JAKARTA, GRESNEWS.COM - Harga minyak dunia terus turun beberapa bulan belakangan. Pada Sabtu (22/8), harga minyak yang diperdagangkan di Amerika Serikat (AS) bahkan anjlok sampai menyentuh angka US$40 per barel. Harga terendah dalam enam tahun terakhir. Bandingkan dengan harga puncaknya pada 2008 yang mencapai lebih dari US$140 per barel.

Anjloknya harga minyak ini diakibatkan oleh berlebihnya pasokan minyak di pasar internasional dan kekhawatiran akan turunnya permintaan minyak ke depan akibat pelemahan ekonomi dunia. Parahnya, di tengah pasokan berlebih dan harga rendah itu, negara-negara pengekspor minyak yang tergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) enggan mengurangi produksinya. Keputusan itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal OPEC Abdullah El-Badri pada Kamis (31/7).

Mungkin banyak orang kaget dengan keadaan ini. Namun siapa sangka, hal itu merupakan bagian dari politik energi yang dijalankan OPEC untuk memenangkan persaingan atas shale oil and gas atau minyak dan gas serpih yang diproduksi Amerika Serikat.

MUASAL - Ahli Geologi Rovicky Dwi Putrohari menjelaskan, pada dasarnya pembentukan minyak dan gas bumi merupakan satu rangkaian proses. Keduanya dihasilkan oleh batuan induk atau source rock.

Batuan yang menjadi dapur penghasil minyak dan gas ini juga disebut batuan shale atau batuan serpih. Batuan ini mengandung banyak unsur materi organik, seperti karbon dan hidrogen. Batuan yang terkubur di kedalaman sekitar 2.000 meter di dalam perut bumi ini akan menghasilkan minyak dan gas melalui proses pemanasan atau pematangan alami.

"Minyak dan gas dihasilkan oleh sebuah proses pematangan atau pemasakan batuan serpih (shale)," katanya kepada gresnews.com, Jumat (21/8).

Di awal kematangannya, yaitu pada suhu sekitar 100 Celsius, batuan shale akan menghasilkan minyak. Selanjutnya, bila terjadi penumpukan dan batuan ini semakin dalam terkubur di perut bumi, serta berada pada suhu di atas 125 Celsius, maka batuan ini akan menghasilkan gas. Selanjutnya, sekitar 30-40 persen dari minyak dan gas yang dihasilkan batuan serpih ini akan bermigrasi, mengalir ke atas, merembes melalui celah-celah batuan serpih. Minyak dan gas akan mengalir dan terjebak ke batuan reservoir. Lapisan inilah yang menjadi kolam penampungan minyak dan gas, sebelum akhirnya disedot melalui penambangan konvensional yang selama ini terjadi.

Rovicky mengatakan, minyak dan gas (migas) yang jumlahnya lebih banyak, 60-70 persen masih berada di batuan serpih. Sumber daya migas inilah yang kemudian disebut sebagai shale oil dan shale gas, atau gas dan minyak serpih.

Lebih lanjut, Rovicky menjelaskan, karena itu dengan mudah dapat dipahami bahwa setiap lokasi atau cekungan yang mengandung minyak dan gas konvensional, di bawahnya pasti ada batuan serpih sebagai dapurnya. Tentu saja dengan simpanan minyak dan gas serpih yang lebih banyak. "Dapur-dapur yang berisi batuan serpih penghasil minyak dan gas serpih. Inilah dapur migas," katanya.

Penambangan migas non-konvesional disematkan pada pengambilan migas serpih ini. Sebab, migas langsung diambil dari dapurnya dengan cara yang tidak biasa, yaitu sistem perekahan hidrolik atau hidraulic fracturing.

PERBURUAN SHALE OIL - Kemunculan minyak dan gas serpih diawali oleh adanya isu kelangkaan minyak. Rovicky menjelaskan, pada sekitar awal abad 21 banyak perusahaan minyak memprediksi terjadi kelangkaan minyak dan energi mulai abad ini.

Mereka khawatir minyak bumi akan semakin sulit mereka dapatkan. Penyebabnya, minyak di batuan reservoir menipis dan saat mereka mengebor semakin dalam, mereka akan lebih banyak menemukan gas daripada minyak. Penyebabnya, bor mereka semakin mendekati batuan induk yang sudah mencapai kematangan, yang lebih banyak menghasilkan gas. Karena itu, mereka pun bersiap-siap untuk beralih ke gas.

"Sehingga persiapan memanfaatkan gas harus dimulai. Termasuk infrastrukturnya, pipa, bahkan industri genset gas berkembang," kata Rovicky.

Salah satu dampak dari kekhawatiran itu adalah naiknya harga minyak dunia secara berangsur. Paling tidak, kenaikan itu dimulai tahun 2004, antara tahun 2008 sampai 2010, harga minyak dunia tinggi, kisaran rata-ratanya ada di US$80-100 per barel. "Harga minyak tahun 2004 mulai merangkak naik, barangkali salah satunya akibat isu kelangkaan minyak itu. Puncaknya terjadi di tahun 2009. Harga minyak mencapai $140 per barel," katanya.

Rovikcy melanjutkan, saat harga minyak dunia mulai melambung itu, kabar bahagia justru menghinggapi Amerika Serikat (AS). Penelitian mereka selama 40 tahun terkait shale oil membuahkan hasil. Pada tahun 2008, United States of Geological Survey (USGS) atau Badan Survei Geologi AS menyatakan bahwa mereka menemukan cadangan migas dari batuan serpih sejumlah 3,65 miliar barel di wilayah Bakken, Negara Bagian North Dakken.

Saat itu AS langsung menggenjot pembangunan infrastruktur gas (akibat isu sebelumnya, yaitu peralihan tren dari minyak ke gas). Mereka membangun infrastruktur gas dengan melibatkan swasta. Terutama di pembangunan jaringan pipa gas. Teknologi perekahan atau fracking pada batuan serpih juga berkembang dengan pesat, apalagi harga minyak saat itu terus membumbung.

Sebelumnya, Rovicky mengatakan AS sudah melakukan riset dan eksplorasi terkait minyak dan gas serpih selama sekitar 40 tahun. Pada 20 tahun pertama mereka melakukan riset untuk subsurface, meneliti bagaimana perilaku batuan serpih dari sisi geologinya. Dan 20 tahun berikutnya, antara tahun 1970-1990 AS melakukan riset untuk melakukan perekahan batu serpih atau fracking yaitu dari sisi mekanikalnya.

Pada sekitar tahun 2000-2010, AS sudah mulai bisa berproduksi secara ekonomis dan 2010 ternyata booming langsung. Keberhasilan AS untuk menyedot minyak dan gas serpih pada akhirnya menyebabkan produksi migasnya meningkat.

PENGARUHI HARGA MINYAK - Kemunculan minyak dan gas serpih AS akhirnya mempengaruhi tatanan energi dunia. salah satunya, menurut Rovicky, karena produksi minyak serpih AS akhirnya membanjiri pasaran minyak dunia. Selanjutnya, negara-negara kaya minyak yang selama ini merajai pasokan minyak dunia pun khawatir, terutama Arab Saudi.

Bersama OPEC, Arab Saudi bertekad melawan serbuan migas serpih AS dengan meningkatkan produksi minyaknya. Mereka membanjiri pasokan minyak sehingga harga minyak dunia turun. Tujuannya  untuk menekan produksi minyak serpih AS, agar tidak berkembang dan membanjiri pasar minyak dunia.

Rovicky melanjutkan, langkah yang dilakukan Arab Saudi bersama OPEC memang menyebabkan produksi minyak shale tertekan. Lantaran ongkos produksi minyak shale yang cukup tinggi tidak diimbangi dengan harga jual minyak, yang rendah. Serangan ini berhasil menurunkan produksi minyak serpih AS.

Namun, serangan Arab Saudi ini rupanya tak hanya mengenai minyak serpih AS, tetapi juga penambangan minyak konvesional yang di beberapa tempat yang juga berbiaya cukup tinggi. Seperti penambangan minyak di Rusia dan penambangan minyak di laut. Ongkos produksi minyak serpih saat ini diperkirakan sekitar US$70 per barel.

Namun, pasokan minyak global yang berlebih membuat harga minyak dunia jeblok. Belakangan, Arab Saudi kena getahnya juga. Negara yang mengandalkan 80 persen pendapatan dari minyak ini mengalami defisit anggaran di tahun 2015.

Negara pengekpor minyak mentah terbesar di dunia itu turun pendapatan dari sektor migas. Sampai akhir tahun 2015, defisit anggarannya diprediksi mencapai 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Arab Saudi hanya "berhasil" memenuhi targetnya, yaitu menahan harga minyak dunia stabil di kisaran US$50 per barel. "Sesuai target asumsi anggaran Saudi," kata Rovicky.

Baru-baru ini, harga minyak semakin turun. Penyebabnya, Iran mendapatkan "lampu hijau" untuk menjual minyaknya ke pasar internasional. Hal itu menyusul tercapainya kesepakatan antara Iran dan enam negara adidaya terkait pembatasan program nuklirnya pada pertengahan Juli lalu. Hal ini tentu saja akan menambah pasokan minyak dunia.

"Langkah Iran ini menyebabkan minyak di pasaran terus berlebih dan dan harga turun hingga menyentuh US$ 40 per barel minggu lalu," ujarnya.

GAS JADI ANDALAN - Minyak dan gas serpih AS telah terbukti tangguh. Harga minyak anjlok dibuatnya. Meskipun saat ini produksinya menurun akibat pasokan berlebih minyak murah Arab Saudi dan OPEC, minyak dan gas serpih sejatinya masih kokoh. Kunci kekokohan migas serpih AS, terutama gasnya, adalah pada  lengkapnya instalasi infrastruktur. Seperti disebut di atas, akibat adanya tren peralihan isu minyak ke gas dan didorong oleh melambungnya harga minyak, AS akhirnya mempercepat pembangunan infrastruktur migas serpihnya.

"Yang utama adalah pemasangan dan instalasi infrastrukturnya. Termasuk, jalan, pipa dan fasilitas produksinya. Setelah semua infrastrukturnya terpasang, maka dengan biaya yang lebih murah pun shale oil masih tetap bisa diproduksikan," kata Rovicky.

Sebaliknya, yang perlu dilihat ke depan adalah seberapa kuat dan seberapa lama Arab Saudi dan OPEC mampu menekan migas serpih AS. Kesengajaan mereka untuk membanjiri pasokan minyak dunia tinggal menunggu waktu. Menurut Rovicky, keinginan OPEC untuk terus menjadi pengontrol harga minyak dunia, dengan strategi membanjiri pasokan ini merugikan mereka sendiri.

Strategi mereka ini menyebabkan harga minyak dunia terus merosot. "Arab Saudi saat ini akhirnya malah defisit anggaran dan sudah tidak mampu lagi meningkatkan produksi minyaknya," katanya.

HANTAM KOMODITAS LAIN - Selain membuat anjlok harga minyak dunia, hantaman migas serpih juga mengenai komoditas energi lainnya. Rovicky mengatakan, selain minyak, batubara juga kena imbas. Harganya juga anjlok. Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Adi Wibowo.

Dia membenarkan, minyak dan gas serpih AS mempengaruhi harga komoditi energi dunia, membuat anjlok harga minyak, gas dan batubara dunia. "Iya yang saya baca begitu.  Di laporan-laporan itu. Ya sehingga dia (AS) pakai gas kan, terus cadangan bahan bakar minyak (BBM)nya dilepas ke pasar. Sehingga suplai banyak, terus harga minyak turun," katanya kepada gresnews.com, Rabu (12/8).

Adi menambahkan, khususnya batubara, saat ini suplainya di tingkat global melebih kebutuhan. Apalagi diperparah dengan kebijakan China yang mengurangi impor batubara dari Indonesia. Selain itu juga ada faktor pelambatan ekonomi. "Situasi ekonomi global kan juga mengalami melambat," katanya.

Hal senada juga pernah disampaikan Agus Cahyono Adi, Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas, Direktorat Minyak dan Gas Kementerian ESDM. Dia mengatakan bahwa suksesnya produksi gas serpih AS sangat positif karena menambah pasokan energi dunia.

Dia mengatakan, produksi gas serpih AS dan Kanada sudah mulai masuk dan membanjiri pasar dunia. Di AS sendiri, produksi ini sudah cukup membuat harga energi di sana menjadi murah. Menurutnya, harga komoditas energi di dunia saling mempengaruhi: antara minyak, gas dan batubara.

Di dalam negerinya, produksi gas serpih AS banyak digunakan untuk pembangkit listrik, menggantikan batubara. Selanjutnya, penggunaan batubara AS berkurang. "Batubara AS akhirnya lari ke Eropa. Itulah terjadinya penurunan harga batubara," katanya.

Selain itu, gas serpih AS juga sudah mulai masuk ke pasar gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG), sehingga harganya menjadi lebih murah. Namun, Agus, optimis pada saatnya akan terjadi kesetimbangan harga energi yang baru. Akan ada penyesuaian karena harga itu dinamis.

"(Akan) ada ekuiblirium baru, nanti nggak akan murah lagi. Dikoreksi pasar. Harga itu punya rule of count. Harga itu kan efek dari supply and demand. Supply melimpah, demand terbatas maka harga turun. Nanti pada saatnya, saat sudah pakai gas semua, supply-nya terbatas, demand-nya bertambah harga akan menyesuaikan," kata Agus.

MENYUSUL GARAP SHALE OIL - Saat ini beberapa negara berusaha menyusul AS untuk dapat memanfaatkan cadangan minyak dan gas serpih mereka. Salah satunya adalah China. "China memang mampu memproduksikan secara teknis. Namun secara ekonomis masih terlalu mahal dibandingkan Amerika Serikat," kata Rovicky.

Indonesia sebenarnya juga punya potensi shale oil yang cukup besar. Data yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut potensi shale oil mencapai 574 miliar kaki kubik atau trilion cubic feet (TCF). Lebih besar jika dibandingkan dengan potensi gas metana batubara atau coalbed methane yang berjumlah 453,3 TCF dan gas alam yang berjumlah 334,5 TCF. Lokasi shale oil Indonesia tersebar di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Papua.

Rovicky mengatakan, saat ini di Indonesia juga tengah dilakukan riset teknis terkait shale oil. Migas yang dihasilkan, keekonomiannya masih jauh dari memuaskan. Apalagi dengan harga minyak yang saat ini sangat rendah, maka riset teknis ini otomatis tertunda. Indonesia menurutnya masih perlu waktu untuk mampu memproduksi migas serpih ini.

"Kalau Amerika dengan risetnya membutuhkan waktu hingga 40 tahun, apabila Indonesia meneruskannya saja untuk jenis batuan di Indonesia, mungkin masih 1 atau 2 dekade ke depan akan secara ekonomis mampu dilakukan di Indonesia," katanya. (Agus Hariyanto)

BACA JUGA: