Kebun sawit (ANTARA/GRESNEWS.COM)

JAKARTA - Pemerintah terus mendorong penggunaan energi alternatif untuk meningkatkan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT), salah satunya penggunaan biodiesel. Saat ini pencampurannya sudah mencapai Fatty Acid Methyl Esters (FAME) 30% atau dikenal dengan program B30.

Bagi pemerintah, program B30 itu penting sebagai upaya untuk menekan impor bahan bakar minyak yang terus meningkat setiap tahunnya. Tahun ini saja Pertamina akan melakukan impor bahan bakar minyak (BBM) naik 13,5 persen dari 97,8 juta barel menjadi 113 juta barel.

Program B30 ini jelas memberikan manfaat bagi upaya penurunan impor BBM namun perlu juga diperhatikan aspek lainnya, seperti bagaimana program B30 ini memberikan dampak kesejahteraan bagi para petani maupun imbasnya pada lingkungan.

Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Bisuk Abraham mengatakan program B30 dimulai sejak Januari 2020, namun program rintisannya sudah dimulai sejak 2005.



"Biodiesel itu dimulai pada 2008, pembaurannya di kisaran 5 persen. Dan mulai naik progresif baurannya sekitar tahun 2014," katanya dalam diskusi webinar yang diadakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dengan tema Biodiesel B30: Progress dan Tantangan di Hulu, Rabu (5/5/2021) yang diikuti Gresnews.com.

Berbicara kemajuan, kata Bisuk, program B30 sebenarnya sudah menjadi suatu komitmen pemerintah untuk terus mengembangkannya. Apalagi Presiden Joko Widodo bertitah agar pemanfaatan biodiesel terus dikembangkan sampai B40, B50, dan B100.

Bahkan dalam Strategi Kerja (Straket) Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) sudah tercantum, sampai berapa kiloliter biodiesel berbasis kelapa sawit akan diproduksi di pasar domestik sampai 2024.

"Menariknya di situ pada tahun 2021 dicantumkan dalam dokumen pemerintah, kita mau masuk ke B50. Di sini bauran kelapa sawitnya akan naik menjadi 50 persen," terangnya.

Kemudian Bisuk juga mengungkapkan motivasi pemerintah mendorong program B30 yakni terkait ketahanan energi. Indonesia sudah keluar dari OPEC, tidak lagi menjadi eksportir, sehingga bila mampu menghasilkan biodiesel sendiri menjadi lebih independen untuk sumber energi.

"Sehingga muncullah ide kelapa sawit menjadi komoditas. Terinspirasi etanol dari Brazil. Brazil primadonanya tebu, Indonesia primadonanya kelapa sawit," ungkapnya.

Namun penggunaan sawit bahan baku B30 ini menjadi perhatian publik, khususnya di Uni Eropa. Mereka melarang penggunaan biodiesel sebagai salah satu energi terbarukan yang berkelanjutan. Permasalahannya Uni Eropa menilai biodiesel dihasilkan dari sebuah sistem yang mengakuisisi lahan-lahan yang mengolah karbon tinggi. Seperti hutan tropis di Indonesia yang ditebang, diganti dengan perkebunan sawit.

Karena itulah pemerintah Indonesia pada 2009 membentuk Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO). ISPO merupakan standar nasional pengelolaan minyak sawit berkelanjutan.

"Sebenarnya itu adalah salah satu semangat kita mengeluarkan ISPO bahwa dengan adanya sertifikasi ISPO itu bisa menjamin dari hulu sampai hilir menganut asas-asas berkelanjutan," tuturnya.

Bisuk juga memaparkan sebuah penelitiannya bahwa standar ISPO telah cukup memadai untuk memberikan perlindungan. Dalam ISPO juga ada aspek ketenagakerjaan, termasuk keselamatan kerja, aspek sosial, dan aspek lingkungan.

"Artinya prinsip ISPO ini cukup memberikan perlindungan yang baik, baik bagi sisi lingkungan itu sendiri maupun para pekerja," bebernya.

Sementara itu Wakil Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesa (GAPKI) Agam Fatchurrochman memaparkan mengenai minyak nabati paling banyak dibuat aturan.

"Nabati adalah yang paling banyak diatur dan paling banyak disertifikasi di seluruh dunia," papar Agam dalam diskusi webinar tersebut.

Kemudian, Agam mengatakan kalau melihat dari rantai pasokan (supply chain) minyak kelapa sawit mulai dari plantation mill, refinery, sampai end product manufactur dan retailer reseller konsumen, ada aspek standar yang harus diikuti.

"Misalnya masalah yang terkait sustainablity ada ISPO, ada RSPO dan terkait dengan makanan, kemudian biofuel dan diaudit oleh auditor independen. Itu di sisi hulunya," terangnya.

Kemudian di sisi hilirnya yang sudah berjalan adalah RSPO, supply chain, sertifikasi sistem. ISPO belum sampai ke sana karena masih terbatas di sisi hulu.

"Skema-skema sustainablity yang ada di dunia, regional, nasional dan market place terkait dengan sawit adalah yang paling maju dibandingkan dengan yang lainnya," ujarnya.

Pekerjaan rumah sesungguhnya ada di tingkat petani, terutama pada petani swadaya. Yakni para petani sawit yang tak menjadi plasma dari satu perusahaan sawit.

Pemerintah sebenarnya telah membantu dengan mengalokasikan dana hibah Rp30 juta per hektare untuk petani, namun lantaran tak ada kewajiban untuk bermitra dengan perusahaan, banyak yang mengalami kegagalan.

Sejak tahun lalu GAPKI mendapat permintaan untuk membantu petani yang sudah mendapatkan dana namun tak berpengalaman dalam melakukan land clearing. "Ada Gapoktan yang mendapat miliaran namun tak bisa berkontrak dengan perusahaan untuk melakukan land clearing," ujarnya.

Di sisi lain Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit Indonesia (SPKS) Mansuetus Darto menyampaikan sebuah harapan besar untuk para petani swadaya kelapa sawit. Karena ini merupakan program strategis dari pemerintah sekarang untuk energi baru terbarukan yakni biodiesel yang merupakan produk dari kelapa sawit.

"Harapan besarnya itu pada pemerintah. Yakni program soal rantai pasok para petani swadaya," kata Darto dalam diskusi tersebut.

Menurutnya, petani swadaya atau petani mandiri yang mengelola lahan secara mandiri, dan lahan punya mereka, membangunnya sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki.

"Pendanaan juga mereka yang miliki dan nasibnya belum terbantu oleh pemerintah," jelasnya.

Darto menerangkan bahwa dari kalkulasi pemerintah itu ada 16,3 juta hektare luas perkebunan sawit dan luas perkebunan rakyat itu ada sekitar 6,7 juta hektare. Sementara data dari serikat petani kelapa sawit ada 5,5 juta hektare lahan petani swadaya.

Berbicara tentang petani swadaya, masalahnya pada tata kelolanya. Bagaimana petani itu membangun relasi dengan korporasi, dengan industri atau dengan pabrik yang berpengaruh kepada pendapatan mereka.

"Titik poinnya itu dengan kemitraan dengan sektor industri atau pabrik dalam hal ini. Hal itu karena akan berpengaruh kepada harga," terangnya.

Darto juga menjelaskan bahwa situasi sekarang itu adalah rantai pasok petani swadaya belum terhubung sampai ke pabrik secara langsung.

Seperti ada koperasi yang dimiliki oleh petani swadaya bermitra dengan perusahaan perkebunan sawit dan skema harga itu secara adil diatur didalam mekanisme kontrak atau memorandum of understanding dan harganya bisa disesuaikan dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah.

"Tetapi nyatanya sejak dulu petani swadaya itu selalu menjual ke tengkulak. Bayangkan loss income para petani swadaya yang sejumlah 5,5 juta hektare itu sekitar 30 persen per bulan dari pendapatan produksi mereka," jelasnya.

Tetapi sebaliknya kalau ada skema kerja sama antara industri dan koperasi petani swadaya, dan membangun kemitraan dalam konteks rantai pasok biodiesel, tentunya akan memberi manfaat secara ekonomi kepada petani.

Ia berkesimpulan program biodiesel belum memperbaiki ekonomi petani swadaya dari konteks harga tadi. Karena rantai pasoknya ini tidak berubah di lapangan. Dengan disparitas harga sekitar 30 persen jika dibandingkan dengan harga pemerintah.

Kemudian dampak yang kedua, kebijakan pemerintah tidak mengakomodasi partisipasi para pekebun atau para petani swadaya dan dan juga tidak mengakomodasi perusahaan perusahaan kecil.

Selain itu pajak minyak kelapa sawit masih terlalu tinggi. "Perlu saya ingatkan, keberatan kita pada konteks ini. Artinya pemerintah belum memperhatikan sektor hulu," tegasnya.

Ia juga melontarkan kritikan bahwa Indonesia telah memiliki banyak aturan yang cukup baik namun di tingkat tapak tidak berjala sama sekali. "Misal soal sawit berkelanjutan di lapangan gak jalan. Sebelumnya banyak kebijakan yang dibuat pemerintah tapi nihil hasilnya," ungkapnya.

Namun Darto mengakui program B30 dari pemerintah dapat menstabilkan harga minyak kelapa sawit di pasaran. Lantaran selama ini produksi minyak kelapa sawit sudah kelebihan produksi.

"Kalau tidak ada B30 akan berbahaya buat industri sawit dan juga petani di kemudian hari," tukasnya. (G-2)








BACA JUGA:
.