JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Jumat (24/7) kemarin Pertamina resmi meluncurkan produk terbarunya, Pertalite. Bahan bakar berwarna hijau terang ini merupakan bahan bakar minyak yang mempunyai kadar Research Octane Number (RON) di tengah-tengah, antara Premium dan Pertamax. Jika Premium beroktan 88 dan Pertamax beroktan 92, BBM baru ini beroktan 90.

Bilangan RON berfungsi sebagai ukuran kekuatan tekanan BBM terhadap mesin. BBM beroktan tinggi akan membuat kinerja mesin menjadi lebih baik dan bisa meminimalisir residu pembakaran di mesin. Pertalite sendiri dibanderol Pertamina dengan harga promo Rp8.400 per liter.

Meskipun Pertalite mulai dijual, Pertamina menjamin tidak akan mengurangi jumlah bensin Premium di pasaran. Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro mengatakan, jumlah dan penjualan premium masih sama seperti sebelumnya.

"Pertalite ini bukan produk subtitusi Premium. Jadi Premium masih bisa dibeli secara normal dari Pertamima. Nggak ngaruh," katanya kepada gresnews.com, Minggu (26/7).

Pernyataan Wianda ini sedikit berbeda dengan niatan pemerintah yang disampaikan ke publik pada bulan April lalu. Saat itu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, Pemerintah sudah merestui Pertamina untuk meluncurkan Pertalite untuk menggantikan BBM jenis premium secara bertahap.

Premium dinilai tidak ramah lingkungan dan sering dicurigai karena spesifikasinya tidak ada di pasar internasional. Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang menambahkan, Pertalite adalah produk transisi sebelum menghapus Premium.

Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi mengatakan, Pertalite diluncurkan oleh Pertamina untuk memberikan pilihan produk kepada masyarakat. Kini pilihan masyarakat lebih banyak: Premium dengan RON 88, Pertalite dengan RON 90, Pertamax RON 92 dan Pertamax Plus RON 95.  

Agus menambahkan, saat ini teknologi kendaraan baru sudah dilengkapi mesin berinjeksi yang butuh bahan bakar beroktan tinggi. Sedangkan kemampuan kilang yang dimiliki Indonesia hanya mampu memproduksi bensin dengan RON 88. Bensin jenis Premium dibuat untuk memproteksi kilang-kilang Indonesia. "Kilang kita kemampuannya hanya seperti itu," katanya.

Untuk menjembatani hal itu, lanjut Agus, maka dibuatlah produk antara. Produk yang ada di antara Premium dan Pertamax, maka, muncullah Pertalite RON 90 sebagai produk transisi. Saat ini Pertamina tengah melakukan upaya pemutakhiran teknologi dan kemampuan kilang-kilang yang dimilikinya. Jika pemutakhiran kilang-kilang itu sudah selesai dilakukan maka Premium maupun Pertalite tidak akan dijual lagi.

"Kalau kilangnya sudah siap semua, nanti tidak ada lagi produksi RON 88. Nanti minimal RON 92.  Itu sesuai dengan rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) yang diketuai Pak Faisal Basri," ujar Agus kepada gresnews.com, Minggu (26/7).

Hal yang sama juga dikatakan oleh Wianda Pusponegoro. Dia mengatakan, TRTKM meminta Pertamina memperbanyak produksi Bensin RON 92, atau Pertamax. Rekomendasi itu saat ini sedang dilakukan oleh Pertamina dengan memutakhirkan kilang-kilang yang dimilikinya, melalui program Revinery Development Master Plan (RDMP).

Menurut Wianda, optimasi yang dilakukan oleh Pertamina atas kilang-kilangnya tidak bisa langsung selesai dalam satu atau dua tahun. Butuh waktu lebih lama, yaitu lima sampai tujuh tahun secara bertahap. Informasi mengenai hal itu sudah disampaikan Pertamina kepada berbagai pihak, termasuk DPR RI, TRTKM dan pemerintah.

Hal itu, menurutnya sudah menjadi kesepahaman bersama. "Jadi dalam lima atau tujuh tahun ke depan kapasitas kilang Pertamina untuk memproduksi RON 92 bertambah," katanya.

LIBERALISASI SEKTOR HILIR MIGAS - Jika dicermati, peluncuran Pertalite sepertinya berhubungan erat dengan salah satu rekomendasi dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) dan keputusan Pemerintahan Jokowi-JK menghapus subsidi Premium.

Cerita dimulai dari rekomendasi TRTKM. Tim yang diketuai oleh Faisal Basri ini dibentuk oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said pada November 2014 untuk bekerja selama enam bulan. Tujuannya untuk memberantas mafia migas yang disinyalir banyak mengeruk keuntungan dari bisnis migas di Indonesia.

Tugas tim ad hoc ini ada empat, yaitu: melakukan kajian terkait proses perizinan, memberikan rekomendasi terkait tata ulang kelembagaan, mempercepat revisi Undang-Undang Migas, dan merevisi seluruh proses bisnis.

Pada 21 Desember 2014 tim ini mengeluarkan enam rekomendasi yang pada intinya mendorong pemerintah untuk beralih dari Premium ke Pertamax. Enam poin rekomendasi TRTKM adalah. Pertama, menghentikan impor RON 88 dan Gasoil 0,35 persen sulfur dan menggantikannya masing-masing dengan impor RON 92 dan Gasoil 0,25 persen sulfur.

Kedua, produksi minyak Solar oleh kilang di dalam negeri ditingkatkan kualitasnya sehingga setara dengan gasoil 0,25 persen sulfur. Ketiga, mengalihkan produksi kilang domestik dari bensin RON 88 menjadi bensin RON 92.

Keempat, besaran subsidi bensin (RON 92) bersifat tetap, misalnya Rp500. Kelima, memperhatikan kebutuhan minyak Solar untuk transportasi publik dan angkutan barang untuk kepentingan umum, kebijakan subsidi untuk minyak Solar dapat tetap menggunakan pola penetapan harga. Keenam, pilihan kebijakan terkait dengan pengalihan produksi kilang domestik sehingga seluruhnya dapat memproduksi bensin RON 92.

Usulan TRTKM yang secara tidak langsung mendorong penghapusan Premium ini dinilai oleh peneliti dari Indonesia for Global Justice (IGJ) Salamudin Daeng hanya bertujuan untuk meliberalisasi sektor hilir migas di Indonesia. Salamuddin pernah mengungkapkan, ada sembilan indikasi penghapusan RON 88 ini berpotensi menimbulkan liberalisasi sektor migas. Diantaranya, pertama, penghapusan ini sama juga dengan penghapusan BBM jenis Premium.

Kedua, Pertamina hanya akan menjual Pertamax yang mengikuti harga pasar. Ketiga, menyetujui kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM dan melakukan pencabutan subsidi BBM. Keempat, berpotensi melemahkan daya saing Pertamina karena selama ini RON 88 adalah produk utama Pertamina yang mendominasi pasar Indonesia. Keenam, membiarkan perusahaan asing untuk berinvestasi di sektor migas dan mengalahkan Pertamina serta menguasai pasar minyak dalam negeri.

Dugaan Salamudin Daeng ini sepertinya memang tak salah. Tak berselang lama, Pemerintah ternyata benar-benar menghapus subsidi premium tepat pada 31 Desember 2014 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang  Penyediaan, Pendistribusian Dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM). Presiden Joko Widodo secara mencabut subsidi BBM jenis premium.  

Namun, kebijakan ini tak menimbulkan banyak gejolak di masyarakat karena diputuskan pada saat harga minyak dunia turun. Sambil mengumumkan BBM bersubsidi jenis premium tak disubsidi, Pemerintah juga penurunan harga Premium dari Rp8.500 menjadi Rp7.600 dan Solar dari Rp7.500 menjadi Rp7.250. Harga itu berlaku sejak 1 Januari 2015.

LANGGAR KONSTITUSI - Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menulis, kebijakan pemerintah menghapus subsidi BBM jenis Premium tersebut patut dipertanyakan. Apalagi kebijakannya, ketika itu, diambil saat harga minyak dunia sedang turun, sehingga perubahan harga dari BBM bersubsidi menjadi BBM nonsubsidi menjadi tidak terasa.

Bahkan mayoritas masyarakat menyambut baik kebijakan tersebut karena harga Premium turun. "Padahal, kebijakan penurunan harga tersebut telah disusupi dengan jebakan ´batman´ berupa penghapusan subsidi yang dampaknya sangat memberatkan masyarakat jika harga minyak kembali pada kisaran US$90-100 per barel," katanya ketika itu.

Keputusan penghapusan subsidi pada Premium ini dianggap banyak pihak sebagai pelanggaran terhadap konstitusi. Pencabutan subsidi itu akan membuat harga Premium mengikuti mekanisme pasar. Hal ini menabrak undang-undang yang berlaku di Indonesia.

Pasalnya, pada tahun 2003 Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan yang berisi penghapusan pasal 28 Ayat (2) dan (3) UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pasal 28 Ayat (2) berbunyi: "Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar".

Sedangkan Pasal (3) berbunyi: "Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu".

Selain itu keputusan ini juga dianggap bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 Ayat (2) berbunyi: "Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara".

Sedangkan Pasal 33 Ayat (3) berbunyi: "Bumi dan air dan kekayaan akam yang terkndun di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Salamudin Daeng mengatakan, Pemerintah tidak boleh mencabut subsidi premium dan melepaskannya mengikuti harga pasar. Pencabutan subsidi Premium mestinya tidak dilakukan oleh Pemerintah.

Subsidi Premium itu harus tetap ada, apapun alasannya. "Itu nggak boleh terjadi, melanggar konstitusi. Khususnya pasal 33 UUD 1945. Subsidi terhadap BBM masih merupakan kewajiban konstitusional, harus dijalankan oleh pemerintah," katanya saat dihubungi gresnews.com.

PEMERINTAH TAK BOLEH LEPAS TANGAN - Agus Cahyono Adi membantah pandangan yang menilai apa yang dilakukan pemerintah saat ini dengan penghapusan secara bertahap BBM bersubsidi jenis Presmium, melanggar undang-undang yang ada. Dia mengatakan, Pemerintah mematuhi keputusan MK Nomor 002/PPU-I/2003 atas judicial review UU Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Migas.

Agus menegaskan, Pemerintah menyikapi keputusan MK itu dengan membuat revisi Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Di revisi PP ini dijelaskan bahwa pemerintah bertugas menetapkan harga BBM.

Agus Cahyono Adi juga menolak pandangan yang menilai apa yang dilakukan pemerintah melanggar konstitusi. Menurutnya, pandangan itu kurang tepat. Pemerintah tidak lepas tangan terhadap harga BBM.

"Coba lihat di bahan kita waktu pembahasan awal-awal tahun kemarin. Ada beberapa slide yang menjelaskan, kepada DPR, kita menyampaikan bahwa pemerintah itu menetapkan dan mengatur. Ada dua (tugasnya), menetapkan dan mengatur. Jadi tidak lepas tangan," katanya.

Di akhir tahun 2014, Lanjut Agus, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Perpres ini membagi BBM menjadi tiga kategori. Pertama, Jenis BBM tertentu. Jenis ini mendapatkan subsidi. Yaitu Solar dan minyak tanah.

Kedua, Jenis BBM khusus penugasan. Yaitu bensin dengan RON 88 yaitu Premium. Harganya ditetapkan pemerintah dan tidak diberi subsidi, serta didistribusikan di wilayah penugasan. Ketiga, BBM Umum. Yaitu seluruh jenis bahan bakar di luar jenis BBM yang disubsidi dan maupun BBM Khusus Penugasan.

Untuk kategori nomor tiga ini badan usaha dipersilakan menjual dan menetapkan harga sesuai dengan ketentuan pemerintah. Yaitu dengan menambahkan harga dasar dan biaya distribusi.

Di Pasal 14 Perpres Nomor 191 tahun 2014 ini disebutkan bahwa dalam rangka penyediaan dan pendistribusian BBM, Menteri ESDM bertugas menetapkan harga dasar dan harga jual eceran BBM. Harga dasar tersusun dari biaya perolehan, biaya distribusi, dan biaya penyimpanan serta margin.

Biaya perolehan merupakan biaya penyediaan BBM dari produksi kilang dalam negeri dan impor sampai dengan terminal BBM dengan dasar perhitungan menggunakan harga indeks pasar. Sedangkan harga jual eceran BBM adalah harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Di hari yang sama, terbit juga Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual BBM sebagai penjabaran Perpres Nomor 191 tahun 2014.

Wianda Pusponegoro menambahkan, Pertamina menjual bensin Premium tanpa subsidi dengan dasar yang jelas. Acuannya yaitu Perpres Nomor 191 Tahun 2014.  Menurutnya, di Perpres itu Premium disebut sebagai BBM kategori penugasan khusus.

"Jadi sampai saat ini kami juga mengacu pada harga yang formulanya sudah ditetapkan oleh kementerian ESDM untuk premium," katanya.

BELUM MURNI MEKANISME PASAR - Pengamat energi Komaidi Notonegoro menilai, sampai saat ini Pemerintah belum melepaskan harga BBM, terutama Premium ke mekanisme pasar. Indikasinya jelas, pemerintah masih melakukan intervensi berupa penetapan harga BBM melalui Peraturan Menteri (permen).

"Itu mengindikasikan kalau (harga BBM) tidak diserahkan ke mekanisme pasar. Kalau referensinya menggunakan harga salah satu harga pasar mungkin iya. Tapi saya kira memang belum dilepaskan ke mekanisme pasar," katanya kepada gresnews.com, Minggu (26/7).

Komaidi menilai, pemerintah juga tidak menghapus subsidi BBM. Dia melihatnya subdidi tetap diberikan namun terbatas. Buktinya, minyak Solar masih disubsidi. Premium tidak diberi subsidi karena harga keekonomiannya saat ini sedang rendah. Komaidi yakin, pada saatnya nanti, jika harga keekonomian Premium melonjak tinggi, Pemerintah pasti juga tidak akan tinggal diam.  

"Nanti kalau harga pasar tinggi, misalkan per liter harganya Rp15 ribu, saya yakin pemerintah tidak akan melepaskannya ke harga Rp15 ribu. Tetap akan diberikan subsidi. Saya kira situasional. Kalau pas harganya rendah, masih dalam jangkauan masyarakat mungkin memang tidak perlu disubsidi. Subsidinya dialokasikan ke yang lain. Sebenarnya tidak dihilangkan, tapi digeser ke subsidi yang lain, kalau mencermati mata anggaran di APBN kayak gitu," katanya.

Komaidi juga tidak setuju pada pendapat yang menilai keputusan pemerintah ini menyalahi konstitusi. Sebab pemerintah masih melakukan intervensi dengan melakukan penetapan harga, yaitu melalui Perpres dan Permen. Terlepas harga yang ditetapkan pemerintah itu sama dengan harga pasar, itu soal lain.

Menurutnya, yang perlu dilihat adalah adanya intervensi pemerintah. "Saya kira di situ wujud dari intervensi pemerintah. Terlepas dari katakanlah harga yang ditetapkan pemerintah itu sama dengan harga pasar. Itu tidak bisa dikatakan 100 persen mengacu ke mekanisme pasar. Kalau mengacu 100 persen ke mekanisme pasar maka di situ tidak ada Permen," katanya.

Mengenai Pertalite, Komaidi mengatakan bahwa nasib BBM jenis baru ini ada di tangan konsumen. Pertalite bisa bernasib seperti Premix pernah yang diluncurkan sebelumnya dan tidak laku. Namun, Pertalite juga bisa jadi akan menggerus dan menggantikan posisi Premium.

"Kalau ini kan seperti Premix dulu itu. Kalau masyarakatnya nggak beli, nggak mau, mereka akan kembali lagi ke Premium. Tapi kalau masyarakat memilih Pertalite, maka Premium secara bertahap akan dihilangkan. Bisa juga Pertalite secara perlahan menggantikan Premium. Nanti kita lihat masyarakat lebih suka yang mana," pungkasnya. (Gresnews.com/Agus Hariyanto)

BACA JUGA: