M Nur Sholikin, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sedang menyusun program legislasi nasional (prolegnas) untuk lima tahun ke depan.
Prolegnas merupakan daftar rancangan undang-undang (UU) yang ditargetkan akan disahkan dalam lima tahun ke depan.
Pada tahap awal pembahasan, ada 50 RUU prioritas yang baru-baru ini disetujui untuk tahun depan dan 248 RUU selama satu periode DPR.
DPR menargetkan penyusunan Prolegnas disahkan sebelum masa reses pertengahan Desember 2019. Penyusunan instrumen perencanaan legislasi ini merupakan agenda rutin di setiap awal periode jabatan DPR dan eksekutif.
Penyusunan instrumen perencanaan legislasi ini merupakan agenda rutin di setiap awal periode jabatan DPR dan eksekutif.
Prolegas sudah hadir sejak 2004 dan diatur dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sudah 15 tahun Prolegnas dipraktikkan, tapi tidak pernah mencapai target yang sudah ditetapkan.
Pertama kali Prolegnas diberlakukan pada periode 2004-2009, hanya 60% UU yang disahkan dari 284 RUU yang diusulkan. Periode berikutnya turun menjadi 51% dari 247 RUU yang diusulkan. Pada periode lalu, jumlah UU yang disahkan semakin turun menjadi 48% dari 189 RUU yang diusulkan.
Jadi selama tiga periode Prolegnas diberlakukan, DPR dan pemerintah selalu gagal dalam mencapai target.
Untuk memperbaiki hal ini, saya menyarankan setidaknya tiga hal untuk mendesain ulang Prolegnas
1. Kurangi target
DPR dan pemerintah selalu menetapkan jumlah RUU yang besar dalam Prolegnas.
Padahal apabila berkaca dengan capaian sebelumnya jumlah yang ditetapkan tidak realistis.
Hasil evaluasi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) terhadap pelaksanaan Prolegnas tiga tahun setelah program tersebut diciptakan menyebutkan bahwa jumlah UU yang dimasukkan ke dalam Prolegnas terlalu banyak. Kemampuan membentuk UU rata-rata sekitar 15-20 setiap tahun.
Kajian evaluasi tersebut merekomendasikan pemerintah dan DPR untuk menahan diri agar tidak menambah jumlah UU yang harus disahkan dalam Prolegnas. Alasannya, belum ada korelasi positif antara banyaknya jumlah rancangan UU (RUU) yang dimasukkan dengan jumlah UU yang disahkan.
Menghindari jebakan daftar panjang dan minim realisasi, DPR dan pemerintah harus berkomitmen menekan jumlah RUU yang masuk dalam Prolegnas.
Periode lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo membuat kebijakan hanya mengusulkan maksimal 20 RUU dalam prioritas tahunan. Kebijakan ini konsisten diterapkan setiap tahunnya dari awal sampai dengan akhir masa jabatan. Tapi jumlahnya tetap besar karena digabung dengan usulan dari DPR dan Dewan Pertimbangan Daerah (DPD).
Seharusnya, periode kedua ini Presiden Joko Widodo lebih berani lagi menekan jumlah usulan maksimal 10 RUU dalam prioritas tahunan. Komitmen Presiden Joko Widodo menata regulasi seharusnya dimulai dengan membenahi perencanaan dengan membatasi jumlah usulan RUU dalam Prolegnas.
Demikian juga DPR, harus punya komitmen membatasi jumlah RUU yang masuk ke dalam Prolegnas.
Pembatasan jumlah usulan baik dari DPR maupun pemerintah diharapkan mendorong perencanaan pembuatan UU lebih fokus pada kualitas substansi, bukan kuantitas.
Membatasi jumlah dalam Prolegnas akan memaksa DPR dan pemerintah untuk membuat proses perancangan UU menjadi lebih fokus karena beberapa RUU pada sektor yang sama yang bisa dijadikan satu RUU saja. Contohnya di bidang kesehatan, terdapat beberapa UU yang beririsan seperti UU Kesehatan, UU Kedokteran, UU Praktik Kedokteran, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, dan UU Kebidanan yang sebenarnya bisa dijadikan satu.
Pola ini akan memudahkan juga pembentuk UU dalam melakukan harmonisasi antara substansi RUU yang dibahas dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
2. Jangan tambah RUU di tengah jalan
Upaya lain untuk memperbaiki perencanaan legislasi dalam Prolegnas adalah menutup peluang masuknya usulan RUU baru dalam periode berjalan.
Selama ini, pemerintah dan DPR bisa menambahkan usul pembahasan UU sehingga jumlah UU yang harus disahkan membengkak. Selama periode 2014-2019, terdapat 160 RUU di awal periode, namun terdapat 29 RUU tambahan di luar perencanaan awal sampai dengan akhir periode.
Jumlah ini masih ditambah dengan 33 RUU kumulatif terbuka yaitu RUU yang merupakan ratifikasi perjanjian atau RUU sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi.
Prolegnas menjadi semacam menu yang bisa dengan mudah ditambah-tambah sesuai dengan selera DPR dan pemerintah.
Padahal penambahan usulan tersebut juga tidak menjamin DPR dan pemerintah dapat menyelesaikan RUU baru tersebut.
3. Politik legislasi yang jelas
Permasalahan jumlah target UU yang tidak realistis dalam Prolegnas diperparah oleh masalah lain, seperti tidak fokusnya pembahasan dan minimnya kehadiran anggota dalam rapat pembahasan UU.
DPR dan pemerintah harus menentukan arah kebijakan politik legislasi dalam Prolegnas dan prioritas tahunan mereka.
Cara ini pernah dilakukan pada kurun waktu 2000–2003 pada periode Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan oleh Megawati Soekarnoputri.
Pada periode tersebut, arah politik legislasi ditujukan pada pemulihan ekonomi, otonomi daerah, hak asasi manusia dan pemberdayaan masyarakat, penerapan pemerintahan yang baik dan tinjauan tentang peraturan peninggalan kolonial.
Penentuan kebijakan politik legislasi ini menjadi fokus dan tolok ukur yang jelas dalam menyusun UU. Fokus ini juga membatasi RUU dan materi pengaturan yang tidak sejalan.
Saat ini, kebijakan menegaskan arah politik legislasi tersebut perlu dilaksanakan lagi oleh DPR dan Pemerintah. Tidak ada keterangan mengapa kebijakan ini tidak dilanjutkan.
Ketidakdisiplinan pembahasan dan minimnya pencapaian membuat Prolegnas tidak dapat menjadi pedoman dalam melihat arah politik legislasi.
Prolegnas saat ini tidak bisa memberi gambaran jelas, apa sebenarnya yang hendak dituju DPR dan pemerintah di bidang legislasi dalam kurun waktu lima tahun. Pada fase perencanaan, Prolegnas memiliki keinginan dan ambisi yang sangat besar dengan cakupan yang luas, namun realisasi pada saat pembahasan sangat minim.
Langkah ke depan
Sistem Prolegnas yang baik dan efektif akan menjadi acuan bagi perencanaan peraturan perundang-undangan lainnya seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan daerah.
Secara umum perencanaan peraturan perundang-undangan di bawah UU memiliki pola yang sama dengan Prolegnas, yang disusun melalui inventarisasi judul rancangan yang akan dibentuk. Permasalahannya pun hampir sama terkait dengan minimnya pencapaian dan konsistensi dengan perencanaan.
Perbaikan praktik penyusunan Prolegnas dan realisasi perencanaannya akan memberikan pengaruh positif bagi perencanaan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Oleh karena itu, DPR dan pemerintah harus realistis dalam menyusun Prolegnas. Berkaca pada kegagalan pencapaian selama ini, pemerintah dan DPR perlu segera mendesain ulang konsep perencanaan legislasi.
M Nur Sholikin, Peneliti PSHK dan Pengajar STHI Jentera, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
BACA JUGA: