JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kebijakan pemerintah yang mewajibkan pebisnis di dalam negeri  untuk menggunakan mata uang rupiah dalam setiap transaksi dikeluhkan para pengusaha batubara. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesaia (APBI) menyatakan keberatan atas peraturan  yang dibuat Bank Indonesia tersebut.

Direktur Eksekutif APBI, Supriatna Suhala mengatakan bahwa Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015 itu membuat susah perusahaan batubara Indonesia. Peraturan ini menurutnya juga berpotensi menimbulkan kerugian kurs dan membuat pekerjaan tambahan bagi mereka. "Lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya," ujar Supriatna kepada gresnews.com di Jakarta, Senin (29/6).

Peraturan yang diundangkan pada 31 Maret 2015 ini rencananya akan berlaku efektif pada Rabu, 1 Juli 2011 ini. Namun peraturan pemerintah yang bertujuan untuk memperkuat fundamental keuangan Indonesia itu buru-buru mendapat reaksi para pengusaha batu bara tersebut.

Merujuk pada data yang dikeluarkan Divisi Informasi Hukum, Departemen Hukum  Bank Indonesia di laman resminya, PBI Nomor 17/2015 dibuat dengan tujuan untuk mendukung tercapainya kestabilan nilai tukar rupiah. Aturan ini mewajibkan setiap transaksi yang dilakukan di wilayah Indonesia harus menggunakan rupiah. Mencakup transaksi yang dilakukan oleh perorangan maupun korporasi, baik transaksi secara tunai maupun non tunai.

Pengecualian atas pewajiban ini hanya berlaku untuk lima transaksi keuangan yakni,  transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri, transaksi perdagangan internasional, simpanan di bank dalam bentuk valuta asing. dan  transaksi pembiayaan internasional.

Selain itu, ada juga pengecualian untuk transaksi dalam valuta asing yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundangan. Yaitu, kegiatan usaha dalam valuta asing yang dilakukan oleh bank berdasarkan undang-undang yang mengatur mengenai perbankan dan perbankan syariah, transaksi surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah dalam valuta asing di pasar perdana dan pasar sekunder berdasarkan undang-undang yang mengatur mengenai surat utang negara dan surat berharga syariah negara,  transaksi lainnya dalam valuta asing yang dilakukan berdasarkan undang-undang.

Ketentuan dan syarat untuk beberapa pengecualian ini juga diatur dalam PBI ini. Ada beberapa tingkatan sanksi yang dapat diterapkan kepada pelanggar PBI Nomor 17/2015 ini. Mulai dari sanksi administratif, teguran, hingga pidana kurungan serta pidana denda.

ALASAN PENGUSAHA - Direktur Eksekutif APBI, Supriatna Suhala mengatakan bahwa pada prinsipnya mendukung usaha pemerintah untuk membuat nilai tukar rupiah stabil. Namun mereka merasa keberatan dengan kebijakan itu lantaran dinilai bisa berdampak negatif pada sektor industri dan perdagangan, terutama batubara. APBI meminta revisi atas PBI Nomor 17/2015 itu dengan menyebut beberapa alasan.  

Pertama, PBI Nomor 17/2015 tidak selaras dengan peraturan perundangan, terutama terkait penanaman modal dan keuangan. Faktanya, sebagian besar perusahaan penanaman modal asing yang berusaha di Indonesia (termasuk anggota APBI) memperolah surat keputusan dari Kementerian Keuangan untuk melakukan pembukuan dalam mata uang asing. PBI Nomor 17/2015 dikawatirkan akan membuat aliran modal dan investasi asing terganggu.

Kedua, Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, telah mengeluarkan keputusan yang mempersilahkan beberapa perusahaan tambang batubara untuk menggunakan mata uang asing.

Ketiga, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengatur acuan perhitungan dan pembayaran PNBP melalui penerapan harga batubara acuan dan harga patokan batubara dengan mata uang dolar Amerika Serikat (AS). Selain itu, harga batubara sebagai komoditas internasional, juga mengacu pada indeks-indeks internasional yang disandarkan pada mata uang asing, terutama dolar AS.

Keempat, beberapa anggota APBI adalah perusahaan kontraktor pemerintah dan menjalankan usaha berdasarkan Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Batubara (PKP2B). Perjanjian ini antara lain mengatur dan menjamin pelaksanaan usaha dalam mata uang asing.

Kelima, alat-alat berat yang digunakan dalam pertambangan, mayoritas masih impor, termasuk komponennya. Dibayar dengan menggunakan dolar Amerika Serikat (AS). Hal ini akan menimbulkan kesenjangan pencatatan antara transaksi pengadaan dan perolehan, sehingga perlu dilalukan hedging. Sedangkan hedging sendiri juga berpotensi membuat biaya membengkak, sekaligus menurukan PPh Badan.

Keenam, PBI Nomor  17/2015 ini tidak sejalan dengan ketentuan yang tercantum di pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) Nomor 10 Tahun 2015. Di PSAK ini, perusahaan dapat menggunakan mata uang selain rupiah sebagai mata uang pelaporan.

Supriatna mengatakan bahwa beberapa alasan tersebut menunjukkan bahwa PBI Nomor 17/2015 tidak selaras dengan aturan-aturan yang telah ada sebelumnya.

Misalnya, sebelumya banyak perusahaaan batubara sudah mendapatkan izin dari pemerintah untuk membuat pembukuan dalam mata uang asing, pemerintah membuat patokan harga batubara dengan mata uang asing. "Tidak ada keselarasan dan keharmonisan ini. Jadi dalam rumah tangga itu jika bapaknya katakan A, dan ibunya katakan A, maka jadi beres. Tapi kalau ibu dengan bapak itu berlainan, anak jadi bingung, tidak akan beres," kata Supriatna mengistilahkan.

Selain itu, perusahaan tambang batubara, juga lebih suka bertransaksi dalam mata uang dolar AS. "Karena kita pinjamnya di outsource bank, di dalam dolar. Utang-utang kita juga dalam dolar. Dan jual batubara pun, kan diharuskan pemerintah pakai standar dolar. Kenapa (dulu) pemerintah membikin patokan harga batubara dalam dolar, bikin saja dalam patokan rupiah. Jadi  nggak ada keselarasan," katanya.

APBI meminta agar Bank Indonesia mempertimbankan untuk melakukan revisi terhadap PBI Nomor 17/2015 ini. Selain itu, APBI juga berharap Bank Indonesia meminta masukan kepada para pelaku usaha sebelum membuat kebijakan, agar dapat diimplementasikan dengan baik di lapangan. "Kita ingin ada sosialisasi, dalam arti sebelum, rancangannya. Bukan kalau sudah jadi, itu bukan sosialisasi. Itu kan kita harus tunduk, namanya keputusan. Kita ingin diajak diskusi waktu penyusuan draft," kata Supriatna.

Supriatna mengatakan bahwa APBI akan mengirim surat terkait keberatann tersebut secara resmi ke Bank Indonesia. Selain itu mereka juga meminta bisa bertemu dengan pihak Bank Indonesia. "Kita kirim surat ke BI, minta direvisi (PBI). Kita kalau bisa minta ketemuan juga," ujar Supriatna.

TAK MERUGIKAN PENGUSAHA - Namun pengamat pertambangan, Komaidi Notonegoro menilai keluhan para pengusaha batubara itu berlebihan. Sebab menurutnya, kebijakan yang dibuat oleh Bank Indonesia terkait penggunaan rupiah ini masih dalam batas kewajaran.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute ini menilai,  aturan tersebut dampaknya tidak terlalu signifikan terhadap kegiatan tambang batubara. Mereka hanya diminta untuk melakukan transaksi dengan rupiah di dalam negeri. "Kecuali, kalau misalkan ekspor kemudian ditahan, atau devisa ekspornya harus mampir ke bank, itu mungkin agak keberatan, karena pembayarannya menggunakan dolar. Tapi kalau transaksinya di dalam negeri itu menjadi hal yang wajar," ujar Komaidi kepada gresnews.com, Selasa (30/6).

Komaidi juga menyebut penolakan pengusaha batubara ini muncul karena mereka tidak mau ribet. Karena harus menukar dolarnya dalam bentuk rupiah jika ingin bertransaksi di dalam negeri. "Mereka sebenarnya tinggal mengubah kebiasaan,  menukar mata uang asing ke rupiah," ujarnya.

Menurutnya, sangat wajar jika perusahaan di dalam negeri membayar karyawannya dengan rupiah dan membeli peralatan di dalam negeri dengan rupiah. Beda lagi dengan kegiatan ekspor impor yang memang banyak menggunakan mata uang asing. "Ini sebenarnya tidak ada yang istimewa. Saya kira pengusaha batubara terlalu membesar-besarkan, mereka kan pengennya lebih menguntungkan mereka, nggak ribet, nggak nuker-nuker" kata Komaidi.
Komaidi yakin, bahwa kebijakan ini tidak memberatkan pengusaha tambang batubara Indonesia. "Nggak ada hal yang memberatkan. Apakah dengan memakai rupiah dia akan mengalami kerugian? Saya kira nggak lah. Kalau saya bayar karyawan saya Rp 5 juta dalam kurs rupiah, kalau saya pakai bayar dengan dolar apakah menjadi 7 juta? Kan tidak," ujarnya.

Ia mengaku cenderung setuju dengan kebijakan Bank Indonesia kali ini. Sebab wajar jika Indonesia mewajibkan penggunaan rupiah untuk transaksi di dalam negeri. Hal itu akan membuat nilai kurs rupiah menguat. Itu merupakan keputusan negara Indonesia, terlepas apakah ada pihak yang nyaman atau tidak untuk melaksanakannya. "Kalau mereka dolarnya ditukarkan (ke rupiah) kan otomatis ada cadangan devisanya di kita. Nilai tukar rupiah kita akan lebih kuat" katanya. Kecuali, jika berkaitan dengan transaksi international trade yang mengharuskan transakdi dengan mata uang lain.

"Kalau rupiahnya stabil kan yang untung kita semua, termasuk pengusaha batubara juga. Yang lebih luas lah berpikirnya," pungkasnya.

BATUBARA LESU - Supriatna menjelaskan bahwa pasar batubara internasional saat ini tengah lesu. "Harganya terus turun. Saat ini harganya US$58 per metrik ton (MT)," katanya. Batubara memang tercatat terus turun harga sejak 2008. Harga batubara saat ini jauh berbeda dengan harga rata-rata di tahun 2008, yang mencapai rata-rata US$126 per MT.

Supriatna mengatakan bahwa di tahun 2014 lalu produksi batubara Indonesia sebesar 450 juta ton. Dari jumlah tersebut yang terserap pasar dalam negeri hanya 90 juta ton, selebihnya diekspor. "Kebutuhan kita kecil," katanya.

Tujuan utama ekspor batubara Indonesia di  tahun 2013, adalah Tiongkok. Yaitu 12 persen dari total ekspor. Menyusul Tiongkok, negara  tujuan lainnya India, Jepang, Korea, Hongkong, Taiwan, dan ke Eropa, seperti Spanyol dan Italia. Saat ini ekspor ke Tiongkok berkurang, dari 12 persen menjadi 7 persen. Penurunan ini merupakan imbas dari melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok. "Kalau di Indonesia, kehilangan 5 persen di Tiongkok itu langsung krisis (konsumen batubaranya)," ujar Supriatna.

Terkait dengan kebutuhan batubara untuk program listrik pemerintah, 35.000 MegaWatt (MW), Supriatna Suhala mengatakan pengusaha batubara siap memenuhinya. Menurut dari 35.000 MW itu, sekitar 70 persennya (atau sejumlah 25.000 MW) merupakan pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Dari angka itu, jumlah batubara yang dibutuhkan hanya sekitar  90 juta ton setahun. Sehingga ketersediaan batubara nasional masih berlebih. "Tetap saja, 90 juta ton ditambah 90 juta juga baru 180 juta di dalam negeri. Masih tetap berlebihan," katanya.

Selain persoalan harga, Supriatna juga mengeluhkan banyaknya komponen biaya di bisnis tambang batubara yang naik, termasuk pungutan-pungutan pemerintah. Antara lain, pungutan pinjam pakai hutan, pungutan tanam tumbuh hutan, angka royalti, sewa pelabuhan, pajak, pajak penghasilan, upah pekerja dan lainnya. "Semua naik, sedangkan pendapatan kita turun. Coba bayangkan. Apa nggak nangis kita,” katanya.  Menurut Supriatna, dengan keadaan ini, pengusaha batubara banyak yang mengalami kerugian. "Sudah setengahnya barangkali yang merugi,"  ungkapnya.  (Agus Hariyanto)

BACA JUGA: