JAKARTA - Pertambahan kasus Covid-19 di Indonesia pada hari pertama penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat masih menunjukkan peningkatan. Rekor kasus harian tercipta setiap hari hingga menimbulkan kekhawatiran runtuhnya sistem kesehatan.

Hal yang juga mengkhawatirkan adalah nasib para Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan Tahanan di Rutan dan Lapas di Indonesia.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, Sabtu (3/7/2021), hingga pukul 12.00 WIB, terdapat 27.913 kasus baru. Total kasus di Indonesia secara keseluruhan adalah 2,256 juta, rekor tertinggi sepanjang pandemi.

Dalam pemberlakuan PPKM yang diumumkan tersebut, terdapat sejumlah kegiatan yang dibatasi untuk dilakukan dan juga terdapat target mengenai pencapaian vaksinasi sebesar 70% dari total populasi pada kota/kabupaten prioritas paling lambat Agustus 2021.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah mengambil langkah terkait upaya penanganan penyebaran Covid-19 di Lapas dengan memperpanjang kebijakan pemberian hak asimilasi di rumah bagi narapidana dan anak.



Keputusan itu berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 24 Tahun 2021. Aturan ini sebagai perubahan dari Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), dan Cuti Bersyarat (CB) bagi narapidana dan anak, dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

"Perubahan aturan ini harus segera dilakukan sebagai penanganan lanjutan dalam upaya mencegah semaksimal mungkin potensi penyebaran Covid-19 di lapas, rutan, dan LPKA. Evaluasi terus kami lakukan sejak awal pandemi berlangsung di 2020, sehingga dilakukanlah perubahan-perubahan ini," ujar Direktur Jenderal Pemasyarakatan Reynhard Silitonga dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Sabtu (1/7/2021).

Adapun perubahan yang dilakukan pada Pasal 11 ayat (3) huruf d terkait narapidana penerima Asimilasi dan Pasal 45 terkait perluasan jangkauan penerima Asimilasi, PB, CMB, dan CB bagi narapidana anak. Kalau semula 2/3 masa pidana dan setengah masa pidana anak berlaku sampai 30 Juni 2021, kini diperpanjang menjadi 31 Desember 2021.

Reynhard menyebutkan, perpanjangan itu sifatnya mendesak, lantaran ancaman potensi penularan Covid-19 masih berlangsung. Apalagi, menurut dia, penyebarannya sangat tinggi ke dalam lembaga pemasyarakatan (lapas), rumah tahanan negara (rutan), dan Lembaga Khusus Anak (LPKA).

"Perubahan Permenkumham tersebut tidak hanya berkaitan dengan perpanjangan asimilasi di rumah, namun juga terkait dengan perubahan rujukan regulasi terbaru dan perluasan jangkauan penerima hak integrasi dan asimilasi di rumah," katanya .

Ia juga mempertimbangkan, nantinya makin banyak yang melaksanakan hak asimilasi dan integrasinya di rumah. Karena itu, diperlukan pengawasan dari pembimbing masyarakat di Balai Pemasyarakatan.

"Kami juga berharap masyarakat mau berperan serta mengawasi dan mendukung pelaksanaan asimilasi di rumah. Dan kami akan terus melakukan upaya pencegahan, penanggulangan dan penanganan penanganan penyebaran Covid-19 di dalam dengan lebih optimal," ujarnya.

Sebagaimana diketahui, pada awal masa pandemi Covid-19, Kemenkumham telah mengeluarkan Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak. Aturan itu dikeluarkan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.

Langkah Kemenkum HAM Tak Cukup

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati memberikan catatan mendasar pada perlakuan terhadap WBP dan Tahanan di Rutan dan Lapas di Indonesia, terkait dengan penyebaran Covid-19 dan program vaksinasi.

Menurutnya, hingga saat ini tidak ada data pasti yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai penyebaran Covid-19 di Rutan dan Lapas secara update dan real time. Klaster Covid-19 pun terus bermunculan di dalam lapas.

Terakhir, pada 1 Juli 2021, 65 warga binaan di Lapas Kelas II A Kuningan terkonfirmasi positif Covid-19. Satu-satunya data terbuka soal ini tersedia dari paparan Menteri Hukum dan HAM itu pun pada Februari 2021 yang melaporkan terdapat 4.343 WBP, termasuk anak-anak yang telah terinfeksi Covid-19.

Selain itu juga terdapat 1.872 Petugas Pemasyarakatan yang terjangkit.

Data ini tidak dapat dipantau secara berkala oleh masyarakat, intervensi penanganan Covid-19 di Lapas minim dari pengawasan publik, karena sumber informasi hanya berasal dari pihak Lapas dan Kementerian Hukum dan HAM tanpa komitmen penyampaian ke publik secara berkala.

"Kondisi ini juga diperburuk dengan adanya overcrowding rutan dan lapas yang terus merangkak naik," katanya kepada Gresnews.com, Sabtu (3/7/2021).

Masalah Overcrowding

Ia menjelaskan pemerintah sempat berhasil menekan kelebihan kapasitas rutan dan lapas pada Maret-Mei 2020, dari angka overcrowding 99% menjadi 69%. Namun nyatanya sekarang overcrowding lapas dan rutan terus merangkak naik, bahkan lebih buruk dari sebelum kondisi pandemi.

Pada Februari 2020 overcrowding di angka 98%, sedangkan sekarang, pada Juni 2021 angka overcrowding mencapai 100%, dengan jumlah penghuni mencapai 272.000 orang sedangkan kapasitas hanya 135.000 orang. Tidak hanya dalam rutan dan lapas di bawah pengawasan Menteri Hukum dan HAM, kelebihan penghuni tentu saja juga pasti terjadi di tempat penahanan lainnya seperti kantor kepolisian.

Ia melanjutkan, meskipun tidak ada data pasti seperti informasi di rutan dan lapas di bawah pengawasan Kemenkumham.

Hal lain yang penting disorot, hingga kini WBP dan Tahanan tidak pernah menjadi prioritas vaksinasi. Tidak ada program khusus pemerintah yang menjamin vaksin harus segera diberikan kepada seluruh WBP dan Tahanan, padahal mereka tidak dapat melakukan physical distancing.
Dalam skema vaksinasi WHO, harusnya WBP dan Tahanan masuk ke kelompok prioritas kedua setelah tenaga kesehatan. Hal ini menimbulkan tanda tanya terkait komitmen Pemerintah dalam memperhatikan kesehatan WBP dan Tahanan. 

Memang telah dilakukan upaya untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Rutan dan Lapas dengan kebijakan asimilasi di rumah dan Integrasi WBP yang tertuang dalam Permenkumham No. 10 tahun 2020/No. 32 tahun 2020/No. 24 tahun 2021. Kebijakan ini menurut Kemenkumham pada 2020 berhasil mengeluarkan 55.929 WBP dan 1.415 anak penerima hak integrasi, serta 69.006 WBP dan anak penerima hak Asimilasi di rumah.

Sedangkan pada 2021, tercatat 16.387 WBP, 309 anak menerima hak integrasi, serta 21.096 narapidana dan anak menjalankan asimilasi di rumah. Sayangnya upaya tersebut tidak kunjung berhasil mengurangi jumlah penghuni rutan dan lapas, arus masuk tetap tinggi. Tercatat, jumlah penghuni terus naik.

Kondisi ini menunjukkan tidak ada sinergisitas antara Kemenkumham dengan Apgakum seperti kejaksaan dan kepolisian dalam menekan angka overcrowding, angka pemenjaraan terus naik.

Apabila mengacu pada ketentuan WHO, maka Kemenkumham dan aparat penegak hukum bisa memberikan prioritas utama pada kelompok anak, perempuan, orang tua serta orang yang sedang sakit dan membutuhkan perawatan medis yang lebih.

Apabila dikhususkan lagi maka narapidana perempuan, orang tua serta orang yang sedang sakit dan membutuhkan perawatan medis yang lebih bisa ditentukan indikator-indikator penentuan kelompok yang diprioritaskan. Seperti perempuan yang sedang mengalami kehamilan seperti merujuk kelompok rentan yang diutamakan apabila terjadi suatu musibah. 

Kondisi ini sekali lagi menandakan pemerintah perlu segera menerapkan dan membangun sistem yang mumpuni untuk adanya alternatif penahanan rutan, dan alternatif pemidanaan nonpemenjaraan. Penahanan dan pemidanaan dalam lembaga ini terbukti membawa masalah ketika adanya pandemi seperti ini.

Solusi

Maidina menjelaskan untuk mengatasi hal ini, sebagai langkah darurat perlu sikap dari Presiden Jokowi untuk menerbitkan kebijakan penghentian penahanan dalam lembaga bagi Kepolisian dan Kejaksaan, dengan memaksimalkan bentuk lain: penangguhan penahanan dengan jaminan, tahanan rumah, tahanan kota

Langkah lainnya adalah melanjutkan kebijakan asimilasi di rumah untuk WBP. Selain itu juga pemerintah seharusnya menerbitkan kebijakan pengeluaran WBP berbasis kerentanan untuk WBP lansia, perempuan dengan anak atau beban pengasuhan, dengan riwayat penyakit bawaan dan pecandu narkotika.

Maidina juga menjelaskan pemerintah harus menerbitkan kebijakan untuk vaksinasi langsung dan segera bagi seluruh penghuni rutan dan lapas termasuk penghuni rutan selain di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Solusi terakhir adalah dengan menerbitkan kebijakan untuk Kejaksaan untuk melakukan penuntutan dengan memaksimalkan alternatif pemidanaan nonpemenjaraan misalnya pidana percobaan dengan syarat umum dan syarat khusus ganti kerugian, pidana denda, rehabilitasi rawat jalan untuk pengguna narkotika. (G-2)








BACA JUGA:
.