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, setidaknya ada lima alasan pihak Kementerian perindustrian untuk menolak revisi UU MInerba jika melonggarkan larangan ekspor mineral atau tambang mentah.

Pertama, Putu khawatir smelter-smelter yang sudah dibangun kekurangan pasokan bahan baku bila lekspor mineral mentah dibuka lagi.

"Yang memiliki izin pertambangan tentu berpikir, masih bisa ekspor, nggak harus jual ke yang bikin smelter, itu yang bahaya. Bisa-bisa yang sudah bangun smelter tidak mendapat kepastian bahan baku," katanya.

Kedua, jika ekspor mineral mentah direlaksasi tentu akan menjadi preseden buruk bagi kepastian hukum di Indonesia. "Investor jadi ragu-ragu, benar nggak ini Indonesia bikin aturan ini. Makanya sebaiknya janganlah. Jadi seharusnya kita menunjukkan ketegasan kepada investor," tukas dia.

Ketiga, pembukaan kembali ekspor mineral mentah akan membuat harga komoditas pertambangan semakin jatuh tak terkendali. "Kalau kita punya barang mineral maka kita harus punya kemampuan untuk mengontrol itu. Jangan membanjiri, nanti pasaran jadi rusak. Kita yang harus kontrol. Oke kita punya sumber, ya kita harus kontrol. Konsep ini harus kita pegang dulu. Jangan mentang-mentang kita punya sumber lalu kita habiskan," tegasnya.

Keempat, harusnya Indonesia sudah tak mengandalkan komoditas mentah lagi untuk pendapatan negara. "Jangan kita berpikir seperti nenek moyang kita, yang kita jual apa yang ada di ladang. Tapi kita harus berpikir, bagaimana mengolah yang ada di ladang, baru dijual. Konsepnya kita berikan nilai tambah," cetus Putu.

Kelima, industri logam pengolahan sumber daya alam termasuk sebagai prioritas dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN). Maka kewajiban pembangunan smelter harus konsisten dijalankan. "Kita sudah punya RIPIN. Salah satu prioritas kita adalah industri logam dasar dan industri yang mengolah sumber daya tidak terbarukan," kata Putu.

Masalah revisi UU Minerba ini sendiri sebenarnya sudah disampaikan pihak Kementerian ESDM kepada Komisi VII DPR saat melakukan melakukan kunjungan ke kantor Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) beberapa waktu lalu. Dengan kunjungan itu, Komisi VII ini ingin menampung masukan dalam revisi Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Hanya saja, menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR Fadel Muhamad poin-poin revisi UU Minerba baru sebatas pada tiga poin bahasan. Pertama, adalah sektor pendapatan. DPR ingin bagaimana negara bisa mendapatkan pendapatan yang lebih besar dari sektor ini.

Kedua, usaha pertambangan rakyat bisa berjalan dengan baik. Ketiga, peran pemerintah seharusnya lebih besar dalam mengatur sumber daya alam. "Jangan dilepaskan begitu saja. Perlu adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah," kata Fadel.

Terkait pendapatan, Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan mengatakan, tahun lalu perolehan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor minerba turun menjadi Rp29,63 triliun. Sementara tahun 2014 pendapatan PNBP mencapai sebesar Rp35,3 triliun.

Jika tidak ada perbaikan UU Minerba, dia khawatir PNBP ini akan terus menurun pada tahun ini dan berikutnya. "Ini bicara tentang minerba dan memang pada muaranya kita sudah masuk prolegnas untuk revisi UU Minerba. banyak masalah yang terjadi di sektor minerba, salah satunya PNBP 2015 yang menurun dan kalau tidak ada terobosan, pada tahun 2016 ini akan menurun lagi," jelasnya.

UNTUNGKAN PERUSAHAAN TAMBANG - Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Sujatmiko mengakui revisi UU Minerba bakal menguntungkan perusahaan-perusahaan tambang besar yang belum menjalankan kewajiban membangun smelter. Tetapi, dia membantah revisi UU Minerba dilakukan untuk membuka keran ekspor mineral mentah demi "memanjakan" beberapa perusahaan besar seperti Freeport dan Newmont semata.

Menurut dia, revisi UU Minerba akan menguntungkan semua perusahaan tambang. "Iya, intinya pemerintah tidak spesifik membuat aturan untuk 1-2 perusahaan, tapi yang universal yang berlaku untuk semua perusahaan," katanya.

Lalu bagaimana dengan perusahaan-perusahaan tambang yang sudah susah payah memenuhi kewajiban pembangunan smelter sesuai UU Minerba? Sujatmiko mengatakan, bagi perusahaan yang sudah membangun smelter tidak akan dirugikan.

"Perusahaan-perusahaan itu juga diizinkan mengekspor mineral mentah, dan memperoleh keuntungan besar dari hasil penjualan mineral yang telah dimurnikan," katanya.

Namun demikian ia menjelaskan, wacana memberikan kelonggaran ekspor bahan mentah masih dikaji. Misalnya bentuk pelonggaran ekspor apa yang akan diberikan, teknis pelaksanaannya, dan seberapa besar pelonggarannya.

"Intinya pemerintah ingin membuat ekspor mineral mentah dimungkinkan pembatasannya lebih fleksibel dibanding UU Minerba," ujarnya.

Keinginan membuka kembali ekspor mineral mentah ini, kata Sujatmiko didasari pertimbangan situasi pasar komoditas pertambangan saat ini. Jatuhnya harga semua komoditas pertambangan di pasar global membuat perusahaan-perusahaan tambang kesulitan keuangan sehingga tak memiliki cukup modal untuk menjalankan kewajiban pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) yang diamanatkan oleh UU Minerba. "Hilirisasi mineral tak bisa dipaksakan dalam kondisi saat ini," ujarnya.

Selain itu, kata Sujatmiko, industri pertambangan di dalam negeri harus diselamatkan. Bila industri pertambangan sampai berhenti beroperasi akibat pelarangan ekspor mineral mentah, angka pengangguran akan meningkat. Pemerintah pun butuh pemasukan dari sektor tambang. Maka pelarangan ekspor mineral mentah harus diperlonggar.

"Kita melihat kondisi pasar sekarang. Intinya semangat UU Minerba kan hilirisasi dan nilai tambah di dalam negeri. Ternyata konstelasi pasar mineral di luar negeri ada pergeseran, kita sebagai pemilik sumber daya mineral harus pintar menyiasati pasar global," kata Sujatmiko.

Berbeda dengan Sujatmiko, Gatot Aryono justru membantah Kementerian ESDM akan kembali membuka kembali keran ekspor mineral mentah (relaksasi) lewat revisi UU Minerba. "Kami tengah diskusi revisi UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba, banyak yang harus dievaluasi dan bahas lainnya, soal adanya isu relaksasi sudah banyak ramai dibicarakan, padahal diskusi soal masalah itu belum dilakukan," katanya.

Dia menuturkan, apapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kebijakan tersebut dipastikan telah diperhitungkan banyak aspek dan bukan hanya kebijakan yang tiba-tiba. Soal wacana membuka kembali ekspor mineral mentah (relaksasi) yang akan dimasukkan di dalam revisi UU Minerba, menurut Gatot masih belum ada kepastian.

Dia menegaskan, untuk relaksasi masih belum diputuskan apakah mineral mentah yang dibuka untuk diekspor akan mencakup tembaga, nikel, emas atau lainnya. "Jadi bisa dibuka atau tidak belum ada kepastian karena kita belum ada diskusi, namun saat ini semua sudah ramai dan sudah berpikir yang macam-macam," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: