JAKARTA - Aksi demonstrasi penolakan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja bukan diakibatkan cuitan Jumhur Hidayat di akun twiternya. Hal itu terungkap dalam pemeriksaan saksi fakta dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang menyatakan ikut aksi demo lantaran menolak isi Omnibus Law.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati mengungkapkan sikapnya terhadap Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja dengan tegas menolak UU tersebut. Hal itu disampaikan dalam sidang lanjutan pemeriksaan saksi fakta terkait dudugaan penyebaran berita hoaks dengan terdakwa Jumhur Hidayat yang diketahui oleh Hakim Agus Widodo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari ini.

"Kami sejak awal mendesak sejak rencana pemerintah hendak membuat UU ini. Kami juga melakukan penolakan dengan berbagai cara. Kami melakukan pres confrence, aksi di DPR untuk menghentikan UU Cipta Kerja," ucap Nur Hidayati di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (17/5/2021).

Nur Hidayati menjelaskan mengenai kajian yang dilakukan oleh WALHI. Ia membuat kajian dan analisis subtansi UU cipta kerja.



"Kami sampaikan kepada DPR ketika kami mendapat undangan. Tidak ada respon dari DPR," jelasnya.

Tim Anggota Penasihat Hukum Jumhur Hidayat, Oky Wiratama menanyakan kepada saksi fakta mengenai akun twitter terdakwa Jumhur Hidayat. "Tahu akun twitter terdakwa?" tanya Oky.

"Tidak tahu karena saya tidak follow," tegas Nur Hidayati.

Nur Hidayati menerangkan mengenai postingan jumhur Hidayat di twitter tersebut. Menurutnya, dia tidak mengetahui sebelum adanya kasus ini.

"Saya baru lihat setelah tahu, ketika mulai ramai di media massa baru saya cari tahu di twitter," terangnya.

Selain penolakan, Walhi juga melakukan aksi demonstrasi untuk menolak UU Cipta Kerja tersebut.

"Kami selalu melakukan aksi sesuai prosedur. Kami lapor ke polisi hingga prokes. Kami aksi mandiri kurang lebih sekali dua kali selain itu dengan koalisi msyarakat sipil. Ada organisasi lingkungan, petani, buruh, dan lain-lain," tutur Nur Hidayati.

Hal itu, kata Nur, karena memang UU ini hampir mempengaruhi sektor yang berkaitan dengan masyarakat Indonesia.

"Sampai April tahun lalu kami masih aksi hingga menjelang disahkan UU ini," sambungnya.

Nur Hidayati mengakui bahwa aksi yang ia lihat dan ikuti berjalan dengan tata aturan dan tertib. "Kalau aksi yang dilakukan perwakilan kami tertib," ungkapnya.

Kemudian Penasihat hukum kembali bertanya bahwa Walhi dari awal telah mengatakan RUU Cipta Kerja telah mencederai keadilan sosial.

Menurut Nur Hidayati, bahwa subtansi dari UU cipta kerja tersebut telah melemahkan partisipasi masyarakat. "Didalam substansinya, UU ini memperlemah. UU ini melemahkan partisipasi msyarakat, dikerdilkan dan dibatasi. Dan seluruh proses kajian lingkungan hidup seperti AMDAL," ujarnya.

Selain itu, Walhi juga menyoroti pasal yang subtansial terkait fungsi dan kegunaan dan perubahan dari UU ekologi tersebut. Menurutnya, ini menimbulkan resiko bahaya karena Indonesia sudah mengalami kerusakan ekologi.

Nur Hidayati mengungkapkan bahwa Walhi beberapa kali pernah diundang oleh DPR secara resmi. Namun Walhi menolak menghadiri undangan tersebut lantaran DPR tidak menyertakan draft RUU cipta kerja tersebut.

Kemudian, Oky menanyakan mengenai protes terhadap UU Cipta Kerja tersebut.

"Setahu saudara, kenapa UU ini diprotes banyak pihak?" tanyanya.

Nur Hidayati menjelaskan bahwa UU cipta kerja tersebut merupakan rangkuman dari 99 UU dan mempengaruhi buruh, mahasiswa, pelajar, masyarakat adat dan petani.

"Karena mengandung unsur-unsur yang dianggap merugikan msyarakat sipil lainnya," jawabnya.

Aksi penolakan tersebut, menurutnya murni berasal dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Karena Walhi juga melakukan analisa terhadap draft yang beredar.

"Ada keberatan yang disampaikan oleh berbagai organisasi msyarakat sipil yang mempermasalahkan proses penyusunan UU ini," tukasnya.

Dalam perkara ini, Jumhur Hidayat didakwa dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong atau hoaks yang menimbulkan keonaran melalui cuitannya di Twitter soal UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Lewat cuitanya itu, Jumhur juga dianggap membuat masyarakat menjadi berpolemik. Hal tersebut berimbas kepada aksi unjuk rasa pada 8 Oktober 2020 di Jakarta dan berakhir ricuh.

Dalam dakwaan itu, Jumhur dijerat dengan dua pasal alternatif. Pertama, dia dijerat Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP atau Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari UU RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. (G-2)








BACA JUGA:
.