Ilustrasi halal (jpp.go.id)

JAKARTA - Agar layanan sertifikasi halal tak terganggu, telah keluar Keputusan Menteri Agama Nomor 982 Tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal pada 12 November 2019. Keputusan tersebut mengusung kebijakan diskresi yang mengukuhkan kerjasama BPJPH, MUI dan LPPOM MUI dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal.

Diskresi ini ada karena sejak pemberlakuan UU JPH tanggal 17 Oktober 2019 hingga kini belum ada peraturan menteri keuangan tentang tarif sertifikasi halal, padahal peraturan tarif menjadi salah satu dasar pijakan layanan sertifikasi halal oleh BPJPH.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah menjelaskan Keputusan Menteri Agama tersebut merupakan langkah tepat dengan diskresi yang memenuhi kebutuhan sertifikasi halal. Dalam KMA 982 tersebut sertifikasi halal akan dikembalikan kepada MUI meskipun bersifat sementara.

"Jika hal itu tidak dilakukan maka akan menimbulkan stagnasi proses sertifikasi halal di tingkat industri," kata Ikhsan dalam sebuah diskusi yang dihadiri Gresnews.com, Senin (23/12).



Menurutnya, dalam bisnis produk halal, Indonesia harus dapat maksimal mengambil keuntungan dengan potensial market sangat besar. Yaitu melalui makanan, minuman, kosmetik, obat, fashion dan halal tourism. Data Global Islamic Ekonomi Indicator 2018 - 2019, Indonesia menepati posisi utama sebagai negara konsumen terbesar dalam pembelanjaan dengan nilai US$ 170 Miliar per tahun untuk produk halal.

Sejatinya sejak penerbitan KMA Nomor 982 Tahun 2019 terkesan mengundang polemik, khususnya pada Halal Center dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), juga pelaku usaha. LPH-LPH tersebut rata-rata dari perguruan tinggi negeri dan ormas Islam yang menilai KMA ini mencederai undang-undang dan peraturan di bawahnya, sebab mengembalikan monopoli LPPOM MUI.

Di sisi pelaku usaha menilai, KMA 982 ini menyebabkan layanan sertifikasi halal menjadi semakin rumit. (G-2)








BACA JUGA:
.