JAKARTA - Keringanan hukuman terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara mendapat kritik dari masyarakat. Terlebih sikap Kejaksaan Agung yang tak mau mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) memantik curiga ada apa di balik itu semua.

Dalam putusan banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun penjara terhadap Pinangki. Sementara, di pengadilan tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat memberikan vonis 10 tahun penjara, lebih berat dari tuntutan jaksa yang hanya 4 tahun penjara.

Pinangki terbukti bersalah melakukan tiga tindak pidana dalam kasus korupsi pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA). Pengurusan fatwa itu merupakan upaya agar terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Joko Tjandra, dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani hukuman dua tahun.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Soiman mengatakan Kejaksaan Agung sudah memastikan tidak mengajukan kasasi atas putusan banding Pinangki. "Dalam posisi ini MAKI menyatakan kecewa dan prihatin atas tindakan dari Kejaksaan Agung yang tidak mengajukan kasasi tersebut," kata Boyamin kepada Gresnews.com, Kamis (8/7/2021).

Boy menduga Kejagung tidak mengajukan kasasi ke MA karena beberapa alasan. Pertama, untuk menutupi peran King Maker. Di mana dulu Boyamin pernah ungkapkan ketika di KPK, ada peran King Maker dan juga oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menyatakan adanya peran King Maker.



Ketika Kejagung tidak mengajukan kasasi ini menampakkan upaya untuk tidak membongkar peran King Maker itu. Kalau memang tidak ada terkait hal itu, seharusnya Kejagung mengajukan kasasi supaya terbongkar King Maker.

"Dengan tidak mengajukan kasasi ini patut diduga Kejagung sengaja ingin menutup peran King Maker supaya tidak terbuka dan melebar kemana-mana," jelasnya.

Kedua, ini sebagai sesuatu yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, karena masyarakat semua menginginkan Kejagung untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Ini sudah terbukti ada petisi, ada suara masyarakat lewat internet dan lain sebagainya menginginkan Kejaksaan Agung kasasi.

Ketiga, hal ini juga mencederai keadilan hukum dalam pengertian Pinangki itu didakwa bersama Joko Tjandra dan Andi Irfan Jaya. Di mana Joko Tjandra sudah divonis 4,5 tahun penjara, dan Andi Irfan Jaya 6 tahun penjara.

Sementara kalau Pinangki hanya mendapat 4 tahun, justru dia menjadi vonis yang sangat rendah dari dua orang lainnya.

"Dan ini ada disparitas keadilan, karena dalam sistem hukum kita, orang yang menerima suap itu hukumannya lebih tinggi daripada orang yang memberi suap," urainya.

Boyamin membandingkan dalam kasus Jaksa Urip Tri Gunawan divonis 20 tahun sementara Artalita Suryani yang diduga memberi suap itu divonis 5 tahun penjara, bahkan kemudian mendapat keringanan 1 tahun.

"Ini yang menjadi suatu turbulensi hukum karena antara yang menyuap dan disuap malah justru yang lebih berat yang memberi suap," tuturnya.

Selain itu, Boy membandingkan perkara Joko Tjandra dalam kasus Bank Bali, di mana yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) adalah jaksa. Padahal jelas di Pasal 263 ayat(1) disebutkan yang berhak mengajukan PK adalah terpidana, ahli warisnya atau penasehat hukumnya. Dan PK yang diajukan jaksa dikabulkan MA sehingga istri Joko Tjandra mengajukan judicial review ke MK dan akhirnya MK putuskan jaksa tidak boleh PK.

Jadi jaksa tetap bisa mengajukan kasasi berdasar Pasal 253 KUHAP. "Intinya kejaksaan dulu buat terobosan ajukan PK terhadap perkara Joker padahal jaksa nggak bisa PK, tetapi kenapa sekarang nggak buat terobosan ajukan kasasi walau Pasal 253 tidak ada alasan kasasi," jelasnya.

Atas hal tersebut, Boy telah melakukan upaya persuasif dengan mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang inti dari surat itu meminta presiden untuk memerintahkan Jaksa Agung mengajukan kasasi.

Namun sampai hari ini belum ada tanggapan. Tapi ketika kejagung tidak ajukan kasasi berarti presiden belum melakukan arahan atau perintah kepada kejaksaan agung.

Dia berharap, presiden mau melakukan proses-proses hukum yang bukan intervensi karena kejaksaan agung itu setara kementerian dan di bawah presiden. Oleh karena itu harapannya presiden dapat memberikan keadilan kepada masyarakat.

Ia juga berharap, presiden dapat mengevaluasi jabatan Jaksa Agung dan MAKI juga akan melakukan tindakan hukum yaitu mengajukan praperadilan kepada KPK untuk mengejar dan membongkar peran King Maker dan lainnya.

"Kita tunggu sampai tanggal 20 (juli 2021) mengajukan gugatannya," tukasnya.

Alasan Tak Ajukan Kasasi

Sementara itu, penasihat hukum Pinangki Sirna Malasari, Aldres Napitupulu, menghormati putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

"Ya, kami tetap hormatilah putusan itu. Kami hormati dan apresiasi keputusan itu," kata Aldres kepada Gresnews.com, Kamis (8/7/2021).

Aldres juga menanggapi soal desakan publik agar JPU mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan PT DKI tersebut. Karena publik menilai ada rasa ketidakadilan atas putusan itu.

Menurutnya, jaksa tidak memiliki dasar hukum untuk mengajukan kasasi. "Kalau jaksa harusnya kasasi, dia mau kasih alasan apa. Tidak ada alasan jaksa untuk ajukan kasasi semua tuntutannya sudah dipenuhi," jelasnya.

Pasalnya, kata Aldres, proses persidangan yang berlangsung dalam memutuskan perkara banding Pinangki sudah sesuai dengan tuntutan jaksa.

"Keputusan PT DKI itu persis mengikuti seluruh tuntutannya jaksa. Jadi kalau dibilang jaksa harusnya kasasi, saya juga jadi bingung, apa yang mau dikasasi sama jaksa," tuturnya.

Majelis hakim PT DKI tingkat banding sebelumnya telah mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut dalam menjatuhkan vonis pada Pinangki tersebut.

Pertama, Pinangki telah mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa. Dan diharapkan Pinangki akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik.

Kedua, Pinangki memiliki balita berumur 4 tahun. Sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.

Ketiga, Pinangki sebagai perempuan harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.

Keempat, perbuatan Pinangki tidak lepas dari peran pihak lain yang juga patut bertanggung jawab. Sehingga, pengurangan kesalahannya cukup berpengaruh dalam putusan ini.

Kelima, tuntutan jaksa selaku pemegang asas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat.

Sementara itu, Kejaksaan Agung RI, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyikapi alasan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang tidak ajukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi DKI Tingkat Banding terhadap terdakwa Jaksa Pinangki Sirna Malasari.

"Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat bersama ini menyampaikan alasan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk tidak mengajukan permohonan kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dimaksud," demikian Kejari Jakarta Pusat melalui keterangan pers yang diterima oleh Gresnews.com, Kamis (8/7/2021).

Menurut Kejari Jakpus, JPU tidak mempunyai dasar untuk mengajukan kasasi atas putusan PT DKI tersebut.

"Setelah mempelajari Putusan, JPU tidak menemukan alasan untuk mengajukan permohonan kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 253 Ayat (1) KUHAP," jelasnya.

Dalam pasal 253 ayat 1 diterangkan yang secara limitatif ditentukan sebagai berikut:

a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya.

b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang.

c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Kejari Jakpus pun beralasan bahwa dalam putusan PT DKI tidak ditemukan penyimpangan peraturan dalam menetapkan putusan perkara itu.

"Di dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, ketentuan/peraturan hukum yang menjadi dasar pertimbangan telah diterapkan secara benar dan tidak ada satu pun ketentuan/peraturan telah diterapkan tidak sebagaimana mestinya," terangnya.

Selain itu, Kejari Jakpus juga menanggapi isu yang berkembang dipublik yang mendesak JPU untuk mengajukan kasasi, karena putusan PT DKI dianggap tidak memenuhi rasa keadilan.

"Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga telah memeriksa dan mengadili perkara dimaksud secara benar dan tidak melampaui batas wewenangnya. Untuk itu, desakan agar JPU mengajukan permohonan upaya hukum kasasi sama artinya dengan meminta JPU untuk melakukan tindakan yang tidak memiliki dasar hukum, di mana hal ini tentu saja tidak bisa dibenarkan," pungkasnya. (G-2)








BACA JUGA:
.