-
DPR Menentang Program Hutan Lindung untuk Hutan Desa
Jum'at, 15/09/2017 10:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono menegaskan, DPR menentang program pemerintah yang membolehkan membuka hutan lindung untuk hutan desa. "Kawasan hutan lindung harus steril dari perambahan atau pembukaan lahan baru bagi aktivitas manusia," kata Bambang, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Jumat (15/9).
Dia menegaskan, program membuka hutan desa di dalam kawasan hutan lindung dinilai mengancam kelestarian ekosistem hutan. Kekayaan flora dan fauna hutan tak boleh diganggu. Apalagi, kata Bambang, hutan juga bisa jadi sumber bahan baku pembuatan obat-obatan.
"Kami sangat keberatan, karena jumlah hutan lindung kita sangat sedikit. Harusnya steril dari penggunaan apapun untuk manusia," tegasnya.
Menurut dia, hutan juga sangat bermanfaat untuk kepentingan pariwisata kalau ekosistemnya bisa dipertahankan. "Justru akan mengkhawatirkan bila hutan desa berdiri di tengah hutan lindung, akan ada ancaman kebakaran hutan, termasuk tak terjaganya lingkungan asri hutan," papar Bambang.
Selain itu, ia juga mengkritik aksi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menenggelamkan kapal asing dengan pemboman. Apalagi, selama ini KKP kerap menenggelamkannya dekat dengan garis pantai. Ini merusak ekosistem laut dan menlanggar aturan International.
Penenggelaman kapal, lanjut Bambang, bisa dilakukan pada jarak 16 mil laut. Untuk itu, ia meminta agar Menteri KLH Siti Nurbaya memberi masukan kepada Menteri KKP agar tak lagi melakukan aksi penenggelaman kapal dengan bom di dekat pesisir pantai.
"Penenggelaman boleh seperti dilakukan Australia di laut dalam. Itu pun tidak diledakkan. Pengeboman bisa mengotori laut, menimbulkan polusi, dan merusak ekosistem," tambah dia. (mag)
Anggota DPR Desak Pemerintah Kaji Limbah Tambang Freeport
Kamis, 14/09/2017 13:09 WIBDPR Sahkan RUU Konvensi Minamata
Kamis, 14/09/2017 10:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Rapat Paripurna DPR yang berlangsung Rabu (13/9) mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Minimata Convention on Mercury atau Konvensi Minimata mengenai Merkuri. Pengesahan UU Konvensi Minamata ini diharapkan dapat menjaga kesehatan dan melindungi segenap generasi bangsa Indonesia pada masa mendatang.
Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu dalam laporannya menjelaskan, merkuri atau yang biasa disebut raksa adalah unsur kimia salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Merkuri dikenal sebagai suatu bahan yang menyebabkan dampak negatif yang signifikan terhadap syaraf dan dampak kesehatan lainnya. Terutama sangat membahayakan bagi janin dan balita.
"Emisi dan lepasan merkuri ke lingkunagn hidup akan masuk ke dalam rantai makanan, dan akan terakumulasi dalam tubuh manusia. Bila kondisi tersebut berlangsung secara terus menerus, maka dapat menyebabkan terancamnya derajat kesehatan dan kualitas SDM saat ini maupun di masa yang akan datang," kata Gus Irawan, seperti dikutip dpr.go.id.
Politisi F-Gerindra itu menambahkan, penggunaan merkuri di Indonesia terjadi pada kegiatan pertambangan, industri dan kesehatan. Di bidang pertambangan, khususnya pada pertambangan emas skala kecil, untuk kegiatan pemurnian emas. Pada laporan Global Mercury Assesment yang dikeluarkan United Nation Enviromental Program (UNEP) pada 2013, pertambangan emas skala kecil oleh masyarakat merupakan sumber emisi terbesar dari penggunaan merkuri yang disengaja.
"Selain itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan terdapat pertambangan emas skala kecil dilakukan oleh rakyat di 32 provinsi dan di 197 kabupaten atau kota di seluruh Indonesia," jelas Gus Irawan.
Dalam rangka mengendalikan merkuri secara internasional pada tahun 2009, UNEP menyelenggarakan Governing Councils yang menghasilkan resolusi tentang pembentukan Intergovermental Negotiating Committee (INC) on Legally Mining Instrument on Mercury, yang bertujuan membentuk aturan internasional tentang pengaruh merkuri secara global.
Dalam proses penyusunannya, Indonesia juga turut berperan aktif, mulai dari INC pertama di Stockholm pada 2010 hingga INC kelima pada tahun 2013 di Jenewa yang menyetujui substansi konvensi dan menyepakati nama konvensi Minimata Convention on Mercury atau Konvensi Minimata mengenai Merkuri.
"Konvensi Minimata mengatur mengenai pengadaan dan perdagangan merkuri dan senyawa merkuri, termasuk pertambangan merkuri, dan pengunaannya sebagai bahan tambahan dalam produk dan produksi, serta penggunaan dalam tambang emas skala kecil," tambah Gus Irawan.
Konvensi Minimata sendiri telah ditandatangani oleh 92 negara di Jepang pada 10 Oktober 2013. Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut menandatangani, namun sampai saat ini belum meratifikasi konvensi tersebut.
"Melalui pengesahan Konvensi Minimata, Indonesia akan memperoleh manfaat, diantaranya memberikan dasar bagi negara untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan untuk menjamin lingkungan hidup yang sehat. Dan menjaga kesehatan serta melindungi generasi mendatang dari dampak negatif merkuri," tambah Gus Irawan.
Gus Irawan berharap dengan adanya konvensi ini juga dapat memperkuat pengendalian pengadaan, distribusi dan perdagangan merkuri dan senyawa merkuri. Serta meningkatkan kerjasama global untuk pertukarana informasi dalam penelitian dan pengembangan, terutama pengganti merkuri, khususnya dalam tambang emas skala kecil.
"Dalam pembahasan di Komisi VII, sembilan fraksi menyetujui RUU tentang Pengesahan Konvensi Minimata mengeni Merkuri. Sementara F-PKS menyampaikan persetujuannya secara tertulis. Komisi VII bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyetujui RUU ini untuk disahkan menjadi UU," imbuh politisi asal dapil Sumatera Utara itu. (mag)Populasi Badak Jawa Kritis
Sabtu, 13/05/2017 16:00 WIBSatu-satunya populasi badak Jawa di dunia (Rhinoceros sondaicus) saat ini berada dalam kondisi kritis, selain perburuan liar, bayangan kepunahan karena bencana alam semakin nyata, seperti letusan gunung berapi dan tsunami.
Delapan Perusahaan Raksasa Terlibat Skandal Lingkungan
Kamis, 27/04/2017 13:00 WIBLaporan yang dirilis pada Rabu (26/4) itu mengungkap sebuah katalog tentang deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia melalui kegiatan yang dilakukan oleh delapan perusahaan besar kelapa sawit, bubur kayu dan kertas, karet dan penebangan kayu di Asia Tenggara.
Perjuangan Warga Kendeng Menolak Pabrik Semen
Senin, 20/03/2017 21:00 WIBJoko juga menyebut bahwa pihaknya menolak pembangunan pabrik semen di sejumlah daerah. Bukan hanya di wilayah Kendeng saja.
Uji Materil Perda Tata Ruang Kaltim
Rabu, 01/03/2017 19:00 WIBSelain itu juga Merah mengatakan RTRW tersebut hanya menguntungkan pihak pemilik tambang dengan membuat infrastruktur yang melayani pemilik pertambangan.
TURAP CILIWUNG MENGANCAM CONDET
Minggu, 11/09/2016 15:00 WIBKodir kecewa akibat pembangunan turap (sheet pile), serta betonisasi kanan kiri bantaran sungai di kawasan Condet, membuat usahanya selama bertahun-tahun untuk menghijaukan kembali kawasan ini menjadi sia-sia.
PENYELAMAT SATWA MINUS PERHATIAN NEGARA
Sabtu, 13/08/2016 19:00 WIBDoni memang menyesalkan lemahnya peraturan atau undang-undang mengenai penelantaran dan penyiksaan hewan di Indonesia.
SIMALAKAMA RUMAH PENJAGALAN ULAR
Sabtu, 23/07/2016 15:00 WIBSemua ini menjadi buah simalakama bagi warga, karena jika rumah penjagalan ular serta industri yang membutuhkan bahan baku kulit ular terus berjalan tanpa adanya pengawasan, tentu akan berakibat pada rusaknya ekosistem dan keseimbangan alam.
BPLH Bandung Siap Bina Industri Rapor Merah Soal Limbah
Kamis, 23/06/2016 18:31 WIBHakim Periksa 3 Pabrik Pembuang Limbah di Bandung
Kamis, 17/03/2016 14:42 WIBJejak Lam Chong San dan Kematian Salim Kancil
Kamis, 24/12/2015 21:00 WIBChong San sendiri merupakan warga negara Tiongkok yang bermukim di Hongkong. Lam Chong San datang ke Jember dan mendirikan PT IMMS pada 2008.
Ribuan Ikan Mati Walhi Survei Limbah Rumah Sakit
Selasa, 08/12/2015 20:15 WIBTebang Pilih Hadapi Korporasi Pembakar Lahan
Senin, 26/10/2015 09:00 WIBSejumlah perusahaan raksasa yang setiap tahun disoroti oleh Walhi tidak pernah di kutak-katik oleh pemerintah dan kepolisian. Seperti, Sinar Mas, Wilmar, dan sejumlah perusahaan raksasa yang menampung hasil produksi dari perusahaan-perusahaan pembakar sawit justru luput dari sasaran.