Mungkin kita masih ingat, terdapat beberapa kasus praperadilan terhadap tindakan penangkapan dan penyegelan Direktorat Jenderal Bea Cukai. Salah satu yang cukup dikenal adalah putusan praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Kota Semarang, Jawa Tengah, yang mengabulkan gugatan praperadilan Sulaiman (28), yang ditangkap Direktorat Jenderal Bea Cukai terkait kepemilikan ratusan ribu rokok tanpa cukai di Demak.
Lalu bagaimana aturan praperadilan terhadap penyegelan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai?
Sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, terkait tafsir bukti permulaan yang cukup dan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan maka bertambah kewenangan pengadilan negeri untuk dapat memeriksa dan memutus Praperadilan.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pengertian Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
- Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
- Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Kemudian sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksana Tugas Bagi Pengadilan, menghasilkan rumusan hukum kamar pidana bahwa praperadilan terhadap penyegelan yang dilakukan pejabat bea dan cukai dalam melaksanakan tugas administrasinya bukan merupakan objek praperadilan.
Jadi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 yang ditandatangani ketua Mahkamah Agung tanggal 27 November 2019 menegaskan bahwa tindakan penyegelan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai bukanlah objek praperadilan.
(NHT)
BACA JUGA: