Kampus Unair (republika.co.id)

MENGAWALI tulisan dalam surat ini, pertama-tama sebelumnya perkenankanlah kami mengucapkan salam sehat selalu kepada Anda semua, Bapak Ibu Dosen beserta Pejabat Unair yang kami hormati.
Perkenankanlah pula kepada kami untuk sekadar mengucapkan kata maaf bilamana yang kami lakukan selama ini dalam menolak dan menuntut pembatalan kenaikan biaya kuliah di Unair, mungkin sangat menjengkelkan dan membikin marah Bapak dan Ibu semua.

Jujur, sebenarnya bukan maksud dan keinginan kami untuk selalu berbuat “nakal dan onar”, tapi memang kondisilah yang selama ini telah memaksa kami untuk terus memprotes kebijakan tersebut. 

Maka itulah, kami kemudian membuat sebuah surat dengan tujuan hanya untuk sekadar berbagi cerita dan mengungkapkan rasa di hati. Kami sadar betul bilamana diharuskan berdebat tentang berbagai soal seperti soal politik, ekonomi, hukum, filsafat, sejarah, dan lain-lain dengan Bapak dan Ibu semua yang selama ini nyata-nyata telah banyak mengajari kami, jelas kami ini tidak ada apa-apanya dan bukan tandingannya.

Bilamana pada akhirnya pun surat yang kami tulis ini dirasa tiada berguna, sangat kasar, serta bahkan terkesan menggurui, kami mempersilakan kalau misalnya Bapak dan Ibu semua kemudian menyobek dan membuangnya ke tempat sampah. Kami tidak akan marah oleh karena mungkin tulisan kami dalam surat ini memang tulisan sampah yang hanya berisi sumpah serapah tak berguna.

Apalagi kami juga sadar bahwa kami di kampus Unair ini juga bukanlah siapa-siapa dan mungkin memang “kami ini Binatang Jalang dari kumpulannya terbuang” yang pantas untuk di caci maki serta di hujat.

Untuk tidak berpanjang-panjang kata lagi, kami akan segera mengawali cerita dalam surat ini dengan mengajak Bapak dan Ibu sekalian untuk sejenak beromantisme dengan sebuah petikan syair yang sangat terkenal dari Ronggowarsito, seorang pujangga besar dari Keraton Surakarta pada abad 19.

Begini bunyinya petikan syair tersebut : Saiki jamane jaman edan (sekarang zamannya zaman gila). Yen ora edan ora keduman (Kalau nggak gila nggak dapat bagian). Sak bejo bejone wong kang edan (Seberuntung-beruntungnya orang yang gila itu). Isih bejo wong kang eling lan waspada (Masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada).

Ada apa gerangan, sampai Ronggowarsito mengatakan bahwa masa di mana beliau hidup  tersebut adalah zaman edan? Hal itu ternyata tidak terlepas dengan kondisi masyarakat pada saat beliau hidup, yang mana kebanyakan orang sudah tergila-gila kepada harta, jabatan, nama baik, dan gengsi. Akibatnya mereka pun kemudian menjadi lupa bahwa segala jabatan dan harta benda yang mereka miliki tersebut, sebenarnya hanyalah titipan dan amanah semata.

Apabila syair tersebut kita kaitkan dengan kondisi bangsa kita saat ini, kami mengatakan sangat pas dan cocok sekali. Di mana telah sama-sama kita ketahui, saat ini banyak sekali pemimpin yang sudah tidak lagi mau peduli dengan nasib rakyatnya sendiri. Mereka hanya disibukkan untuk terus menimbun kekayaan pribadi, sementara rakyatnya banyak yang mengalami kesengsaraan dan kesusahan. Bagaimana banyak pemimpin yang suka bergaya hidup mewah dengan menghambur-hamburkan harta negara dengan alasan tugas, sementara di sisi lain rakyat yang di bawah masih banyak yang bingung untuk sekadar mencari sesuap nasi. Rakyat kecil hanya bisa makan dengan seadanya dan hidup dengan sangat sangat sederhana, sedangkan pejabat negara yang diatas bergelimang dengan harta.

Memang demikianlah kenyataannya, negeri kita Indonesia ini semakin hari bukannya semakin tambah baik, akan tetapi sebaliknya malah semakin jauh dari nilai-nilai kebersamaan, persaudaraan dan persatuan. Kekerasan, korupsi dan penggusuran, setiap saat makin sering dipertontonkan di depan mata kita. Begitupun dengan bencana yang terus datang silih berganti seakan tanpa henti. Belum selesai sebuah kasus sudah muncul kasus yang lain. Di zaman yang memang serba gila dan edan ini, menjadi orang yang baik memang ibarat seperti orang yang sedang memegang bara api, yang semakin hari semakin panas saja. Walaupun begitu, Ronggowarsito kemudian tetap berusaha mengingatkan kepada kita semua dengan untaian kata-kata yang sangat bijak “sak bejo bejone wong kang edan, isih bejo wong kang eling lan waspada”.

Namun sayangnya, petuah bijak dari Ronggowarsito agar seseorang itu bisa menjadi wong seng eling lan waspada nyata telah terlupakan di kampus Unair ini. Bapak dan Ibu semua ternyata kini telah keblinger dengan ikut-ikutan gila dan edan, oleh karena telah menaikkan biaya kuliah di kampus Unair. Entah dengan sadar atau tidak Bapak dan Ibu semua telah ikut-ikutan dengan trend gila yang berkembang dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini bahwa pendidikan yang berkualitas itu biayanya memang harus mahal.

Bapak dan Ibu kini telah menjadikan kampus Unair ini bukan lagi sebagai sebuah kampus perjuangan rakyat, tapi menjadikan Unair menjadi kampus yang bertarif Internasional dan Excellent With Modality. Yang sudah barang tentu dampak dari kebijakan tersebut jelas akan membuat kampus Unair semakin jauh dari nilai-nilai kerakyatan dan semakin jauh pula dari jangkauan wong cilik.

Dalam sebuah zaman edan dan gila tersebut, pastinya akan selalu ditandai dengan berkuasanya perilaku yang adigang, adigung, adiguna dari seseorang, pengusaha, penguasa, pemimpin informal maupun formal. Perilaku Adigang adalah perilaku yang membanggakan kekuatan, adigung adalah perilaku yang membanggakan kebesaran (termasuk kebesaran harta benda atau kekayaan) dan adiguna adalah perilaku yang membanggakan kepandaian. Dalam bahasa Sunda, sikap adigang-adigung-adiguna tersebut berarti sikap yang takabur, sangat sombong, congkak.

Ketiga sifat tersebut pada akhirnya jelas akan membawa banyak kehancuran dan mendatangkan penderitaan bagi mereka yang menjadi korban penindasan. Membuat suasana kehidupan orang lain dan sebuah masyarakat menjadi tidak tentram, kurang nyaman, dan penuh kekacauan. Pada zaman ini kesombongan dan ketakaburan sangat berkuasa dalam berbagai lini kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat kecil tidak berdaya untuk melawan kesombongan politik, ekonomi, sosial dan hukum dari para penguasa yang aji mumpung dan mumpung aji. Senyampang atau selagi masih mempunyai jabatan serta kekuasaan, aji mumpung menggunakan segala kekuasaan yang di miliki tersebut untuk memenuhi dan memuaskan berbagai nafsu angkaranya.

Perilaku itulah yang kami rasa saat ini sedang menjangkiti kampus Unair ini. Dengan mengagungkan segenap kekuasaan Anda sebagai seorang dosen atau pejabat Unair, Bapak dan Ibu semua telah bertindak adigang, adigung dan adiguna. Tiada rasa belas kasihan telah menaikkan biaya pendidikan di Unair, sehingga semakin menutup peluang bagi orang-orang yang tak berpunya untuk berkuliah di Unair. Bahkan walaupun klaim bahwa Unair sedang mengalami kekurangan dana hingga detik ini pun masih belum terbukti kebenaranya, ternyata kebijakan kenaikan biaya kuliah yang sangat menyengsarkan rakyat tersebut tetap saja Anda teruskan.

Padahal bilamana memang kampus kita Unair ini sedang mengalami defisit keuangan, sesungguhnya masih banyak jalan yang bisa kita tempuh tanpa harus perlu dengan menaikkan biaya kuliah adik-adik kami, misalnya saja dengan berperilaku “prihatin”. Artinya, bilamana memang Unair saat ini kekurangan dana, mestinya kita semua sadar untuk bersikap prihatin (berhemat) dengan cara mengurangi kegiatan yang sangat memboroskan anggaran, seperti misalnya pengurangan program studi banding yang selama ini juga tidak ada tranparansinya dan mungkin juga dengan cara pengurangan pemakaian mobil dinas atau mobil berplat merah. Atau bahkan kalau mau sedikit berkorban, Anda semua juga bisa dengan cara memotong gaji atau pendapatan dari proyek-proyek di luar kegiatan akademik kampus. Yang mana sudah barang tentu Bapak dan Ibu juga mengetahui pula bahwa datangnya berbagai proyek tersebut tidaklah murni berdasarkan reputasi kebesaran nama individu saja, namun juga didukung dengan kebesaran nama Unair di mata masyarakat.

Bapak dan Ibu Dosen beserta Pejabat Unair yang kami hormati, Aja dumeh saiki menang terus sewenang-wenang (jangan mentang-mentang saat ini sedang berkuasa, terus aji mumpung dan berbuat seenaknya sendiri). Ingatlah, kebijakan menaikkan biaya kuliah Unair yang Anda keluarkan tersebut sama saja dengan sebuah sikap yang sewenang-wenang dan melukai hatinya rakyat kecil. Dan tanpa perlu kami katakan sekalipun, Bapak dan Ibu semua pastinya juga sudah mengerti sendiri bahwa sikap sewenang-wenang tersebut sangat dekat sekali dengan sikap zalim.

Apa yang Bapak dan Ibu lakukan tersebut ibarat Bapak Ibu sedang membalas Air susu yang di berikan rakyat dengan Air Tuba. Bapak dan Ibu semua yang gajinya juga berasal dari uangnya rakyat, ternyata kini malah mengeluarkan kebijakan yang melukai hatinya rakyat. Bapak dan Ibu yang selama ini di luar Unair dan berbagai media massa seringkali menulis dan berbicara berbusa-busa mengenai Demokrasi, Keadilan, Kerakyatan dan Kemanusian, tapi ternyata saat ini Anda semua malah membuat kebijakan yang bertentangan dengan apa yang Anda katakan serta bicarakan itu sendiri. Anda semua masih saja tetap diam dan bungkam seribu bahasa, walaupun jelas-jelas kenaikan biaya pendidikan Unair tersebut akan menyengsarakan rakyat kecil.

Padahal, sebenarnya besar harapan dari kami, Bapak dan Ibu sudi kiranya memberikan teladan seperti halnya yang pernah di teladankan oleh bapak pendidikan nasional kita, Ki Hajar Dewantara. Namun sayang beribu sayang, Anda sekalian ternyata kini malah mengingkari ajaran beliau tentang konsep pendidikan yang harus berorientasi pada kerakyatan dan berfalsafah Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Sekedar untuk mengingatkan saja menurut Ing Ngarso Sung Tulodo, seorang pemimpin itu seharusnya memberikan suri tauladan bagi orang yang dipimpinnya, menurut Ing Madyo Mbangun Karso seorang pemimpin itu seharusnya berada di tengah-tengah atau hidup bersama orang-orang yang di pimpinnya untuk membangkitkan dan menggugah semangat mereka serta menurut Tut Wuri Handayani seharusnya seorang pemimpin itu memberikan dorongan moral dan semangat dari belakang kepada setiap orang yang dipimpinnya.

Bapak dan Ibu semua ingatlah bahwa neng donya iku mung mampir ngombe (di dunia itu cuma mampir minum). Manusia itu diciptakan dari tanah dan akan kembali ke tanah hanya dengan membawa selembar kain kafan, meninggalkan semua harta, jabatan dan gengsi yang dia miliki di dunia ini. Jadi mengapa harus membanggakan sesuatu yang fana itu? Bilamana orang hidup itu hanyalah sekedar istirahat sejenak untuk minum, alangkah indahnya kalau hidup di dunia, kita isi dengan tindakan-tindakan terpuji, seperti tolong-menolong, mengasihi sesama, berbakti kepada nusa dan bangsa, saling hormat-menghormati, dan lain-lain.

Tapi sayangnya, saat ini harta, jabatan serta gengsi malah telah Bapak dan Ibu jadikan Tuhan baru di kampus Unair ini. Bapak dan Ibu semua juga semakin lupa terhadap ajaran yang di wariskan oleh nenek moyang kita dulu, di mana dalam bersikap dan bertindak itu harus selalu memegang teguh prinsip berani karena benar takut karena salah. Bapak dan Ibu semua ternyata masih saja tidak mau melepaskan diri dari belenggu ketakutan dan kebungkaman, sehingga sampai detik ini masih tetap saja memilih bungkam tidak mau menyuarakan dan memperjuangkan kebenaran di kampus Unair ini. Bahkan semakin parahnya, ternyata ada pula sebagian dari Bapak dan Ibu yang ikut mendukung kebijakan kenaikan tersebut. Padahal hal itu sama artinya Bapak dan Ibu sedang menari-nari di atas luka yang saat ini di derita oleh rakyat Indonesia.

Bapak dan Ibu sekalian, Neoliberalisme (Penjajahan Gaya Baru) saat ini nyata-nyata telah hadir di kampus kita ini. Bilamana Bapak dan Ibu semua masih tetap saja bungkam dan takut dalam memperjuangkan kebenaran di kampus Unair, sudah barang tentu hal itu akan semakin mengingkari dengan apa yang pernah Anda sendiri ajarkan kepada kami selama dalam perkuliahan. Mengenai sebuah falsafah manusia Indonesia yang harus setia dalam memegang teguh jiwa serta prinsip yang berdasarkan ketuhanan yang maha esa, kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan serta keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Jujur, apa yang telah kami lakukan selama ini bukanlah berangkat dari ruang kosong. Terpatri di hati kami sebuah kata yang selama ini di ajarkan oleh para orang tua kami, Anda semua dan para pejuang kemerdekaan nasional dulu, Merdeka atau Mati. Kami sangat ingat betul bahwa para pejuang kemerdekaan dulu tidaklah takut dan rela mengorbankan segala yang mereka miliki bahkan nyawanya sendiri untuk memerdekan Indonesia dari belenggu penjajahan. Mereka menasionalisasi semua aset Belanda (yang di peroleh dan di bangun dari memeras serta menghisap rakyat Indonesia), yang salah satunya telah kita ketahui bersama adalah Nasionalisasi dua lembaga pendidikan Kolonial Belanda NIAS dan STOVIT, yang oleh Bung Karno tahun 1954 kemudian di resmikan menjadi Universitas Airlangga.

Bagi kami, slogan yang sangat jadul tersebut kiranya belumlah ketinggalan jaman, karena kenyataanannya negeri kita saat ini memang tidak lagi menjadi bangsa yang berdaulat dan mandiri. Rezim Neoliberal secara terang telah menguasai berbagai sumber kekayaan alam dan asset-aset strategis bangsa. Bagaimana dunia pendidikan kita saat ini pun juga telah di serahkan kepada mekanisme pasar sehingga segala kebijakan pendidikan nasional menurut dengan apa yang di inginkan oleh Lembaga-lembaga Renternir Internasional seperti Bank Dunia, IMF dan ADB.

Oleh karena itulah, besar harapan dari kami, semoga dengan kedatangan surat yang tidak penting dari kami ini, akan bisa sedikit melunakkan dan merubah sikap Bapak dan Ibu semua mengenai kenaikan biaya kuliah di Universitas Airlangga yang sangat menyengsarakan rakyat tersebut. Bilamana dalam surat ini banyak terdapat kata-kata yang kasar serta kurang berkenan di hati Bapak dan Ibu sekalian, mungkin sekali lagi kami hanya bisa mengucap beribu-ribu kata maaf. Akhir kata, terima kasih dan salam sehat selalu buat Bapak dan Ibu semua.

 

Surabaya, 23 Juni 2011

Hormat Kami,

Ketua                                  Sekjend

 

 

Aditya Farista                      Albertus Beny








BACA JUGA:
.