Hurriyah, Universitas Indonesia
Pemberitaan soal Front Pembela Islam (FPI) ramai menyusul adanya silang pendapat di internal pemerintah serta pro-kontra publik terkait perpanjangan izin organisasi tersebut.
Isu radikalisme diyakini menjadi alasan utama mengapa hingga hari ini pemerintah masih mengulur-ulur perpanjangan izin FPI.
Menurut saya, polemik izin FPI menunjukkan bahwa sikap dan pilihan kebijakan pemerintah lebih mengarah pada kecenderungan membatasi kebebasan sipil ketimbang upaya menangani radikalisme.
Perdebatan soal ancaman radikalisme di balik isu FPI cenderung digunakan oleh penguasa untuk memunculkan ketakutan yang berlebihan.
Narasi perang melawan radikalisme merupakan strategi pemerintah untuk melegitimasi upaya penyempitan ruang demokrasi.
Baca juga: Refleksi 2019: awan gelap untuk HAM di Indonesia
Ancaman radikalisme atau demokrasi yang terancam?
Isu radikalisme belakangan menjadi arus utama diskursus publik di Indonesia.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo bahkan menegaskan kabinet kedua pemerintahannya akan meningkatkan keseriusan melawan radikalisme, baik dengan kebijakan, penindakan, serta mengubah persepsi masyarakat terhadap istilah radikalisme.
Formasi kabinet baru Jokowi bahkan disebut-sebut sebagai kabinet untuk melawan radikalisme.
Masalahnya, meskipun persoalan radikalisme tidak bisa dipandang enteng, pendekatan pemerintah dalam menangani radikalisme justru memunculkan ancaman serius terhadap demokrasi.
Kebijakan-kebijakan yang membatasi ruang kebebasan sipil (civic space) berdampak pada menyusutnya ruang demokrasi.
Secara sederhana, civic space bisa diartikan sebagai situasi ketika warga negara dan organisasi masyarakat sipil (OMS) bisa menikmati hak-hak sipil dasar (seperti kebebasan berekspresi, berorganisasi dan berkumpul) tanpa campur tangan negara.
Sebaliknya, penyusutan ruang demokrasi terjadi manakala ruang gerak itu terbatas, menyempit, dan mengalami tekanan dari negara.
Di seluruh dunia saat ini, kondisi penyusutan ruang demokrasi menjadi tantangan serius yang membatasi ruang gerak masyarakat sipil. Bentuk pembatasannya pun beragam, mulai dari pembatasan pendanaan dari luar negeri, produk regulasi yang anti-organisasi masyarakat sipil (OMS), stigmatisasi, pemberian label (labelling), hingga kriminalisasi aktivis masyarakat sipil.
Dua tahun lalu, saya melakukan penelitian untuk salah satu lembaga donor mengenai status demokrasi di Indonesia dan implikasinya terhadap upaya-upaya peningkatan demokrasi. Salah satu temuan pentingnya adalah negara menjadi aktor utama dibalik tren penyusutan ruang demokrasi sepanjang satu dekade terakhir.
Gejala menyusutnya ruang demokrasi ini terutama terlihat pada aspek kebebasan sipil, baik kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, maupun kebebasan berorganisasi.
Antoine Buyse, profesor hak asasi manusia dan direktur Netherlands Institute of Human Rights di Universitas Utrech, Belanda, dalam risetnya tentang penyempitan ruang kebebasan sipil menunjukkan tiga pola umum metode represi negara terhadap masyarakat sipil.
Pertama, melalui pembatasan formal, yakni penerapan hukum administratif dan pidana untuk mengatur dan menekan kerja-kerja OMS, pendirian atau pendaftaran OMS, atau pembatasan akses OMS kepada sumber daya.
Kedua, metode labelling dan stigmatisasi yang bertujuan untuk mencegah dan membungkam kritik dan kebebasan berekspresi, membangun opini negatif terhadap OMS, atau sebagai legitimasi untuk membubarkan OMS yang kritis atau berseberangan dengan pemerintah.
Ketiga, metode pembatasan kapasitas OMS melalui strategi carrot and stick (imbalan dan hukuman), yang bertujuan untuk menetralisir dan memandulkan potensi OMS; atau ancaman dan penggunaan kekerasan yang menargetkan aktor-aktor OMS.
Riset Buyse juga menunjukkan isu terorisme, kontra-terorisme, dan isu keamanan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penyusutan ruang demokrasi.
Di banyak negara, propaganda War on Terror dan strategi ‘politik ketakutan’ kerap digunakan untuk membenarkan pembatasan yang berorientasi keamanan pada masyarakat sipil.
Baca juga: Mengapa tirani dapat menjadi ujung tak terhindarkan dari demokrasi
Penyusutan ruang demokrasi di Indonesia
Meskipun pernah disanjung sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, lembaga-lembaga pengindeks demokrasi justru menilai Indonesia bukan lagi sebuah negara demokrasi.
Sejak tahun 2014 sampai sekarang, Indonesia hanya berstatus negara setengah bebas dan demokrasi yang cacat.
Yang menarik, peneliti politik Edward Aspinall dan Marcus Mietzner dari Australian National University di Canberra, Australia, menyebut kepemimpinan Jokowi adalah penyebab kemunduran terbesar demokrasi Indonesia.
Penelitian saya tentang penyusutan ruang demokrasi di Indonesia juga menunjukkan bahwa sepanjang lima tahun terakhir terakhir, terjadi penurunan signifikan berbagai aspek kebebasan sipil.
Kriminalisasi warga negara dengan menggunakan Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan kriminalisasi tokoh-tokoh pimpinan agama/kepercayaan, aktivis, ataupun tokoh-tokoh oposisi adalah beberapa contoh kasus yang menunjukkan bagaimana kebebasan berekspresi mengalami tekanan luar biasa.
Pembubaran paksa forum-forum diskusi ataupun kekerasan polisi dalam demonstrasi juga menjadi gambaran bagaimana kebebasan berkumpul semakin menyusut.
Belakangan, kebebasan berorganisasi juga semakin menyempit sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) No.2 Tahun 2017 tentang Organisasi Massa (ormas).
Perppu itu digunakan pemerintah untuk melegitimasi kebijakan pemerintah membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dituduh berpaham radikal. Namun, bukan tidak mungkin di masa mendatang perppu tersebut digunakan untuk membubarkan organisasi manapun yang dianggap berseberangan dengan pemerintah dan dilabeli sebagai anti-Pancasila.
Label anti-Pancasila dan radikal inilah yang dijadikan alasan pemerintah untuk mengulur perpanjangan izin FPI. Kementerian Dalam Negeri misalnya, mempersoalkan dicantumkannya terminologi khilafah Islamiyah dalam anggaran dasar organisasi mereka, tapi tidak menyebut ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Apalagi, persepsi sebagian masyarakat turut mengamini pandangan pemerintah.
FPI sendiri nampaknya menunjukkan sikap perlawanan. Mereka menyatakan tidak berencana memperpanjang persoalan surat keterangan terdaftar (SKT) karena dianggap tidak wajib dimiliki oleh organisasi masyarakat (ormas). Pernyataan ini bahkan diamini oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM, Mahfud MD, yang menyebut bahwa FPI tetap bisa berjalan tanpa SKT.
Baca juga: Reformasi sampai di sini: Jokowi robohkan warisan demokrasi Indonesia
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Upaya pembatasan hak-hak sipil dan politik, sekecil apapun itu, sudah pasti akan berdampak negatif terhadap ruang kebebasan dalam demokrasi. Dengan menggunakan instrumen hukum sebagai cara untuk melakukan pembatasan, pemerintah justru merusak fondasi demokrasi, yang semestinya berdasar atas hukum (rule of the law), bukan menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan (rule by the law).
Jika tujuannya adalah melawan radikalisme, membiarkan FPI tetap berdiri justru akan memudahkan pemerintah untuk mengawasi tindak tanduk organisasi tersebut. Sebagai ormas yang terdaftar secara resmi, FPI menjadi subjek hukum yang harus patuh dan dapat dijangkau oleh tangan hukum.
Lagi pula, bukankah mengawasi musuh yang kelihatan lebih mudah daripada hantu yang tidak terlihat wujudnya?
Aisha Amelia Yasmin berkontribusi pada penerbitan artikel ini.
Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.
Hurriyah, Lecturer, Department of Political Science, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
BACA JUGA: