JAKARTA - Saksi mantan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), M. Zulficar Mochtar mengungkapkan adanya perubahan kuota benih lobster. Awalnya kuota benih adalah 139 juta namun banyak pihak tidak puas sehingga Menteri KKP Edhy Prabowo membentuk tim.

"Pendapat Pak Menteri tentang kuota 139 juta apakah Pak Menteri puas?" tanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ronald Ferdinand Worontikan dipersidangan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diikuti oleh Gresnews.com, Rabu (21/4/2021).

Menurut Zulficar, banyak pihak yang tak puas hingga Menteri, para penasihat dan tim bentukan Menteri dan staf ahli, staf khusus pun tidak puas. Mereka tidak merasa puas dengan angka ini karena mereka sering merujuk ke nilai miliaran-miliaran yang seharusnya ada tersebut.

Hal itu, kata Zulficar, tercermin ketika menghadiri rapat koordinasi di Widya Chandra pada 12 Mei 2020. Dimana Pak Menteri menggambarkan kekecewaannya pada jumlah kuota benih lobster yang disampaikan.



"Jadi saya menangkap ada ketidakpuasan dan beberapa penasihat menggambarkan hal yang sama. Artinya sebenarnya mereka berharap benih lobster ini bisa memberikan manfaat ekonomi yang signifikan. Tapi kalau hanya 100 juta, 139 juta tidak seperti yang diharapkan karena kondisinya katanya sangat banyak," jelas Zulficar.

Kemudian, ketika ditanya mengenai adakah perubahan kuota, Zulficar menuturkan bahwa belakangan baru dapat informasi dari media bahwa bulan September itu ada perubahan kuota baru.

"Dimana jumlah yang dibolehkan itu menjadi 418 juta. Ini keputusan menteri yang ditandatangani oleh Pak Sekjen kalau tidak salah, menggambarkan sekarang 418 juta. Tapi saya tidak ikut lagi diprosesnya hanya tahu disitu," tuturnya.

Lalu, Zulficar menjelaskan mengenai pernyataan Andreau Misanta Pribadi yang meminta bahwa setiap perusahaan bisa mendapatkan kuota sampai 10 juta, itu memang benar bahwa di awal sempat ada wacana agar setiap pelaku usaha itu diberikan 10 juta benih lobster untuk menjadi kuotanya dalam ekspor maupun budidaya.

"Akan tetapi dalam jumlah 139 juta artinya maksimum cuma 13-14 perusahaan yang bisa diberikan. Akhirnya dalam dialog informal kebetulan bulan Mei juga, itu akhirnya digambarkan ga usah ditetapkan dulu lah, biarkan berjalan dulu karena kita mau lihat proses berikutnya," jelasnya.

Adapun yang mengusulkan penetapan itu adalah Dirjen Budidaya dan Kepala Badan Karantina serta Menteri KKP saat pertemuan di Kepulauan Seribu.

"Saya kebetulan dirumah dari situ ada tektokan. Saya sempat diskusi dan itu ada di WA grup Usaha Lobster, digambarkan disitu. Akhirnya sebaiknya jangan. Jadi ada Pak Andreau juga," kata Zulficar.

"Yang pertama kali melakukan ekspor ada berapa perusahaan?" cecar Jaksa.

Zulficar menjelaskan, yang diketahui ada dua perusahaan yang melakukan ekspor pertama kali. Pada pertengahan Juni 2020. Namun prosesnya tidak melalui dirinya. Sehingga dia menganggap itu ilegal karena ia tahu hal itu dari berita koran, ada yang sudah lolos ekspor.

"Dua perusahaan kalau tidak salah Aquatic (SS Aquatic Lautan Rejeki) dan Tania Marina (Tania Asia Marina)," jelasnya.

Kemudian, dari informasi itu, Zulficar langsung mengontak Kepala Badan Karantina, Rina menanyakan, apa betul dua perusahaan itu sudah ekspor. Rina membenarkan.

Zulficar mengatakan ia belum mengeluarkan surat apapun, belum mengeluarkan Surat ketetapan waktu pengeluaran (SKWP).

"Kok tiba-tiba udah ekspor. Bu Rina berasumsi syaratnya sudah lengkap. Kami lalu diskusikan dengan Ditjen Pak Yusuf waktu itu, Dirjen Budidaya, ibu karantina. Dan eselon satu lainnya. Kita petakan, ternyata disitu banyak proses yang dilanggar. Dari situ kita harus perketat peraturan supaya selanjutnya tidak terulang," ujarnya.

Sementara penasihat hukum Edhy Prabowo, Soesilo Ariwibo menyinggung soal bank garansi mengenai ekspor di KKP. Ia mengatakan untuk sementara ini disimpan menunggu ketentuan. Dimana uangnya sudah ada.

"Toh tidak ada yang bisa mencairkan uang itu, uangnya tetap ada sekarang justru masih ada di perusahaan-perusahaan itu," kata Soesilo kepada wartawan yang diikuti oleh Gresnews.com.

Soesilo menjelaskan bahwa bank garansi bukan modus karena belum ada ketentuan. Bukan berarti liar karena belum ada ketentuannya, maka disiapkan kalau itu sudah ada ketentuan maka itu diberlakukan surut untuk diambil.

Kemudian, memang Edhy Prabowo sempat protes mengenai kuota, Memang pertama Rp 250 per 1000, itu untuk pemasukan ke negara tentu sedikit sekali.

"Jadi Pak Menteri berkreasi mendengar sana sini, kemudian diusulkanlah, sebenarnya bukan Pak Menteri yang membuat itu, itu teknis ada di tim due diligence. Budidaya tetap budidaya, tetapi ekspor jalan," tukasnya.

Atas perbuatannya itu, Edhy Prabowo dituduh menerima hadiah atau suap melalui Amiril Mukminin dan Safri berupa uang sejumlah US$77 ribu dari Suharjito selaku Pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP).

Penerimaan suap itu dengan maksud untuk mempercepat proses rekomendasi persetujuan pemberian izin budidaya sebagai salah satu Syarat pemberian izin ekspor PT DPPP.

Pemberian uang kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo tersebut melalui perantara dan bekerja sama dengan Safri dan Andreau Misanta Pribadi selaku Staf Khusus Menteri KP-RI.

Kemudian melalui Amiril Mukminin selaku Sekretaris Pribadi Edy Prabowo , Ainul Faqih selaku staf Pribadi Iis Rosita Dewi istri menteri dan Siswadhi Pranoto Loe selaku Komisaris PT Perishable Logistics Indonesia (PT PLI) sekaligus Pendiri PT Aero Citra Kargo (PT ACK). 

Adapun Surat Dakwaan yang disusun oleh JPU berbentuk Altenatif untuk ke-3 Berkas tersebut diatas yaitu Dakwaan Pertama melanggar Pasal 12.A UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP ATAU Dakwaan Kedua melanggar Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. (G-2)








BACA JUGA:
.